Aman Dedek, Nasibnya tak Senikmat Kopi Gayo

oleh
para pelajar SMA se Aceh Tengah saat mengikuti pelatihan jurnalistik.(LGco-Istimewa)

Oleh: Dian Yustika dan Agung Hadi Prasetya*

para pelajar SMA se Aceh Tengah saat mengikuti pelatihan jurnalistik.(LGco-Istimewa)
para pelajar SMA se Aceh Tengah saat mengikuti pelatihan jurnalistik.(LGco-Istimewa)

SANG Fajar telah dibangunkan dari tidurnya. Lelaki tua itu, telah bersiap menuju “surganya” para pecinta kopi. Tangan tua berkeriput, siap memetik kopi. Berbekal sebuah niu tua, lelaki itupun bergegas membelah pagi. Kebun kopi menjadi tujuan utamanya.

Terkadang dalam benak lelaki tua, yang akrab disapa Aman Dedek (50), rasa kopi yang harum, kental serta manis, tak sebanding dengan nasibnya. Meski hasil dari kebunnya, orang-orang akan memuji kenikmatan kopinya. Namun, berbading terbalik dengan nasibnya yang terkadang, harus rela menahan lapar.

“Kadang kepingin rasanya untuk membeli niu baru, tapi apa boleh buat, untuk makan pun kadang kami susah,” keluh Aman Dedek warga salah satu kampung di Aceh Tengah.

Sungguh memilukan memang nasib para petani kopi di dataran tinggi Gayo ini. Aman Dedek, bukanlah satu-satunya warga Aceh Tengah yang bernasib malang, meski ia memiliki kebun kopi warisan dari orang tuanya.

Kopi bukanlah kata asing ditelinga masyarakat Indonesia, terutama oleh masyarakat Gayo. selain sebagai sumber mata pencaharian, kopi juga menjadi penghangat suasana bagi masyarakat Gayo. Rasanya tidak ada orang Gayo yang tidak pernah minum kopi.

Cita rasa kopi Gayo (Arabica) yang berbeda dengan kopi di daerah lain. Sehingga tak mengherankan, bila banyak orang yang datang ke Takengon, selalu ingin kembali hanya sekedar mencicipi kopi atau memesannya dari saudara yang ada di daerah berhawa sejuk tersebut.

Hanya saja, nasib para petani kopi juga hendaknya harus diperhatikan. Bayangkan saja, harga kobi Robusta dihargai Rp25.000/kg (perkiraan penulis-red). Sedangkan arabika bisa mencapai Rp40 ribu/kg (kopi dalam bentuk biji).

Satu yang amat menyedihkan, bagi Aman Dedek, ketika dia tahu, bahwa orang-orang diluar sana (Banda Aceh dan sekitarnya) lebih mengenal kopi Ulee Kareng, dibandingkan kopi Gayo, meskipun bijinya banyak yang berasal dari dataran tinggi Gayo.

Apa yang dialami Aman Dedek ini, kiranya butuh perhatian serius dari semua kalangan, baik penguasaha, toke kopi, termasuk pemerintah daerah dan provinsi. Bagaimana bisa meningkatkan kesejahteran para petani kopi di Tanoh Gayo. Bukankan sudah menjadi rahasia umum, kalau kopi terbaik jenis Arabika berasal dari kampung halaman Aman Dedek.

Sungguh memilukan memang, jika cita rasa kopi Gayo yang lezat dan nikmat, namun tak senikmat jadi petani kopi yang papa.***

*Pelajar SMA 4 Takengon/Peserta Pelatihan Jurnalistik se Aceh Tengah, Kerjasama Disdik dan PWI Aceh, 1 Juni 2013.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.