Oleh: Win Wan Nur*
Tadi pagi teman saya, Alkaf, seorang pengamat sepakbola penggila Maradona yang cosplay menjadi dosen di IAIN Langsa, di status facebooknya menumpahkan keresahannya tentang bagaimana supremasi sipil semakin tergerus dengan kembalinya militer ke ruang-ruang sipil.
Reformasi yang seharusnya menata ulang relasi sipil-militer justru semakin menjauh dari tujuannya.
Menurut saya, yang menarik dari fenomena ini bukan semata-mata tentang militer yang ingin berkuasa, tetapi lebih karena politisi sipil yang gagal memahami dan mempertahankan supremasi sipil.
Bagi saya, penyebab utama kembalinya militer ke ranah sipil adalah kuatnya dominasi, bahkan dominasi total, ketua partai di dalam sistem politik Indonesia.
Dalam demokrasi yang sehat, partai politik seharusnya menjadi alat perjuangan kolektif, di mana kader-kader terbaik dapat bersaing secara sehat berdasarkan kapasitas dan integritas mereka.
Namun, di Indonesia, partai politik lebih menyerupai kerajaan kecil yang dikendalikan oleh satu orang: ketua partai.
Dialah yang menentukan siapa yang boleh maju dalam pemilu, bukan berdasarkan kapabilitas, melainkan berdasarkan loyalitas.
Bukan hanya itu, arah kebijakan partai juga sepenuhnya berada dalam genggaman ketua, yang berarti tak ada ruang bagi kader untuk berdebat atau berbeda pendapat.
Segala sumber daya partai, mulai dari keuangan hingga jaringan politik, berada di bawah kendali sang ketua. Akibatnya, partai yang seharusnya menjadi pilar demokrasi malah berubah menjadi kendaraan pribadi bagi segelintir elite.
Pernyataan Bambang Wuryanto, atau yang lebih dikenal sebagai Bambang Pacul, semakin memperjelas realitas ini.
Dalam sebuah diskusi politik, ia secara terbuka mengakui bahwa sistem dalam partainya adalah “Korea-Korea,” yang berarti bahwa semua keputusan diambil oleh satu pemimpin tertinggi tanpa ruang perbedaan pendapat.
Ini bukan sekadar candaan politik, tetapi sebuah pengakuan bahwa demokrasi internal partai di Indonesia telah mati. Ketua partai berperan layaknya pemimpin otoriter dalam sistem politik tertutup, sementara kader hanya bertugas mengikuti perintah.
Dampaknya tidak terbatas hanya dalam lingkup partai. Ketika partai dikelola dengan sistem “Korea-Korea,” politisi yang lahir dari sistem ini tidak mungkin menjadi pemimpin yang mandiri.
Mereka tumbuh dalam kultur kepatuhan, bukan dalam kultur kepemimpinan. Akibatnya, ketika mereka berada di posisi kekuasaan dalam pemerintahan, mereka tidak memiliki keberanian untuk mengambil keputusan besar.
Mereka lebih sibuk mencari restu dari ketua partai ketimbang memikirkan kepentingan rakyat yang mereka wakili.
Masalahnya, dalam situasi di mana politisi sipil tak lagi memiliki keberanian untuk mengambil keputusan besar, ruang kekuasaan itu tak bisa dibiarkan kosong.
Dalam sejarah Indonesia, setiap kali ruang sipil melemah, militer selalu hadir sebagai solusi instan untuk menghadirkan stabilitas.
Ketika politisi sipil gagal menunjukkan ketegasan dalam mengelola negara, militer selalu dianggap sebagai alternatif yang lebih bisa diandalkan.
Ketika konflik politik terus dibiarkan tanpa solusi yang nyata, militer yang memiliki struktur komando yang jelas dianggap lebih efektif dalam menghadapi situasi krisis.
Ketika para pejabat sipil lebih sibuk menjaga posisi mereka dalam partai daripada membangun negara, rakyat kehilangan kepercayaan, dan sebagai akibatnya, militer kembali dipandang sebagai penyelamat.
Mandegnya pembahasan Undang-Undang Penyitaan Aset Koruptor dan Undang-Undang Pembuktian Terbalik Harta Korupsi adalah bukti nyata bagaimana dominasi total ketua partai telah menghancurkan supremasi sipil.
Dua undang-undang ini seharusnya menjadi senjata utama dalam pemberantasan korupsi, tetapi sampai sekarang tidak bisa berlanjut karena ketua-ketua partai tidak bersedia membahasnya.
