Menjadi Pribadi yang Muhsin

oleh

Oleh : Dr. Johansyah, MA*

Orang-orang yang beriman diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Selama menjalankan ibadah ini, mereka tidak boleh makan dan minum mulai pagi hingga tibanya waktu berbuka puasa.

Lebih dari itu, mereka dituntut untuk mampu menundukkan hawa nafsu. Sebagai stimulusnya, Allah SWT menjanjikan pahala yang berlipat ganda bagi setiap amal kebaikan yang dikerjakan oleh orang yang berpuasa, mendapat ampunan atas dosa-dosanya di masa lalu, hingga suatu saat kelak bertemu dengan-Nya.

Ilustrasi sederhananya mungkin dapat digambarkan kepada seseorang yang pergi berbelanja ke Mall. Kebetulan sedang ada promo besar-besaran, siapa yang berbelanja minimal Rp. 500.000,- akan mendapatkan diskon 20 persen plus bonus.

Tentu dia tertarik dengan promo ini dan langsung berbelanja sejumlah minimal yang telah ditetapkan untuk mendapatkan diskon dan bonus.

Bonus Ramadhan tentu lebih dari bonus yang didapatkan seseorang di Mall. Bahkan pemberian bonus itu tidak seberapa di sisi Allah SWT untuk dipersembahkan kepada hamba-hamba-Nya yang melaksanakan ibadah puasa.

Di balik itu semua sebenarnya ada tujuan yang sangat mulia dari diwajibkannya puasa, yakni agar manusia bisa mendidik diri dan meningkatkan level kemanusiaannya dari mukmin menjadi muhsin.

Mukmin adalah orang-orang yang mengakui, membenarkan, dan mengamalkan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Namun dalam keseharian dia belum maksimal dalam menjalankan tugas pengabdian kepada Allah SWT.

Dia masih kerap melakukan kemaksiatan. Terkadang dia juga masih terjebak dengan perkara-perkara dunia yang remeh sehingga kurang maksimal dalam menjalankan kewajibannya terhadap Allah SWT.

Kepribadian mukmin dinilai masih rapuh dan labil dalam merespon situasi internal dan eksternal yang buruk. Hawa nafsu yang ada dalam dirinya masih berpotensi mendominasi dan mengarahkannya kepada sesuatu yang tidak disukai oleh Allah SWT. Demikian halnya sesuatu yang ada di luar dirinya masih berpotensi membuat imannya goyah dan turun.

Tidak Ada Jaminan

Dengan kata lain, tidak ada jaminan bagi seseorang yang berada di level mukmin bahwa imannya stabil. Lalu bagaimana caranya? Dia harus berada di level muhsin.

Yakni orang yang melakukan kebaikan hanya karena Allah SWT semata. Adanya perasaan bahwa dia diawasi oleh-Nya, baik dalam kondisi yang ramai maupun dalam kondisi sepi.

Muhsin adalah isim fa’il yang kata dasarnya adalah ihsan (kebaikan). Ketika Jibril bertanya kepada nabi SAW tentang pengertian ihsan, beliau menjelaskan; “ihsan adalah kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihat-Nya. Meski pun kamu tidak dapat melihat-Nya secara kasat mata, maka sesungguhnya Dia melihatmu” (HR. Muslim).

Maknanya bahwa orang yang muhsin itu selalu merasakan kedekatan dan kehadiran Allah SWT dalam setiap gerak langkah dan desah nafasnya sehingga dia selalu berusaha untuk menghindari sesuatu yang keji dan mungkar.

Seperti yang pernah dinukil oleh KH Zainuddin MZ dalam sebuah ceramahnya. Di mana seorang Kyai memberikan sebuah ujian hikmah kepada para santrinya.

Masing-masing mereka diberikan satu burung dan si Kyai meminta para santri untuk menyembelih burung tersebut dengan syarat tidak boleh ada siapa pun yang melihatnya.

