Oleh: Win Wan Nur*
Ketika kembali melihat Aceh Tengah dari kejauhan, menjelang Lebaran seperti ini, saya sudah bisa membayangkan Takengen yang akan sesak oleh wisatawan.
Penginapan penuh, sampai banyak yang terpaksa “ngebolang” jalanan padat, dan hiruk-pikuk perantau yang kembali sejenak ke tanah kelahiran.
Namun, di tengah keramaian itu, ada sebuah ironi yang sulit diabaikan—banyak dari mereka datang membawa uang untuk bersenang-senang, tetapi tidak menemukan alasan yang cukup menarik untuk membelanjakannya.
Betapa banyak potensi yang tersia-siakan di daerah ini, bukan karena kurangnya sumber daya, melainkan karena satu hal yang lebih mendasar: DEFISIT IMAJINASI
Di dunia ini, tidak ada kemajuan yang terjadi tanpa imajinasi. Bangunan megah, teknologi canggih, bahkan sebuah negara yang makmur, semuanya berawal dari visi besar seorang pemimpin.
Lihatlah Singapura. Negara kecil tanpa sumber daya alam ini pernah dipandang sebelah mata. Tapi Lee Kuan Yew tidak sekadar menerima nasib.
Ia membayangkan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang mungkin tampak mustahil saat itu: menjadikan Singapura sebagai pusat perdagangan dan keuangan dunia.
Visinya bukan sekadar angan-angan. Ia memetakan strategi, memilih orang-orang terbaik untuk mengeksekusi rencananya, dan yang paling penting, berani menyingkirkan mentalitas birokratis yang menghambat kemajuan.
Hasilnya? Singapura hari ini bukan lagi sekadar titik kecil di peta Asia Tenggara, melainkan simbol efisiensi, kemakmuran, dan inovasi.
—
Aceh Tengah: Kabupaten yang Tak Punya Imajinasi, Hanya Sibuk dengan Rutinitas Birokrasi
Sekarang, mari kita tengok Aceh Tengah.
Kabupaten ini bukan daerah miskin sumber daya. Ada kopi Gayo yang mendunia, ada keindahan alam yang bisa menjadi daya tarik wisata global, ada sejarah dan budaya yang kaya.
Tapi apa yang dilakukan pemerintah?
Sibuk menghabiskan anggaran tanpa strategi jangka panjang. Tidak ada keberanian untuk berpikir di luar kebiasaan.
Semua proyek berbasis pada rutinitas tahunan, bukan pada visi besar untuk membawa perubahan nyata.
Sejak Mustafa M. Tamy berhenti menjabat, Aceh Tengah tidak pernah lagi memiliki pemimpin dengan imajinasi besar. Yang tersisa hanyalah pejabat yang hanya memahami birokrasi, tapi tidak memahami apa yang benar-benar dibutuhkan oleh daerah ini.
Mereka melihat Aceh Tengah bukan sebagai “kanvas kosong” yang bisa mereka lukis dengan visi besar, tetapi sekadar “buku anggaran” yang harus dihabiskan setiap tahun.
Dan lebih ironisnya lagi?
Ketika ada pemilihan bupati, sponsor utamanya adalah pengusaha yang bisnis utamanya adalah mengerjakan proyek-proyek dari anggaran pemerintah.
Artinya, ekonomi daerah ini bukan digerakkan oleh kreativitas atau inovasi, tetapi oleh lingkaran anggaran pemerintah yang berputar di tangan segelintir orang yang sudah “dipesan” sejak awal.
—
Dedi Mulyadi: Contoh Pemimpin dengan Imajinasi di Tingkat Lokal
Mungkin ada yang mengatakan, “Jangan bandingkan Aceh Tengah dengan Singapura, itu terlalu jauh.” Baik, mari kita ambil contoh yang lebih dekat: Dedi Mulyadi di Purwakarta.
Sebelum Dedi memimpin, Purwakarta tidak dikenal sebagai daerah yang istimewa. Tapi ia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh pejabat Aceh Tengah: imajinasi dan keberanian untuk mengeksekusi ide-ide besar.
Ia merombak pos anggaran yang tidak produktif, mengalokasikannya ke sektor yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Ia mengubah Purwakarta menjadi daerah dengan identitas budaya yang kuat, membuat kota ini menarik untuk dikunjungi, bukan sekadar dilewati.
Ia tidak hanya mengurus administrasi, tetapi memikirkan bagaimana kotanya bisa berkembang dalam jangka panjang.
Apakah Dedi menunggu perintah dari atas? Tidak. Ia berpikir dan bertindak layaknya seorang arsitek yang membangun mahakarya.
—
Aceh Tengah: Kabupaten yang Terjebak dalam Siklus “Apa yang Bisa Didapat Sekarang?”
Singapura dan Purwakarta membuktikan satu hal: kemajuan tidak datang dari rutinitas birokrasi, tetapi dari imajinasi dan keberanian seorang pemimpin untuk berpikir besar.
Aceh Tengah tidak akan pernah maju jika pemimpinnya terus berpikir seperti akuntan yang hanya mengelola anggaran tahunan.
Aceh Tengah butuh seorang arsitek yang bisa melihat potensi daerah ini sebagai sebuah “mahakarya yang belum jadi.”
Tapi apakah rakyat masih percaya akan muncul pemimpin seperti itu?
Tidak.
Baik calon pemimpin maupun rakyat yang memilih, seperti sudah sama-sama sadar bahwa semua visi yang disampaikan hanyalah bumbu kampanye yang nanti tak akan dipenuhi.
Rakyat pemilih tidak lagi berpikir jangka panjang. Mereka tahu janji-janji itu hanya pemanis, jadi yang penting “apa yang bisa diambil sekarang, langsung ambil.”
Maka tidak heran kalau suara kritis pun lebih sering terdengar sebagai alat tawar-menawar.
Oknum aktivis? Kritik memang ada, tapi terlalu sering kritik itu lebih terasa sebagai cara untuk menarik perhatian, agar akhirnya dibungkam dengan proyek belanja pemerintah.
Akademisi? Mereka sibuk di dunia kampus. Kalaupun bersuara, ujung-ujungnya juga berharap agar diajak menikmati proyek belanja pemerintah juga.
Lalu, masih adakah harapan untuk Aceh Tengah?
Mungkin ada, mungkin tidak.
Tapi satu hal yang pasti: Tanpa pemimpin yang berani bermimpi, Aceh Tengah akan tetap seperti ini.
Sebuah daerah yang kaya potensi, tapi miskin keberanian untuk melangkah lebih jauh.
*Penulis adalah anggota Dewan Redaksi LintasGAYO.co dan seorang YouTuber