Catatan : Darmawan Masri
Dunia pendidikan menangis akibat hentakan Gempa Gayo, 2 Juli 2013. Sebanyak 292 sarana pendidikan berbagai tingkatan rusak berat, sedang dan ringan. Ada 158 gedung sekolah dinyatakan rusak berat dan 134 lainnya rusak ringan, disemua jenjang pendidikan baik TK/RA, 78 rusak berat dan 50 rusak ringan, SD/MI, MIS, 57 rusak berat dan 63 rusak ringan, SMP/MTsN/MTsS, 16 rusak berat dan 13 rusak ringan, SMA/SMK/MAN/MAS, 7 rusak berat dan 8 rusak ringan.
Jika diestimasikan jumlah siswa yang berpeluang sangat terganggu pendidikannya melihat kondisi bangunan sekolah yang mengalami rusak berat jika dirata-ratakan masing-masing jenjang, TK/RA rata-rata jumlah siswa 10 x 78 = 780 orang, SD/MI rata-rata, 40 siswa x 57 = 2280 orang, SMP/MTs , rata-rata 100 siswa x 16 = 1600 orang, sedangkan SMA/MA jika rata-rata 100 siswa x 7 = 700 siswa, maka total dari estimasi sebanyak 5360 orang siswa berpeluang kehilangan pendidikan mereka. Angka tersebut bisa bertambah dan berkurang sesuai fakta dilapangan.
Kondisi lain, estimasi rata-rata jumlah guru yang juga terkena dampak dari bencana itu masing-masing jenjang, TK/RA, rata-rata 3 orang guru x 78 = 234 orang guru, SD/MI, rata-rata 10 orang guru x 57 = 570 orang guru, SMP/MTs, rata-rata 20 orang guru x 16 = 320 orang guru, SMA/MA, rata-rata 25 orang guru x 7 = 175, maka jumlah rata-rata guru yang tidak bisa mengajar sebanyak 1308 orang.
Menanggapi kondisi tersebut, butuh perhatian semua pihak terkait, terutama Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, harus bekerja ekstra keras segera mengantisipasi sarana pendidikan rusak itu, jika tidak ingin kualitas pendidikan di negeri penghasil Kopi ini terpuruk.
Terlebih, tahun pelajaran baru kurang lebih dimulai sebulan lagi, melihat kondisi ini sangat tidak mungkin sarana pendidikan yang rusak dapat terbangun dalam rentang waktu sesingkat itu, semuanya butuh proses. Jika pun proses belajar mengajar dilakukan hanya menggunakan bangunan darurat, tentunya dengan fasilitas yang darurat pula, sebelum gedung baru siap dikerjakan dan dipakai seperti kondisi semula.
Kondisi ini, belum ditambah dengan kondisi trauma bagi para peserta didik, tidak hanya mereka para guru juga mengalami hal yang sama, tentunya hal ini akan berdampak tidak baik bagi kelangsungan belajar mengajar nantinya. Masalah harus segera diatasi, jika dibiarkan berlarut-larut keterpurukan dunia pendidikan akan mengakibatkan kebodohan bagi negeri ini sendiri.
Pihak terkait harus mengambil langkah-langkah stategis, apakah dengan memindahkan sementara ribuan siswa itu untuk dapat belajar disekolah-sekolah yang tidak terkena kerusakan, memperbantukan guru dari daerah yang tidak terkena dampak gempa, menyiapkan asrama khusus bagi siswa yang akan pindah tempat belajarnya. Tentunya hal ini tidak lah mudah dilakukan, butuh perencanaan matang yang mulai dipersiapkan dari sekarang.
Pemerintah juga harus menyisihkan dana untuk sektor ini, jangan terfokus kepada pembangunan rumah korban saja, sehingga pendidikan anak-anak tersebut tertelantarkan, semua kembali terpulang kepada konsep yang matang direncanakan sejak saat ini.
