Oleh Dr. Johansyah, MA*
Takengon adalah salah satu destinasi wisata yang semakin diminati pengunjung, baik dari kabupaten lain wilayah Aceh maupun dari luar Aceh.
Hal ini dapat dilihat pada setiap hari libur nasional, di mana hampir semua penginapan terisi penuh.
Terlebih lagi ketika liburan idul fitri seperti saat ini, bahkan banyak pengunjung yang tidak mendapatkan tempat penginapan sehingga mereka mencari masjid-masjid sebagai tempat beristirahat, atau juga karena alasan keterbatasan anggaran.
Sudah begitu adanya, ke mana pun berwisata, para pengunjung pasti mencari masjid, minimal untuk melaksanakan shalat fardhu, atau sekedar untuk beristirahat di sana.
Biasanya juga mereka mencari masjid dengan ketersediaan air yang memadai, parkirnya luas dan aman, aksesnya mudah, ada tempat peristirahatan, dan sebagainya.
Untuk saat ini, kita memang memiliki masjid agung Ruhama Takengon sebagai masjid kebanggaan masyarakat Aceh Tengah. Masjid ini sudah di bangun sejak puluhan tahun yang lalu dan sudah mengalami beberapa kali renovasi.
Menurut analisa Kanda Yan Budianto, salah seorang ahli konstruksi bangunan yang saat ini kebetulan menjadi salah satu pengurus bidang ri’ayah Masjid Agung Ruhama, kondisi konstruksi bangunan ini sudah sangat rapuh, sehingga untuk rencana jangka menengah dan panjang tidak memungkinkan lagi untuk renovasi dalam skala besar, kecuali yang kecil dan bersifat mendesak saja.
Jadi, apapun ceritanya harus dipikirkan membangun masjid baru.
Harus Dilakukan Kajian Serius
Untuk maksud tersebut, tentu harus dilakukan kajian serius dari berbagai aspeknya. Apakah pembangunan masjid baru di tempat saat ini? Kalau ya, berarti masjid ini harus dibongkar total.
Apakah memungkinkan untuk membangun masjid baru di tempat lain? Kalau ya, lalu untuk apa masjid yang ada saat ini bisa dimanfaatkan?
Tentu saja, setiap kebijakan pasti memiliki resikonya sendiri, ada kelebihan dan kekurangannya. Seandainya masjid baru dibangun pada tempat sekarang ini, berarti konstruksi bangunan lama harus dibongkar total. Atau posisinya sedikit digeser seperti halnya pembangunan masjid Sabilillah Mongal.
Setelah masjid yang baru siap, barulah bangunan yang lama dirubuhkan. Atau seperti pembangunan Masjid Matang Gelumpang Dua, memulai pembangunan dari bangian belakang, dan bagian depan tetap digunakan untuk aktivitas ibadah.
Setelah bagian belakang siap, barulah bagian depan dibongkar dan diganti dengan konstruksi baru.
Saya pribadi tampaknya lebih cenderung membangun masjid di tempat lain, dan tempat yang paling strategis adalah di wilayah Darmaga jalan lintas danau kampung Mendale-Bom.
Modelnya nanti masjid apung di pinggiran pantai dan di atas danau yang dari berbagai aspek dapat menampilkan berbagai keunggulan.
Pertama, sebagai daerah wisata masjid apung di pingguran danau Lut Tawar sudah pasti menarik minat banyak wisatawan.
Ketika mereka berkunjung ke sini, tidak hanya sekedar untuk melaksanakan ibadah, maupun istirahat, tapi juga bisa menikmati keindahan danau Lut Tawar secara langsung.
Dengan kata lain, masjid apung ini nanti menjadi salah satu objek wisata religi sekaligus wisata alam dengan keindahan panorama Danau Lut Tawar di sana.
Kedua, dari segi letak kita juga melihatnya sangat strategis karena masih berada di wilayah perkotaan.
Dengan desain dan perencanaan yang matang pembangunan masjid mulai dari nol tampaknya lebih mudah untuk dilakukan daripada proses renovasi masjid yang ada sekarang ini, meski pun telah menelan biaya milyaran rupiah, tapi hasilnya tidak mungkin lagi maksimal.