Sesuai arahan sang Kyai, mereka pun pergi bertebaran. Ada yang pergi ke balik batu besar, ke dalam gua, ke balik pepohonan dan sebagainya. Setelah dianggap aman dan tidak ada yang melihat, mereka pun menyembelih burung sesuai arahan si Kyai. Tidak lama kemudian, semua menghadap dan melaporkan telah melaksanakan perintah sesuai arahan.

Namun ada satu santri yang kembali dengan membawa burung dalam keadaan hidup. Melihat hal tersebut, sang Kyai pun bertanya, kenapa dia tidak menyembelih burung tersebut.

Santri ini lantas menjawab; “sesuai dengan arahan Kyai agar burung ini disembelih dengan syarat tidak boleh ada yang melihatnya. Saya telah berusaha mencari tempat yang tidak ada siapa pun melihatnya, tapi ke mana pun saya pergi ternyata Allah SWT tetap melihatnya”.

Mendengar jawaban santri satu ini, sang Kyai merasa kagum, dan inilah sebenarnya yang diinginkannya. Bahwa ke mana dan di mana pun seseorang, tetap merasakan kehadiran-Nya.

Manusia bisa bersembunyi dari manusia lain, lari ke tempat lain hingga ke luar negeri, dan memalsukan identitasnya. Tapi dia tidak bisa lari dari Allah SWT yang Maha Mengetahui. Tidak ada yang rahasia bagi-Nya, bahkan Dia mengetahui sesuatu di lubuk hati yang paling dalam.

Untuk menggambarkan karakter muhsin, mungkin kita juga sering membaca kisah nabi Yusuf AS yang diperdaya oleh ibu angkatnya Siti Zulaikha, seperti yang dikisahkan dalam Surah Yusuf ayat 23-29.

Nabi Yusuf AS memang dikenal dengan pesonanya yang membuat Siti Zulaikha tidak mampu menahan diri dan ingin melakukan perbuatan tidak senonoh dengan anak angkatnya ini.

Dia tutup pintu dan jendela hingga tidak ada seorang pun yang melihat, lalu memaksa nabi Yusuf AS agar mau menyentuhnya. Namun ketika itu beliau segera mengingat Allah SWT dan lari dari cengkraman Siti Zulaikha yang sudah dikuasai oleh nafsu membara.

Secara manusiawi, beliau juga memiliki hasrat, tapi karena merasa diawasi oleh Allah SWT yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui, beliau memilih untuk menolak ajakan ibu angkatnya.

Cara Allah SWT Membimbing Kita

Untuk itu, puasa Ramadhan yang kita jalankan selama sebulan ini adalah cara Allah SWT untuk membimbing kita melalui upaya pengendalian diri dari hawa nafsu dan rasa terus diawasi oleh Allah SWT sehingga diharapkan mampu meningatkan level kepribadian kita dari sosok mukmin menjadi muttaqin.

Muttaqin berarti orang yang senantiasa sadar diri akan kehadiran Allah SWT sehingga membuatnya lebih berhati-hati dan perhitungan sebelum melakukan sesuatu. Dia akan bertanya pada dirinya apakah perbuatannya disenangi atau dibenci oleh Allah SWT? Sekiranya disenangi, dia akan melakukannya, dan kalau memang dibenci, dia segera meninggalkannya.

Perasaan selalu diawasi oleh Allah SWT inilah yang terus kita latih selama Ramadhan. Meski tidak ada yang melihat kita kalau mau makan dan minum di siang hari, tapi karena ada perasaan diawasi oleh Allah SWT kita tidak melakukannya.

Di saat berbuka puasa tiba, ada rasa nikmat yang mendalam kita rasakan, dan itu di antara nikmat yang dijanjikan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang berpuasa.

Akhirnya, marilah kita menjadi peserta didik Ramadhan yang serius. Yakni mengikuti rambu-rambu puasa dengan sebaik-baiknya sehingga pada penghujung Ramadhan level kepribadian kita yang sebelumnya mukmin naik ke level muhsin. Wallahu A’lam Bishawab!

*Penulis adalah Dosen STIT Al-Washliyah Aceh Tengah

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.