Oleh Dr. Johansyah, MA*
Ramadhan akan segera meninggalkan kita, dan Syawal sudah di depan mata. Umat Islam seantero dunia menyambut dengan penuh suka cita.
Berbagai persiapan dilakukan, mulai dari renovasi rumah, aneka ragam kue, hingga membeli baju lebaran. Mereka yang di perantauan juga akan mudik ke kampung halaman untuk bertemu sanak saudara dan handai taulan.
Idul fitri sebagai hari raya besar umat Islam memiliki makna mendalam. Sebuah ekspektasi religius bagi orang-orang yang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, semoga mereka menjadi insan yang berkesadaran (takwa).
Ketakwaan itulah yang kemudian di bulan Syawal dideskripsikan sebagai kondisi ruhaniyah yang kembali suci.
Dengan makna idul fitri yang sangat mendalam tersebut dapat dipahami bahwa meski pun dinamakan dengan Idul fitri, tapi tidak semua orang mengalami kondisi batin ini.
Lalu siapa sebenarnya yang masuk kepada kategori yang benar-benar idul fitri? Yakni mereka yang mengikuti pendidikan dan latihan Ramadhan sesuai dengan regulasi dan prosedur yang telah ditetapkan secara syar’i.
Dalam berbagai hadits dijelaskan bahwa ada dua syarat utama yang harus dipenuhi seseorang kalau ingin kembali kepada fitrah, yakni imanan (dengan penuh keimanan dan kesungguhan), serta wahtisaban (dan hanya berharap pahala dari Allah SWT).
Syarat ini menjadi penting sebab banyak orang yang menjalankan ibadah puasa karena malu kepada keluarga, tetangga, mertua, dan sebagainya. Padahal ibadah apa pun itu, harus dilakukan atas dasar keimanan, bukan atas dasar yang lain.
Orang yang berpuasa menyadari bahwa ibadah tersebut adalah perintah Allah SWT yang wajib ditunaikan. Dia pun meyakini bahwa ibadah tersebut berdampak positif bagi dirinya sehingga ia lakukan dengan penuh kesungguhan.
Wahtisaban berarti semata-mata orang yang puasa tersebut hanya mengharap balasan pahala dari Allah SWT. Boleh jadi ada orang yang menjalankan ibadah ini karena metivasi lain.
Dalam beberapa kepercaan misalnya ada orang yang berpuasa dengan tujuan memperoleh kesaktian. Atau puasanya dimaksudkan untuk memperoleh materi duniawi. Hal-hal seperti ini tentunya dilakukan bukan karena berharap pahala dari Allah SWT, artinya menyimpang dari syari’at.
Dalam Makna Yang Lebih Luas
Imanan wahtisaban dalam makna yang lebih luas adalah bahwa seseorang yang berpuasa dengan kerja keras berusaha mengendalikan hawa nafsu yang kerap menggiringnya pada sikap dan perilaku menyimpang.
Dia melakukan ibadah puasa ini secara totalitas. Yakni dengan cara berupaya sekuat tenaga untuk menahan diri dari makan dan minum serta mengendalikan diri dari berbagai hal yang dapat membatalkan maupun mengurangi nilai puasanya.
Di saat yang sama, dia terus memacu diri dengan amalan-amalan yang dianjurkan di dalam bulan Ramadhan, baik infaq, sadakah, shalat sunat, membaca alqur’an dan lain-lainnya.
Karena memang bagi mereka yang melakukan ibadah puasa dan amalan-amalan lainnya dijanjikan akan memperoleh pahala yang berlipat ganda mencapai sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat.
Hal inilah yang kemudian membuat orang-orang yang berpuasa bersemangat mengisi bulan ini dengan berbagai amal kebaikan karena berharap pahala dari Allah SWT.
