Kopi Gayo antara Harapan dan Realita

oleh

Feri Yanto (Custom)Catatan Feri Yanto*

Kopi tidak asing lagi bagi setiap orang dan hampir semua orang di dunia tau apa itu kopi, bahkan dua di antara tiga orang pria di dunia merupakan peminum kopi, oleh karena  itu kopi menjadi komoditi yang sangat bernilai ekonomis, seakan kopi memang tidak bisa lagi dipisahkan dari masyarakat, sementara produksi kopi berjumlah terbatas, karena kopi tidak dapat tumbuh di setiap daerah, kopi hanya dapat tumbuh di daerah belahan bumi antara garis lintang 6‐9⁰ LU sampai 24⁰ LS dan pada ketinggian 800 – 1600 meter diatas permukaan laut (mdpl).

Pada tahun 2012, Indonesia merupakan negara penghasil kopi Arabika terbesar ke tiga di dunia setelah Brazil, dan Vietnam  kemudian pada urutan dibawahnya ada Columbia dan Euthopia.

Namun peringkat ini tidak bertahan pada tahun 2014, Indonesia menjadi produsen kopi Arabika pada peringkat ke tujuh dunia seperti yyang disampaikan oleh Direktur Jendral Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) ) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Nus Nuzulia Ishak di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis (14/8/2014) yang di lansir oleh Okezone.com

Produksi Kopi Arabika terbesar di Indonesia adalah dataran tinggi Gayo secara otomatis produksi kopi arabika Gayo juga menurun maka alangkah baiknya jika masyarakat Gayo harus berhenti bereuforia terhadap apa yang selama ini dibangga-banggakan, karena apabila masyarakat Gayo terus merasa cukup dengan yang selama ini didapatkan maka kopi Gayo bersiap untuk dilupakan.

Saat ini dengan terjadinya pemanasan global (Gobal Warming) di Gayo telah terjadi pergeseran iklim yang cukup ekstrim, ini bisa di lihat dari beberapa kejadian beberapa waktu lalu, terjadinya hujan es dan embun frost di kecamatan Atu Lintang, kemudian pertumbuhan hama Penggerek buah kopi (Pbko) yang kian melebar merusak sekitar 70% biji Kopi yang akhirnya berujung gagal panen.

Apabila kondisi ini terus kita biarkan maka kita semua sudah bersiap untuk melupakan kopi Gayo dalam beberapa tahun kedepan, karena kemungkinan besar Kopi Arabika tidak lagi produktif untuk dibudidayakan oleh petani.

Oleh karena itu euforia masyarakat Gayo dalam dramatis kopi terbaik dunia harus diperkecil dibutuhkan kampanye peduli lingkungan yang mampu mempertahankan eksistensi kopi arabika Gayo yang selama ini kita banggakan dan menjadi penopang perekonomian masyarakat Gayo, terkhusus Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Kopi Gayo yang selama ini menjadi kebanggaan dan harapan masyarakat Gayo akan berhadapan dengan ketakutan melihat realita yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, produksi kopi Gayo yang diidamkan mampu mencapai 2000 kg/tahun hanya akan menjadi sebuah mimpi yang tidak kunjung datang. Semua itu terlihat dari produksi kopi Arabika Gayo yang rata-rata hanya sekitar 700 kg/tahun bahkan dibawah itu, tentunya kedepan akan semakin sulit untuk bertahan di jumlah produksi yang sama dilihat dari berbagai faktor produksi terutama faktor kemampuan petani dalam hal budidaya kopi Arabika Gayo.

Saatnya pemerintah melalui alokasi anggaran yang ada mesti lebih berpihak lagi kepada kepentingan kopi Gayo yang lahan perkebunannya kian tahun kian berkurang luasnya dilindas perumahan seiring pertambahan penduduk dari tahun ke tahun.

Berita menggembirakan atas rencana Pemkab Bener Meriah yang mengalokasikan anggaran Rp 5 miliar dari dana otonomi khusus (Otsus) tahun 2015 untuk merehabilitasi tanaman kopi masyarakat, dengan sasaran meliputi pemilihan biji kopi terbaik untuk bibit, perbaikan lahan, dan penyuluhan.

“Dalam kegiatan ini, kita akan libatkan semua stakeholder,” ujar Ismarissiska yang menjabat Asisten bidang Ekonomi dan Pembangunan di Kabupaten Bener Meriah seperti dilansir harian Analisa edisi Selasa 23 September 2014.

Namun angka itu terbilang sangat kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan di lapangan, contohnya untuk meningkatkan kemampuan teknis petani kopi yang umumnya belajar otodidak, perlu bimbingan teknis lebih mendalam lagi sehingga dengan lahan yang tidak lebih dari 1 hektar dapat tercapai produksi maksimal yang seharusnya diatas 700 kilogram pertahunnya.

*Mahasiswa Universitas Gajah Putih Takengon

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.