Kondisi lain yang juga butuh perhatian serius bagi pemegang kebijakan dinegeri ini adalah, bantuan pendidikan yang akan masuk ke Aceh Tengah. Melihat sejarah, saat Aceh dicegangkan dengan Gempa yang disusul gelombang Tsunami, meluluhlantakkan sebagian besar pesisir Aceh, ribuan orang kehilangan nyawa dan harta benda. Tak lama setelah itu, bantuan pun mulai berdatangan kebumi Serambi Mekkah, dengan sejumlah kedok dan misi yang dibawa para donatur penyalur bantuan.
Kita lihat dari sisi pendidikannya, banyak Non Government Oragnization (NGO) asing yang berdatangan mengurusi pendidikan Aceh masa itu, dengan sejumlah metode yang mereka ajarkan sampai-sampai apa yang telah menjadi tradisi dalam dunia pendidikan di Aceh hilang begitu saja dengan program yang mereka bawa.
Contoh kecil saja, saat itu lah berlaku, anak yang nakal tidak boleh lagi disentuh oleh gurunya sendiri, meskipun sentuhan fisik ada kalanya membuat siswa yang nakal itu menjadi sadar akan tingkahnya yang merugikan bagi dirinya sendiri, sedikit saja sentuhan fisik maka guru yang melakukannya bisa terkena kasus hukum berdalih Undang-undang Perlindungan Anak.
Hal tersebut sangat merugikan Aceh sendiri, dimana apa yang telah menjadi tradisi selama bertahun-tahun hilang, efeknya seorang guru menjadi takut bila berurusan dengan siswa yang nakal, salah-salah mereka akan diadukan delik hukum.
Kondisi mengkhawatirkan inilah yang perlu disiasati bagi pihak yang berkompeten mengurusi pendidikan Aceh Tengah, langkah konkrit dan terarah harus segera diambil, langkah bijak agar anak-anak yang kehilangan tempat belajarnya dapat terpenuhi sebagaimana biasanya.
Gayo memiliki, tradisi kependidikan tersendiri, arah tersendiri meskipun mengikut kepada kurikulum yang ditetapkan Pemerintah Pusat, sebagai cerita dimasa dahulu di negeri Linge ini, seorang anak yang akan memasuki pendidikan harus disertai dengan akad (perjanjian) antara orang tua dan guru yang akan mengajarkan anak mereka. Dalam istilah Gayo dikenal dengan sebutan “I serahen ku tengku Guru”.
Makna dari akan tersebut, sangatlah luas, orang tua yang telah menyerahkan pendidikannya kepada guru yang akan mengajarkan anaknya menjadi pandai, tidak boleh mencampuri urusan pendidikan anaknya saat sedang berada dilokasi pendidikan. Meskipun demikian, peran orang tua dalam mendidik anaknya diluar institusi pendidikan juga diperlukan, agar anak menjadi terarah. Hubungan simbiosis mutualisme antara guru dan orang tua pun tak dapat dipisahkan.
Kondisi ini merupakan tradisi yang sudah melekat di bumi Gayo dalam hal pendidikan selama ratusan tahun, semoga saja tidak terkubur oleh perkembangan zaman, kita semua harus memegang tuguh apa yang telah terpatrun dalam sistem pendidikan kita sendiri, jangan sampai ada pihak yang mencekokinya.
Bantuan pendidikan yang diberikan oleh pihak lain, harus diawasi secara berkala, jangan sampai mengubah tradisi dan kebiasaan kita selaku urang Gayo, apa yang telah terjadi di bumi Gayo, dengan gempa yang merusakkan sarana tempat belajar dapat dijadikan pembelajaran bagi semua pihak, agar kedepan dunia pendidikan di Aceh Tengah dapat berkembang, sejalan dengan perkembangan zaman saat ini.
Semoga saja, sarana pendidikan yang telah rusak dapat dibangun dengan segera, sehingga anak-anak negeri berkabut ini bisa belajar dengan pendidikan yang layak sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Dasar, karena dengan pendidikan negeri ini akan bisa bangkit dari keterpurukan, dengan pendidikan negeri ini bisa menentukan arah masa depannya, dengan pendidikan dunia akan dapat tergapai dengan mudah, dengan pendidikan negeri ini akan menjadi pandai.
*Anggota Balai Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh Tengah dan Bener Meriah