Mencari Kebijaksanaan di Tengah Euforia Kemenangan Pilkada

oleh

Oleh : Masran*

Pembangunan sebuah bangsa tidak semata-mata bertumpu pada beton infrastruktur atau grafik pertumbuhan ekonomi.

Di balik semua itu, terdapat fondasi yang lebih penting, yaitu seorang figur pemimpin yang tidak sekadar memerintah, tetapi memikul tanggung jawab etis, yang dimana kepemimpinan yang ditandai bukan dari kuasa, melainkan dari cinta pada kebijaksanaan dan keberanian memperjuangkan kebenaran.

Sebagaimana diuraikan Platon dalam The Republic, negara yang ideal bukanlah yang dipimpin oleh yang paling kuat dan berkuasa, tetapi oleh mereka yang sanggup memimpin dengan akal dan nurani.

Ini bukan mimpi di siang bolong, bukan pula utopia yang tak menyentuh realitas, melainkan kebutuhan yang kian mendesak bagi sebuah negara yang, alih-alih bergerak maju, justru kerap kehilangan arah kompas.

Memang, tak sedikit yang menganggap visi Platonik tentang negara ideal sebagai ilusi, suatu fantasi politik yang tak cocok bagi zaman yang ditentukan oleh kalkulasi elektoral dan algoritma digital.

Namun, di sinilah letak pertanyaannya, akankah kita terus membiarkan pemilu menjadi ajang seleksi pemimpin berdasarkan popularitas semata, tanpa mempertimbangkan kapasitas berpikir, tanggung jawab historis, dan proyeksi masa depan bangsa?

Dan jika hari ini kita mencemooh ide tentang pemimpin bijaksana sebagai sesuatu yang utopis, bukankah yang sesungguhnya utopis justru keyakinan bahwa kesejahteraan bisa lahir dari kebodohan elit yang terorganisir?

Dalam konteks demokrasi representatif, suara rakyat merupakan pilar legitimasi kekuasaan.

Namun, seperti yang telah diingatkan oleh Alexis de Tocqueville, demokrasi yang tanpa kedewasaan publik mudah tergelincir ke dalam tirani mayoritas, sebuah kondisi ketika opini massa dijadikan satu-satunya penentu kebenaran dan arah kebijakan.

Lebih mengkhawatirkan lagi, ketika kerumunan rakyat dapat dibeli dengan uang, maka proses pemilu tak lebih dari transaksi jangka pendek yang menukar masa depan bangsa dengan janji sesaat.

Dalam situasi semacam ini, popularitas menggeser kapasitas nalar dan integritas moral, kepemimpinan pun tidaklah lahir dari permenungan dan tanggung jawab, melainkan dari kehendak hasrat menguasai.

Barangkali demokrasi, dalam dirinya sendiri, telah lama dipersepsikan sebagai sistem yang ideal karena menyediakan kerangka kelembagaan yang rasional untuk menopang jalannya pemerintahan.

Ia menawarkan bentuk kekuasaan yang dilembagakan melalui prosedur sah dan birokrasi yang berlandaskan prinsip rasionalitas.

Namun demokrasi sebagai sistem, betapa pun canggihnya, tetaplah bersifat impersonal, tanpa kehadiran manusia yang berintegritas, ia ibarat kapal tanpa nakhoda, bergerak tanpa arah, mudah dihanyutkan gelombang tiran.

Sebaliknya, seorang pemimpin yang menjiwai nilai luhur mampu menghidupkan sistem yang belum sempurna sekalipun, karena menghubungkan kekuasaan dengan prinsip-prinsip yang melampaui kepentingan temporal.

Dalam kenyataannya, tidak jarang sistem yang semestinya menjadi penopang kesejahteraan justru berubah menjadi alat untuk mengukuhkan dominasi segelintir elit.

Seperti yang dijelaskan oleh Pierre Bourdieu, demokrasi sebagai sistem pun dapat menjelma menjadi doxa, sebuah kebenaran yang diterima begitu saja tanpa dipertanyakan, meskipun di dalamnya tersembunyi relasi kekuasaan yang timpang.

Mereka yang tetap percaya bahwa sebuah sistem yang telah kehilangan arah masih mampu membawa kesejahteraan publik sesungguhnya sedang mempertahankan ilusi di tengah bukti-bukti yang jelas membantah efektivitas sistem itu.

