Oleh : Marah Halim*
Kita tidak mengetahui secara pasti apa yang dilakukan oleh oknum kepala salah satu instansi vertikal di bidang penegakan hukum di Aceh Tengah.
Namun, secara logis, tidak mungkin tidak ada sesuatu yang krusial atau fatal yang menyebabkan pejabat selevel itu dicopot, apalagi dalam institusi penegakan hukum.
Dari kejadian ini, kita berharap agar hal serupa tidak terulang lagi dan tidak terjadi di daerah lain.
Keberadaan instansi vertikal, yang sejatinya bertujuan mengawasi pembangunan daerah, jangan sampai justru sebaliknya, menjadi sandungan bagi pembangunan daerah. Ini seperti peribahasa, “pagar makan tanaman.”
Mari kita fokus pada pelajaran yang bisa diambil (lesson learned) dari kejadian ini, utamanya bagi kita pemerintah daerah dan masyarakat, pelajaran yang bisa dipetik adalah pentingnya berusaha mengenali lebih dalam budaya kerja instansi vertikal.
Dengan begitu, ketika mereka “masuk ke rumah” kita, pemerintah daerah dan masyarakat dapat mengantisipasi perilaku-perilaku “aneh” yang mungkin ditunjukkan oleh sang “tamu.”
Superioritas Institusi
Jika ditelaah, mengapa hal ini terjadi? Semua kembali pada sistem ketatanegaraan kita. Sistem ketatanegaraan-lah yang menggiring mereka menjadi aparatur yang superior, merasa lebih hebat dari aparatur daerah.
Dengan posisi, karakteristik serta logistik kelembagaan yang melekat pada mereka, aparat institusi vertikal kadang tampil terlalu percaya diri (overconfident). Bahkan “tuan rumah” alias kepala daerah pun dipandangnya sebelah mata saja.
Kenyataan bahwa seorang manajer puncak institusi penegakan hukum di daerah melakukan aksi yang mengangkangi eksistensi kepala daerah sebagai “tuan rumah” adalah indikasi rendahnya rasa hormatnya kepada tuan rumah.
Mungkin bagi mereka, rasa hormat dan respek hanya berlaku dalam struktur vertikal mereka sendiri. Jika mereka respek pada kepala daerah, tidak mungkin mereka “mengerjai” perangkat daerah yang notabene adalah “kaki tangan” kepala daerah.
Para kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan para kepala desa tidak berdaya menghadapi oknum instansi vertikal itu tentu saja karena faktor superioritas tadi, apalagi jika ditakut-takuti dengan kesalahan dalam penggunaan anggaran.
Dengan superioritasnya itu, mereka cukup kirim foto senjata api, borgol dan penjara ke WA mangsanya; itu sudah lebih dari cukup untuk membuat aparatur daerak di SKPD atau aparat desa tidak bisa tidur.
Tugas MAG Menggayokan Aparat Instansi Vertikal
Pada hakikatnya, setiap aparat instansi vertikal yang ditugaskan itu adalah “tamu” yang masuk ke daerah yang tuan rumahnya adalah kepala daerah.
Namun, mereka mungkin tidak merasa seperti itu. Sepertinya mereka memasang mindset-nya dengan mode pengawas atau supervisor yang ditugaskan instansinya, sehingga dalam bekerja pun mereka betul-betul memegang doktrin instansinya.
Budaya dan doktrin kerja mereka tidak mungkin diubah. Yang paling mungkin dilakukan sejak awal mereka bertugas adalah “menggayokan” mereka; sejak “tepung tawar” menyambut mereka hingga memberikan wawasan tentang kegayoan secara formal dan informal.
“Tak kenal maka tak sayang”, karena itu buat mereka mengenal Aceh Tengah. Karena pada umumnya mereka berasal dari luar Aceh, mereka tidak mengenal adat dan budaya setempat. Mereka tidak tau bahwa adat dan budaya Gayo yang paling kuat adalah persaudaraan dan kekeluargaan.
Secara institusional, inilah yang seharusnya menjadi salah satu tugas Majelis Adat Gayo melalui upaya sosialisasi dan diseminasi. Inilah barangkali yang belum pernah dilakukan.
Mungkin salah kita juga selama ini tidak berupaya menanamkan nilai-nilai itu ke dalam hati dan pikiran mereka. Ke depan, MAG kiranya kreatif dan inovatif melalukan internalisasi nilai-nilai kegayoan pada aparatur instansi vertikal, utamanya para top manajer mereka.
Kecil kemungkinan oknum pejabat vertikal bidang penegakan hukum itu sampai hati mempersulit perangkat daerah jika dalam hatinya ada rasa persaudaraan dan kekeluargaan. []