Oleh: Win Wan Nur*
Tadi pagi, saat saya memposting sebuah artikel yang mengulas status Facebook Mirza Ardi, sebuah komentar tajam dari Bang Fuad Mardhatillah muncul di beranda saya.
Komentar itu bukan sekadar opini biasa, melainkan tamparan keras bagi kaum intelektual Aceh:
“Benar, kaum intelektual hanya dikatakan intelektual karena mereka berasal dari kampus, dengan tingkat kognitifnya umumnya cuma C1—mengetahui dan menghapal. Cukup untuk berjuang memperoleh ‘comfort zone’ yang nyaman, dengan pendapatan lumayan dan pasti, walau tidak besar.
Cukup untuk hidup di lapis tengah, dengan kecenderungan hidup santai bersama keluarga, tingkat kesadaran sosial nyaris nol, tanpa harus peduli dan peka terhadap realitas sosial.” Tulis Bang Fuad di komentarnya.
Komentar ini bukan datang dari sembarang orang. Ini keluar dari Bang Fuad Mardhatillah, yang—setidaknya menurut pandangan pribadi saya—bukan tipe akademisi menara gading yang hanya nyaman di balik tembok kampus, menulis jurnal Scopus yang tak dibaca siapa pun, lalu merasa hebat sendiri.
Dia intelektual petarung. Seorang pemikir yang berani masuk ke ruang publik, berdebat terbuka, dan melawan arus pemikiran yang menurutnya keliru.
Sejak mengenalnya di dunia maya (saya belum pernah bertemu langsung), saya melihat bahwa bagi Bang Fuad, diam adalah bentuk pengkhianatan intelektual.
Ia paham betul bahwa di Aceh hari ini, ruang opini publik semakin dikuasai oleh narasi populis berbasis emosi, sementara kaum intelektual justru semakin menjauh dari perdebatan.
Kritiknya bukan sekadar sentimen pribadi, tetapi hasil pengamatannya selama bertahun-tahun: para akademisi Aceh lebih memilih hidup nyaman, menikmati gaji bulanan, dan membiarkan ruang wacana diisi oleh mereka yang lebih berani berbicara—meskipun argumen mereka dangkal dan menyesatkan.
—
Ketika Ustaz Politik Menguasai Wacana, Intelektual Malah Sibuk Ngopi
Lihatlah realitas hari ini: ustaz politik semakin mendominasi. Mereka menguasai wacana publik dengan retorika yang menggugah emosi massa.
Mereka tidak selalu benar, tapi mereka hadir. Mereka berbicara di mimbar, di media sosial, di panggung seminar.
Sementara itu, kaum intelektual?
Duduk santai di pojok belakang Warung Kopi Jasa Ayah, alias Solong, sibuk membahas “kajian ilmiah” yang tidak akan pernah mereka bawa ke ruang publik. Lalu setelah itu pulang, menikmati kenyamanan keluarga, dan pura-pura tidak peduli dengan apa yang terjadi di luar sana.
Ini bukan sekadar soal keberpihakan. Ini soal siapa yang berani bertarung untuk merebut ruang publik.
Saya tahu, banyak yang akan bilang:
> “Kami bukan politikus, tugas kami meneliti dan mendidik.”
Omong kosong!
Jika ilmu yang kalian kuasai hanya berputar-putar di ruang kelas dan seminar akademik, untuk apa kalian disebut intelektual?
Karena itu, supaya tulisan ini dianggap serius oleh kalian—kaum intelektual—dan bukan sekadar cari perhatian, saya akan berbicara dengan bahasa yang kalian anggap akademis: teori.
Dan menurut saya, teori yang paling tepat untuk memahami fenomena ini adalah Teori Hegemoni Antonio Gramsci.
—
Gramsci dan Kemunafikan Intelektual Aceh
Gramsci membagi intelektual menjadi dua jenis:
Intelektual Tradisional – Mereka yang merasa cukup dengan status akademik, merasa netral, dan lebih memilih diam daripada mengambil risiko.
Intelektual Organik – Mereka yang berani keluar dari zona nyaman, melawan hegemoni opini yang menyesatkan, dan berjuang bersama masyarakat untuk membentuk kesadaran kolektif.
Dan realitasnya? Aceh saat ini memang kekurangan intelektual organik.
Yang tersedia melimpah ruah sampai tumpah-tumpah adalah kaum akademisi yang puas hidup nyaman, menikmati gaji bulanan, dan berbicara kritis hanya di dalam lingkaran aman mereka sendiri.
Maka jangan kaget kalau Aceh terus mundur.
—
Jika Intelektual Tak Bertarung, Jangan Heran Jika Aceh Terus Dikuasai Orang Bodoh
Kalau kondisi ini dibiarkan, Aceh tidak akan dipimpin oleh mereka yang paling rasional, tetapi oleh mereka yang paling vokal.
Orang yang menguasai ruang publik bukan mereka yang punya wawasan luas, tetapi mereka yang punya keberanian untuk bicara, meskipun tanpa substansi.
Lalu, di mana para intelektual?
Masih sibuk menulis jurnal untuk kenaikan pangkat?
Masih asyik berbincang di warung kopi tanpa ada keberanian untuk turun ke gelanggang?
Perlawanan terhadap narasi yang menyesatkan tidak bisa dilakukan dengan diam.
Jika kalian—para intelektual Aceh—masih ingin merasa berguna, sudah waktunya kalian bertarung.
Kalau tidak, gelar akademik kalian hanyalah hiasan tak bermakna, sementara masa depan Aceh akan terus ditentukan oleh mereka yang lebih berani mengambil panggung.
Kalian bisa tetap diam, tapi jangan salahkan siapa-siapa kalau besok Aceh benar-benar jadi provinsi yang dikuasai oleh kebodohan.
Dan akhirnya, terimalah dosa yang harus kalian tanggung di akhirat nanti akibat kalian tak berbuat apa-apa melihat kerusakan ada di depan mata, padahal kalian punya kemampuan dan tanggung jawab sosial untuk mengubahnya.
*Penulis adalah anggota Dewan Redaksi LintasGAYO.co yang juga seorang YouTuber