Data dari The SMERU Research Institute, misalnya, menunjukkan adanya gejala elite capture dalam berbagai program sosial yang seolah-olah demokratik. Ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan lokal dengan cepat mengamankan sumber daya demi kepentingan kelompoknya sendiri.

Dalam lanskap seperti ini, kesejahteraan bukan lagi menjadi hak setiap warga, melainkan berubah menjadi hak istimewa segelintir orang.

Sementara itu, laporan Kompas mengungkapkan bahwa lebih dari 70% jabatan strategis dalam sistem politik Indonesia dikuasai oleh kelompok-kelompok dari latar belakang ekonomi dan sosial tertentu.

Alih-alih mendorong meritokrasi, fenomena ini justru menyeret bangsa ke dalam pusaran plutokrasi yang semakin mencengkeram. Dalam kondisi seperti ini, berharap ada perubahan dari dalam sistem terasa seperti berharap pada mereka yang sudah lama diuntungkan untuk mengubah keadaan.

Di sinilah pentingnya mempertanyakan kembali mekanisme dan sistem politik kita, sembari menghadirkan sosok-sosok yang mampu membangun ekosistem politik di mana kesempatan tidak lagi ditentukan oleh garis keturunan atau kekayaan, melainkan oleh kapasitas, integritas, dan visi jangka panjang.

Sebab dalam sejarah peradaban mana pun, transformasi besar tidak lahir dari status quo yang nyaman dengan privilese, melainkan dari keberanian melampaui zamannya dan membayangkan masa depan yang lebih adil, terbuka, dan siap bersaing.

Sayangnya, di tengah derasnya disrupsi digital dan ekonomi atensi, realitas kepemimpinan saat ini semakin dipenuhi oleh lapisan-lapisan pencitraan.

Survei menunjukkan bahwa sekitar 65% pemilih di berbagai negara lebih terpengaruh oleh citra media sosial seorang kandidat ketimbang program nyata yang ditawarkan.

Figur-figur politik lebih sering lahir dari rekayasa algoritmik dan estetika instan daripada dari tempaan pengalaman dan kedalaman pemikiran.

Akibatnya, kriteria kepemimpinan kian menyusut menjadi sekadar soal popularitas, bukan lagi kualitas. Pendidikan, rekam jejak, dan visi kebangsaan bergeser, tergantikan oleh dramaturgi politik yang semu.

Pertanyaannya, dalam lanskap politik yang penuh distorsi ini, apakah kita masih mampu mengenali sosok pemimpin? Ataukah kita justru terjebak dalam muara elektoral yang semakin dangkal, di mana suara mayoritas lebih ditentukan oleh sensasi sesaat ketimbang visi jangka panjang?

Inilah dilema besar demokrasi modern, kebebasan memilih tidak selalu diimbangi oleh kejernihan menilai. Demokrasi tanpa kedalaman nalar hanya akan melahirkan sirkus elektoral, penuh sorak sorai, tetapi miskin arah.

Dalam suasana seperti itu, bangsa ini berisiko kehilangan momentum untuk membangun kepemimpinan transformatif yang lahir dari integritas, kecakapan, dan pemahaman historis atas kompleksitas zamannya.

Saya teringat pada peringatan Albert Camus, “The welfare of the people in particular has always been the alibi of tyrants.” Kesejahteraan rakyat kerap dijadikan dalih oleh para tiran.

Maka, demokrasi tanpa standar etis dan intelektual dalam memilih pemimpin hanya akan menjadi pintu masuk bagi tirani baru, tirani yang disambut dengan sorak sorai, tetapi perlahan menggerogoti martabat dan masa depan bangsa.

Karena itu, menimbang ulang kriteria kepemimpinan bukanlah sikap elitis, melainkan sebuah keharusan.

Karena itu, perlu ada upaya sadar untuk merevitalisasi kualitas publik dalam berdemokrasi. Kita perlu membangun ekosistem di mana literasi politik, budaya debat yang sehat, serta penghargaan terhadap gagasan yang genuine kembali menjadi bagian dari narasi bersama.

Hanya dengan cara ini, kita dapat berharap bahwa di tengah riuh rendah pencitraan, akan lahir figur-figur yang memimpin bukan semata dengan popularitas, tetapi dengan kebijaksanaan.

*Penulis adalah Pensiunan Guru SMPN 2 Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.