Ini tentu membutuhkan proses dan waktu, namun kalau memang pemerintah daerah kabupaten Aceh Tengah serius dan dapat melobi donatur dari luar, mungkin dalam jangka waktu dua hingga tiga tahun sudah bisa dimanfaatkan.
Artinya kepemimpinan sekarang masih dapat menikmati hasil di masa kepemimpinannya.
Ketiga, seperti yang kita ketahui bahwa di masjid agung Ruhama saat ini kerap terkendala air. Terlebih lagi ketika dalam situasi hari libur nasional dan lebaran, di mana jumlah pengunjungnya meningkat.
Maka seandainya masjid apung nanti jadi dibangun, tentu kendala ini bisa diatasi karena masjid berada di sumber airnya langsung, yakni danau Lut Tawar. Kita hanya perlu menyiapkan mesin penyedot dan penyaring air yang baik.
Keempat, di masjid apung ini nanti ada beberapa usaha milik masjid yang dapat dikembangkan dan diintegrasikan dengan wisata Islami, yakni kerambak jaring di sekitar lokasi masjid apung.
Selain untuk dinikmati oleh pengunjung, nantinya ikan ini dapat dijual sebagai salah satu bentuk usaha masjid. Usaha selanjutnya yang potensial dikembangkan adalah perahu kapal wisata.
Ini nantinya bisa disewakan kepada para pengunjung yang mau berkeliling seputar danau Lut Tawar.
Mengembangkan Usaha Air Minum Kemasan
Selain itu, pengelola masjid juga dapat mengembangkan usaha air minum kemasan. Hal ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan karena memang sumber airnya melimpah.
Usaha-usaha lainnya yang potensial untuk dikembangkan nanti adalah café, dan oleh-oleh khas Gayo yang murah meriah bagi wisatawan yang datang.
Sekiranya usaha-usaha seperti ini bisa dikembangkan dengan baik, berarti ada pemasukan untuk masjid yang dapat dimanfaatkan untuk biaya operasional dan bidang kemakmuran masjid.
Jika biaya untuk keperluan untuk ini sudah terpenuhi, maka infaq jama’ah bisa dimanfaatkan untuk kegiatan sosial kemasjidan seperti menyantuni anak yatim, membantu orang sakit yang kurang mampu, sembako murah, dan berbagai kegiatan sosial lainnya.
Maka jelas dari aspek anggaran, masjid tidak lagi banyak bergantung kepada sumbangan masyarakat. Malah sebaliknya masjid bisa menjadi donatur bagi masyarakat.
Dana umat tidak lagi melulu digunakan untuk renovasi masjid atau hal-hal yang bersifat fisik lainnya, tapi mengarah kepada gerakan sosial dan pembangunan sumber daya manusia masjid melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di berbagai bidang.
Adapun masjid Agung Ruhama yang ada saat ini, nantinya dapat dikembangkan untuk Islamic Center dan homestay syari’ah.
Selain itu, dapat pula dikembangkan menjadi lembaga pendidikan Ruhama Boarding School (RBS) untuk tingkat MTs dan MA, serta Full Day School untuk tingkat Ibtidaiyah. Sedangkan untuk tingkat TK, tinggal melanjutkan yang ada saat ini.
Akhirnya, ini bukanlah hal yang mudah dan mungkin terkesan mimpi. Namun kita yakin bahwa sesuatu yang besar itu harus dimulai dari mimpi. Selanjutnya tentu harus dibarengi dengan ihktiar bersama untuk mampu mewujudkannya.
Hal yang paling penting saat ini sebenarnya bukan dari mana anggarannya, tapi apakah kita berkomitmen untuk melaksanakannya. Insyaallah komitmen bersama inilah yang menjadi modal awal kita untuk melangkah ke tahap berikutnya. Wallahu a’lam bishawab!
*Penulis adalah Pemerhati Sosial Kegamaan, Tinggal di Kebayakan