Menjelisen, Sunet, Bereles

oleh

Oleh : Iskandar*

Ketika anak telah berusia antara 7 sampai dengan 13 tahun, keluarga inti melaksanakan sinte menjelisen atau sunet (mengkhitankan) anaknya.

Karena satu tahun lagi setelah seseorang anak berusia 14 tahun akan memasuki gerbang mukallaf, ketika mana dia harus suci untuk melaksanakan kewajiban syari’at terutama shalat dan sekaligus sebagai tanda bahwa yang bersangkutan mulai resmi menjadi warga kaum muslimin atau keturunan muslim.

Menyelenggarakan acara-acara sunat anak laki-laki, merupakan sinte yang kedua yang harus dilaksanakan oleh orang tua bersama keluarga intinya.

Berkhitan merupakan salah satu sunnah fitrah yaitu memotong kulit yang menutupi ujung kemaluan laki-laki dan memotong kulit bagian atas kemaluan perempuan. Tujuannya supaya seseorang menjadi suci karena di situ tidak berkumpul kotoran dan sekaligus sebagai tanda pengikut Rasulullah saw.

Khitan merupakan sunnah yang sejak lama berlaku yaitu mulai dari Nabi Ibrahim a.s. Dasarnya, hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda:

اختتن إبراهيم خليل الرحمن بَعْدَ مَا أَتَتْ عَلَيْهِ ثَمانُونَ سَنَةٌ، وَاخْتَتَن بالقدوم .. رواه البخاري.

(Ikhtatana Ibrahiimu khalilur Rahmaani ba’da maa atat ‘alaihi tsamanuuna sanatan, wakhtatana bil quduumi).

Artinya:

Ibrahim al-Khalil Rahman berkhitan setelah berusia delapan puluh tahun dengan menggunakan alqadum (sebuah alat yang tajam).

Madzhab jumhur ulama menetapkan hukum khitan wajib, sementara Syafi’i memandangnya sunat dilaksanakan pada hari ketujuh, Menurut Syaukani, tidak ada diterima dalil yang menyatakan bahwa khitan hukumnya wajib dan tidak pula ditentukan waktu melaksanakannya.

Sinte ini dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut:

1. Pakat sara ine (musyawarah keluarga inti), bahwa berhubung usia putera mereka telah sampai pada waktu yang menurut adat harus disunat rasulkan, maka dilaksanakan begenap (musyawarah keluarga) untuk menentukan siapa mudim (yang menyunat) nya, hari dan waktu pelaksanaannya, serta persiapan yang diperlukan untuk melaksanakan sunat dan kendurinya.

Sejak Islam berkembang di Gayo, mudim kampung amat berperan, namun mulai tahun 1950, selain mudim kampung yang melaksanakan khitanan secara tradisonal, berperan pula dokter atau juru rawat yang berprofesi sebagai perawat.

2. Munangon (mengundang) keluarga dan saudere, agar hadir pada pelaksanaan sunat dan kendurinya. pekerjaan itu.

3. Putera yang akan disunat dimandikan dan dibersihkan badannya ketika pagi sebelum matahari naik segalah memancarkan sinarnya.

4. Menyiapkan tempat duduk bagi orang tua, kakeknya dari pihak ayah (awan pedih) dan pihak ibu (awan alik ralik), sarak opat, mudim, tengku yang memimpin pembacaan shalwat dan do’a, guru si anak dan keluarga atau saudara yang tuturnya lebih tinggi dari keluarga bersinte (keluarga yang bertanggung jawab menyelenggarakan sunat rasul) serta tempat duduk anak yang disunat itu sendiri.

Tempat duduk dimaksud berupa alas penalas (berbagai jenis tikar) terdiri dari: ampang (tikar ukuran agar lebar bersulam), lapik ni ampang (tikar bersulam ukuran kecil), alas kolak (tikar lebar) dan alas belintem (tikar berukir).

Kecuali alas kolak, semuanya dihias dengan berbagai motip ukiran. Ampang disulam dengan benang berbagai warna yang paling dominan adalah warna merah muda.

Lapik ni ampang (alas ampang), tetopang dan lain-lain diukir berupa belintem dengan cara menyelupkan atau merebus daun pandan yang akan diayam menjadi tikar kedalam atau bersama daun rayang yang dibuat berwarna merah atau hijau atau kuning.

5. Menyiapkan tempat tidur anak yang akan dikhitan dalam sebuah kamar khusus yang dihias, mengikat selembar kain lebar dan menyangkutkannya di atas tempat tidur agar ujung kemaluan yang dikhitan tidak terkena kain ketika tidur terlentang.

6. Menyediakan tabung atau tape bercucuk (sumpit bersulam) untuk tempat uang yang dihadiahkan oleh keluarga dan saudere yang hadir. Karena menurut adat, semua keluarga dan hadirin menyumbang sejumlah uang kepada anak yang dikhitan.

Sumbangan ini merupakan kebahagiaan tersendiri bagi si anak, karena seratus persen menjadi miliknya, tidak digunakan untuk keperluan lain.