Di luar dari itu semua, maka dapat dipastikan bahwa orang boleh saja ikut lebaran, tapi secara ruhaniyah tidak sampai pada jiwa dalam kondisi suci, sebab mungkin dia hanya menjalani puasa dengan sekedar menahan diri dari makan dan minum, sementara mulutnya tidak pernah alpa dari ucapan kotor, kerap bersikap menyinggung perasaan, dan perbuatannya sering meresahkan orang lain.
Orang seperti ini hanya lebaran tapi tidak idul fitri, atau hanya sebatas idul farhi (kembali bergembira) karena baju baru, peci baru, sandal baru, dan lain-lainnya, bukan karena jiwanya yang kembali kepada fitrah.
Atau kegembiraannya karena merasa terlepas dari beban besar yang selama ini membuatnya tersandera, tidak bebas melakukan sesuatu disebabkan karena berada dalam suasana ibadah puasa.
Dalam sebuah hadits ditegaskan memang ada satu golongan orang yang rugi di bulan Ramadhan. Yakni mereka yang ketika bulan mulia ini tiba, tidak menjalankan ibadah puasa dengan penuh keimanan dan berharap pahala dari Allah SWT.
Puasanya hanya puasa awam, sekedar menahan lapar dan dahaga, sementara dia tidak menjaga di antara dua rahang dan dua pahanya, sehingga puasanya hanya sia-sia.
Kembali Kepada Fitrah Kemanusiaan
Makna lain dari idul fitri adalah kembali kepada fitrah kemanusiaan. Fitrah manusia adalah mencintai kebaikan dan membenci keburukan.
Artinya orang-orang yang secara ruhaniyah kembali kepada kondisi suci berarti dia kembali gemar pada amalan-amalan kebaikan.
Ada dorongan yang lebih kuat dalam dirinya untuk melakukan kebaikan. Sebelumnya mungkin dia tidak tergerak untuk menolong saudaranya yang sulit, namun setelah menjalani puasa Ramadhan, kepekaan sosialnya meningkat dan tergerak hatinya untuk membantu.
Semua kebaikan pasti dicintai oleh manusia, dan semua kejahatan pasti mereka benci. Mereka akan bangga dengan setiap kebaikan yang dilakukannya.
Sebaliknya mereka akan resah dan tidak ingin diketahui oleh orang lain kalau dia melakukan kejahatannya. Inilah fitrah kemanusiaan yang ada dalam jiwa seseorang yang normal, dan sikap-sikap semacam inilah yang dilatih selama bulan Ramadhan.
Maka ketika menyebut hari raya dengan idul fitri, ini dapat dimaknai sebagai kondisi perubahan batin orang-orang yang berpuasa selama bulan Ramadhan menjadi lebih baik.
Di mana mereka memiliki dorongan kuat untuk melakukan banyak kebaikan dan berusaha untuk menghindari keburukan. Hal ini ditandai dengan peningkatan kuantitas dan kualitas ibadahnya, baik secara individu, maupun sosial.
Dengan kondisi batin yang sehat semacam inilah seseorang dapat melakukan misi pengabdian kepada Allah SWT secara maksimal, sebab dia mampu mengendalikan hawa nafsu dengan baik.
Hablumminallahnya tertata, dan hablumminnasnya juga senantiasa terjaga. Tutur katanya menyejukkan, sikapnya mempesona, perbuatannya juga membuat orang bangga.
Persoalan selanjutnya adalah ketika seseorang berada di level ini, apakah dia mampu mempertahan itu semua? Pasca Ramadhan dia akan kembali dihadapkan pada situasi sebelumnya, di mana tidak ada larangan dan batasan yang mengikat baginya untuk melakukan apapun. Dalam kondisi inilah ia menghadapi ujian yang sesungguhnya.
Apakah jiwa yang kembali kepada fitrah tadi mampu bertahan, ataukah terkontaminasi oleh virus-virus kehidupan di sekitarnya? Wallahu a’lam bishawab!
*Penulis adalah Dosen STIT Al-Washliyah Aceh Tengah