Catatan Muhammad Syukri
Beberapa kandidat kepala daerah pernah menawarkan konsep membangun dari pinggiran kepada konstituennya. Hanya saja, tidak semua konstituen paham tentang konsep itu. Mereka membayangkan bahwa kawasan perdesaan akan dibangun secara besar-besaran.
Sebenarnya, konsep membangun dari pinggiran merupakan pendekatan pembangunan yang menekankan penguatan daerah-daerah dan desa sebagai bagian dari strategi pemerataan ekonomi dan kesejahteraan (https://setkab.go.id).
Konsep ini bertujuan untuk mengurangi ketimpangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan dengan meningkatkan infrastruktur, konektivitas, serta akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi (https://journal.ipb.ac.id).
Konsep membangun dari pinggiran, sepertinya mirip dengan cara berpikir Frontier mentality. Cara berpikir ini berkaitan dengan eksplorasi, ekspansi, dan pemanfaatan sumber daya di wilayah yang dianggap sebagai “perbatasan” atau daerah terluar.
Istilah itu awalnya digunakan oleh Jackson Turner untuk menjelaskan mentalitas masyarakat kolonial Amerika Serikat yang menjelajahi dan membangun peradaban di wilayah baru (https://pssat.ugm.ac.id).
Dalam konteks sosial dan antropologi, frontier mentality sering dikaitkan dengan pandangan bahwa daerah terluar memiliki sumber daya berlimpah tetapi masih terbelakang, sehingga perlu dieksploitasi demi kemajuan.
Konsep ini tidak hanya berlaku di Amerika Serikat tetapi juga ditemukan di berbagai wilayah, termasuk Asia Tenggara. Dalam hal mana daerah frontier sering menjadi pusat eksploitasi sumber daya oleh pemerintah dan perusahaan.
Sayangnya, apabila sumberdaya kawasan frontier dieksploitasi oleh perusahaan (pemodal), seringnya menyisakan banyak persoalan.
Kalau tidak diawasi dengan ketat, masyarakatnya makin termarjinalisasi, konflik dengan penduduk lokal, bahkan ekosistem ikut terganggu.
Entahlah di era sekarang. Mungkin dampak tersebut bisa dikurangi karena pengawasan oleh pemerintah makin ketat. Apalagi pengawasannya dapat dilakukan dengan bantuan teknologi informasi.
Namun agar konsep membangun dari pinggiran tidak terjebak dalam cara berpikir frontier mentality, mari kita cermati beberapa contoh konkret frontier mentality dalam perjalanan sejarah (Sumber: https://pssat.ugm.ac.id).
1. Ekspansi Amerika ke Barat. Pada abad ke-19, Amerika Serikat mendorong ekspansi ke wilayah barat dengan konsep Manifest Destiny, yang mencerminkan keyakinan bahwa mereka berhak memperluas wilayahnya. Hal ini menyebabkan eksploitasi sumber daya alam dan konflik dengan penduduk asli.
2. Eksploitasi Sumber Daya di Asia Tenggara. Di berbagai wilayah Asia Tenggara, seperti pedalaman Kalimantan dan Pulau Mindanao di Filipina, pemerintah dan perusahaan multinasional sering mengeksploitasi sumber daya alam dengan alasan “kemajuan masyarakat lokal.
3. Kolonisasi Australia. Para pemukim Eropa di Australia melihat benua ini sebagai frontier yang harus dikembangkan, sering kali dengan mengabaikan hak-hak masyarakat Aborigin yang telah lama mendiami wilayah tersebut.
Singkatnya, frontier mentality diakui dapat membawa kemajuan, tetapi seringkali menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang signifikan.
Oleh karena itu, konsep membangun dari pinggiran sebaiknya tidak mutlak mengadopsi cara berpikir frontier mentality. Bijaksanalah mengeksploitasi sumberdaya alam. []