7. Ibu atau nenek atau bibik atau anggota keluarga in lainnya, menyalin (memakaikan pakaian baru lengkap) kepada si anak yang terdiri dari baju, kain sarung, celana panjang, kopiah dan selop baru.

Semua jenis pakaian itu dipakai oleh anak beberapa saat sebelum dan beberapa hari setelah sunat rasul ketika luka akibat khitan telah sembuh. Sedang baju dan kain sarung dipakai mulai sebelum dikhitan sampai sembuh.

8. Anak yang akan dikhitan didudukkan pada tempat yang agak tinggi yang sudah disiapkan sebelumnya berhadapan dengan mudim.

9. Sebelum khitan dilaksanakan, dilakukan do’a bersama yang diimami oleh seorang Imam Kampung atau oleh Tengku yang sengaja diundang untuk itu. Materi do’a antara lain agar keluarga yang melaksanakana sinte dan anak yang akan di khitan senantiasa berada dalam lindungan dan keselamatan dari Allah s.w.t.

Demikian pula orang tua yang telah berpulang ke Rahmatullah terhindar dari adzab kubur.

10. Pelaksanaan khitan oleh mudim, diiringi dengan ucapan shalawat dan salam bersama para hadirin kepada Rasulullah s.a.w. dimulai ketika mudim mengucapkan nama Allah (basmalah) “Bismillahirrahmanirrahiim”, dipimpin oleh seorang Tengku sampai dengan pelaksanaan khitan selesai yang ditandai oleh pengucapan hamdallah (memuji Allah)” Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin” roleh Mudim dan diikuti mengucapkannya oleh para hadirin.

11. Anak yang disunat (dikhitan) dipindahkan kekamar tidur khusus yang telah disiapkan sebelumnya. Kemudian kakek, nenek dan ayah anak yang disunat yang diikuti oleh keluarga dan saudara berturut-turut memberi penosahan (hadiah) kepada anak yang disunat sambil mengungkapkan kata-kata harapan yang menyenangkan hati si anak seperti Win anakku, engkau semakin besar, cepatlah sembuh, semoga engkau menjadi anak yang shaleh.

Wah uangmu telah banyak. Uang penosahan itu seratus persen untuk si anak yang akan dipergunakan bagi kepentingan yang berpaedah bagi masa depan anak yang disunat. Hadiah dan kata-kata yang diungkapkan kepada anak menjadi pendorong baginya untuk membuka harapan cerah menempuh kehidupan.

12. Mudim atau pembantunya tetap merawat anak yang disunat sampai sembuh. Kepada beliau diberikan sejumlah uang balas jasa, bukan ongkos menurut keikhlasan dan kewajaran yang berlaku, setelah anak itu sembuh.

13. Kenduri (makan bersama) keluarga, tetangga dan para undangan serta anak yatim / piatu dan fakir / miskin.

Sejak tahun 1950-an ketika perawat kesehatan mulai berperan mengkhitan orang, pada umumnya pelaksanaan khitan hanya diikuti oleh keluarga inti, tanpa do’a dan salawat.

Beberapa hari kemudian diselenggarakan jamuan makan terhadap keluarga, tetangga dan undangan termasuk anak yatim/piatu dan keluarga fakir / miskin.

Dan sejak tahun 1970-an, kenduri dan jamuan makan khitanan telah ditambah dengan pertunjukan kesenian band, sementara anak yang dikhitan didudukkan di atas pelamin dilengkapi berbagai hisan, seperti pesta perkawinan.

Apa yang tersebut terakhir ini bukan ketentuan syari’at dan bukan pula norma adat.

Ada perbedaan antara kenduri dan jamuan makan menurut adat Gayo. Kenduri adalah jamun makan yang diawali atau diakhiri dengan do’a bersama. Sedang jamuan makan dilakukan tanpa do’a bersama.

Anak perempuan juga harus disunat, tetapi tidak dilaksanakan menurut tata cara sinte yang diberlakukan bagi anak laki-laki. Ini bukan diskriminatif atau membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan.

Tetapi semata-mata mejaga “kemalun” (merahasiakan masalah alat kelamim perempuan). Dalam bahasa adat, perempuan disebut “malu (menjaga harga diri).

Menjaga kemalun artinya memelihara harga diri, karena sekiranya harga diri menipis apalagi hilang, maka wibawa seseorang, keluarga dan warga kampung atau belah, ikut berkurang dan hilang bahkan adat istiadat kurang bermakna.

Berdasarkan prinsip ini, maka pelaksanaan sunat anak perempuan dilakukan secara rahasia dan hanya dihadiri atau diketahui oleh ibu, nenek, bibik dan mudim perempuan yang menyunatnya.

Tidak ada rangkaian acara, tidak gembar gembor apalagi tidak diumumkan. Penosahan tetap diberikan kepada anak perempuan oleh ibu, nenek dan bibiknya secara tertutup pula dalam jumlah yang hampir sama dengan penosahan kepada anak laki-laki.

*Mahasiswa IAIN Takengon

 

 

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.