Mereka tidak ingin ada aturan yang bisa menyerang mereka sendiri, karena mereka tahu bahwa aset mereka dan jaringan mereka bisa ikut terseret jika aturan ini diberlakukan.
Inilah lubang yang ditinggalkan oleh reformasi 1998. Dulu, kita berhasil menjatuhkan Soeharto yang mengendalikan bangsa ini sendirian, tetapi sekarang kita justru menyerahkan kendali itu pada ketua-ketua partai yang bisa selamanya berkuasa tanpa bisa dijatuhkan.
Bedanya, Soeharto adalah satu orang yang bisa ditumbangkan dengan gerakan besar, tetapi ketua-ketua partai ini membagi kekuasaan di antara mereka dan saling mengamankan kepentingan masing-masing.
Mereka bisa terlihat bertarung di depan publik, tetapi di belakang layar mereka saling melindungi agar tetap bisa mengontrol sistem.
Pada akhirnya, supremasi sipil runtuh bukan karena militer yang terlalu agresif, tetapi karena politisi sipil yang tidak memiliki keberanian untuk menjalankan peran mereka sebagai pemimpin yang bertanggung jawab.
Dengan sistem partai yang terkunci oleh kekuasaan ketua, politik pun berubah menjadi sekadar transaksi kepentingan.
Jabatan publik tidak lagi diberikan kepada mereka yang memiliki kompetensi, tetapi kepada mereka yang bisa menegosiasikan kepentingan dengan elite partai.
Parlemen, yang seharusnya menjadi lembaga pengawas eksekutif, justru lebih sering berfungsi sebagai perpanjangan tangan ketua partai.
Kebijakan negara bukan ditentukan berdasarkan kebutuhan rakyat, tetapi berdasarkan hasil kompromi antara segelintir orang yang ada di lingkaran kekuasaan.
Dalam situasi seperti ini, rakyat pada akhirnya hanya menjadi penonton, sementara jalannya pemerintahan dikendalikan oleh elite partai yang terus-menerus bernegosiasi untuk kepentingan mereka sendiri.
Ketika politik dijalankan dengan cara seperti ini, demokrasi kehilangan maknanya. Rakyat semakin apatis karena merasa suaranya tidak akan berpengaruh terhadap kebijakan negara.
Dalam kondisi semacam ini, militer semakin mudah masuk ke dalam ruang-ruang sipil, bukan dengan cara merebut kekuasaan seperti era Orde Baru, tetapi dengan cara diberikan ruang oleh masyarakat yang sudah kehilangan kepercayaan pada politisi sipil.
Pernyataan Bambang Pacul soal “Korea-Korea” ini seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Jika partai politik terus dibiarkan menjadi kerajaan kecil yang dikendalikan secara absolut oleh satu orang, maka tidak ada harapan bagi demokrasi yang sehat.
Politisi sipil akan terus lemah, supremasi sipil akan semakin tergerus, dan pada akhirnya, kita akan kembali ke pola lama di mana militer mengambil peran yang semakin besar dalam kehidupan sipil.
Kalau kita benar-benar ingin membangun supremasi sipil yang kuat, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menata ulang partai politik agar lebih demokratis. Ketua partai tidak boleh memiliki kekuasaan absolut.
Partai harus menjadi ruang kompetisi yang sehat, di mana kader-kader terbaik bisa bersaing secara adil tanpa harus tunduk pada satu orang.
Mekanisme pengambilan keputusan dalam partai harus lebih transparan, sehingga kebijakan yang diambil benar-benar mewakili aspirasi kader dan konstituen, bukan hanya kepentingan elite di puncak partai.
Kalau partai politik tetap dibiarkan menjadi alat bagi segelintir orang untuk mempertahankan kekuasaannya, maka politisi sipil tidak akan pernah benar-benar memiliki kemandirian.
Mereka akan terus bergantung pada restu ketua, bukan pada suara rakyat. Ketika kondisi ini terus berlanjut, supremasi sipil tidak akan pernah benar-benar kokoh.
Militer akan selalu menemukan celah untuk masuk ke ranah sipil, dan demokrasi kita akan terus berjalan mundur.
Kita mungkin telah menumbangkan Soeharto, tetapi tanpa perubahan dalam sistem partai, kita hanya menciptakan banyak “Soeharto kecil” yang kini berkuasa tanpa batas waktu.
*Penulis adalah Anggota Dewan Redaksi LintasGAYO.co dan juga salah satu pendiri Persatuan Nasional Aktivis 98 (PENA 98)