Oleh : Oleh Arifan Nusa*
Dalam perjalanan sejarah bangsa, kita sering diajarkan bahwa negara adalah kendaraan menuju cita-cita: kemerdekaan, keadilan, kesejahteraan.
Tapi apakah benar kendaraan itu bergerak ke arah yang dijanjikan? Ataukah kita hanya menyaksikan putaran roda yang berjalan di tempat?
Refleksi kritis ini lahir dari kesadaran bahwa tak cukup hanya menilai suatu proses sedang berlangsung—kita juga harus bertanya: ke mana arah proses itu? Dan apakah ia setia terhadap tujuan yang diklaim sejak awal?
Setiap negara memiliki narasi besar. Di Indonesia, cita-cita itu tertulis dalam konstitusi dan pidato-pidato kenegaraan: masyarakat adil dan makmur, pembangunan berkelanjutan, kesejahteraan umum, perlindungan terhadap rakyat.
Namun cita-cita, tanpa instrumen yang benar, bisa menjelma menjadi mitos.
Bahaya paling besar adalah ketika bahasa kebijakan hanya menjadi kosmetik narasi, bukan alat untuk benar-benar mewujudkan nilai. “Pembangunan” bisa jadi hanya proyek, bukan kemajuan.
“Reforma agraria” bisa jadi hanya wacana tanpa redistribusi. Maka cita-cita harus selalu diuji, bukan hanya diucapkan.
Kebijakan publik seharusnya menjadi jembatan antara nilai dan kenyataan.
Ia adalah jawaban atas pertanyaan “bagaimana” menuju “apa” dan “mengapa.”
Jika negara ingin adil, maka kebijakan hukum harus mencerminkan keadilan. Jika negara ingin makmur, maka kebijakan ekonomi harus menjamin distribusi dan produktivitas.
Namun jika kebijakan lahir tanpa evaluasi hasil, tanpa tolok ukur progres, dan tanpa refleksi terhadap dampaknya, maka ia hanyalah aktivitas yang tampak sibuk tapi tanpa arah. Negara bisa terlihat aktif, tetapi gagal bergerak secara historis. Seolah berjalan, padahal hanya memutar di tempat yang sama.
Kritik terhadap Struktur Impunitas
Di sinilah muncul problem utama: struktur impunitas—sebuah jaringan sistemik yang membuat pengambil keputusan bebas dari tanggung jawab, bahkan ketika kebijakan mereka terbukti gagal atau merugikan.
Berbeda dengan individu biasa yang melakukan kesalahan dan langsung dihukum, pejabat publik yang mengambil kebijakan salah justru seringkali tidak tersentuh hukum. Mereka berlindung di balik jargon: “niat baik,” “wewenang jabatan,” atau “bagian dari proses demokrasi.”
Padahal dampaknya bisa jauh lebih merusak: anggaran habis, waktu sejarah terbuang, rakyat tertinggal.
Struktur impunitas ini menciptakan ketimpangan besar: orang miskin bisa dipenjara karena mencuri makanan, tetapi pejabat yang merancang kebijakan gagal tetap dihormati dan dilindungi. Hukum berhenti berlaku untuk mereka yang paling berkuasa.
Ketika ini terjadi berulang-ulang, kepercayaan publik runtuh. Rakyat mulai melihat bahwa hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kritik dianggap gangguan. Partisipasi disambut basa-basi. Dan negara mulai kehilangan kepekaan terhadap realitas.
Lebih berbahaya lagi, rakyat bisa apatis—merasa bahwa semua penguasa sama, tidak ada yang bisa diubah. Negara yang kehilangan kepercayaan publik bukan hanya kehilangan legitimasi, tapi juga kehilangan masa depan. Karena perubahan hanya bisa tumbuh dari harapan, bukan dari keputusasaan.
Jika kita ingin membangun negara yang sungguh-sungguh bergerak menuju cita-cita, maka kita harus membangun mekanisme pertanggungjawaban substantif atas kebijakan. Bukan hanya menilai niat, tapi juga akibatnya.
Artinya, perlu reformasi dalam cara kita memandang tanggung jawab pejabat publik. harus ada sistem hukum atau etika yang;bisa mengadili kebijakan yang merusak publik, mewajibkan evaluasi terbuka,memberi sanksi pada kesalahan besar, meskipun itu dilakukan atas nama jabatan.
Dalam jangka panjang, ini adalah bentuk keadilan transformatif, di mana negara tidak hanya mengejar kesuksesan jangka pendek, tetapi juga mempertanggungjawabkan kegagalan struktural.
Cita-cita negara bukan sekadar slogan. Ia adalah janji yang harus diuji melalui proses nyata, kebijakan yang jujur, dan pertanggungjawaban yang adil. Bila tidak, maka negara hanya akan berjalan dalam ilusi: terlihat aktif, tapi sebenarnya stagnan.
Dan dalam kondisi seperti itu, kita tidak hanya kehilangan arah, tetapi juga kehilangan hak untuk percaya. Maka kritik bukan bentuk kebencian terhadap negara, melainkan cara untuk menjaga kesetiaan terhadap nilai-nilai awal yang sedang dipalsukan oleh proses yang tidak jujur.
Dalam hukum pidana, seseorang dihukum berdasarkan dua hal penting: niat jahat (mens rea) dan perbuatan yang merugikan (actus reus).
Contohnya, jika B mencuri sepatu A, maka ia dikenai pasal 362 KUHP karena ia telah mengambil hak milik A dengan sengaja, dan akibatnya jelas: sepatu itu hilang atau berpindah tangan secara tidak sah.
Namun bagaimana dengan pengambil kebijakan publik? Mereka pun mengorbankan banyak hal: anggaran negara, waktu kolektif, tenaga rakyat. Tetapi hasil dari kebijakan tersebut jarang (atau hampir tidak pernah) dinyatakan secara konkret dan terukur sebagaimana sepatu A.
Tidak ada pernyataan eksplisit seperti: ‘jembatan ini harus selesai dalam bentuk X, Y, Z dalam waktu T, dengan hasil Z yang bisa diukur dalam indeks pembangunan daerah atau kesejahteraan warga.’
Karena hasil tidak dinyatakan, maka ketika terjadi permainan atau penyalahgunaan wewenang dalam proses kebijakan, tidak ada alat bukti konkret yang bisa digunakan untuk menyatakan: ‘ini salah’, atau ‘ini merugikan rakyat.’
Alih-alih mengevaluasi hasil secara substansial, negara membela diri melalui prosedur formal: telah dilewati musyawarah, telah melalui audit BPK, atau telah sesuai prosedur administrasi.
Disinilah terjadi pergeseran: yang dinilai bukan hasil, tapi jalannya prosedur.
Akhirnya, hukum berhenti menjadi alat pertanggungjawaban. Ia hanya menjadi alat pembenaran. Maka terbentuklah struktur impunitas—ketika pengambil keputusan hampir tidak mungkin disentuh hukum, meski dampak dari kebijakannya merusak masa depan kolektif. Sementara itu, rakyat kecil tetap dikenai sanksi jika melakukan kesalahan kecil.
Keadilan pun menjadi timpang: hukum menjadi instrumen vertikal yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Dan selama hasil tidak dinyatakan secara jujur, maka tak akan ada titik rujukan untuk membuktikan kerugian publik. Negara berjalan tanpa arah, dan kebijakan menjadi aktivitas simbolik belaka.
*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Hukum semester Empat Universitas Atma Jaya Yogyakarta, asal Aceh Tengah