Oleh: Win Wan Nur*
Di dalam camp Timnas Indonesia saat ini, suasana penuh optimisme. Para pemain tersenyum dalam sesi latihan, berbincang akrab dengan pelatih baru mereka, Patrick Kluivert.
Ada semangat kebersamaan yang kuat, rasa percaya diri yang semakin tumbuh, dan keyakinan bahwa mereka bisa berbuat banyak dalam sisa kualifikasi Piala Dunia 2026.
Setiap kali Timnas Indonesia bersiap untuk bertanding, ada satu kalimat yang selalu digaungkan oleh Jay Idzes, bek tengah andalan Garuda yang kini bermain di Venezia:
“Kita di sini untuk rakyat, bangsa, dan negara kita. Kita di sini untuk meletakkan Indonesia di peta sepak bola dunia.”
Bukan sekadar kata-kata, tapi sebuah sumpah yang merefleksikan mentalitas baru Timnas Indonesia. Mereka tidak lagi hanya sekadar bermain, mereka berjuang untuk sesuatu yang lebih besar.
Lupakan Jepang, Australia Sudah Punya Rival Sejati
Semangat inilah yang ditangkap oleh The Guardian, salah satu media terkemuka asal Inggris. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh John Duerden, seorang jurnalis spesialis sepak bola Asia, ia menegaskan bahwa Indonesia adalah rival sejati Australia di Asia saat ini.
Duerden, yang telah lama meliput sepak bola Asia, bukanlah sosok sembarangan. Ia dikenal sebagai salah satu penulis paling berwawasan tentang perkembangan sepak bola di kawasan ini.
Pandangannya dalam artikel ini bukan hanya sekadar opini, tetapi berdasarkan analisis mendalam terhadap perkembangan tim-tim Asia dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam artikelnya, Duerden menyoroti fakta bahwa Indonesia kini memiliki lebih banyak pemain berbasis di Eropa dibandingkan Australia.
Jika dua dekade lalu nama-nama seperti Tim Cahill dan Mark Viduka mendominasi sepak bola Asia, kini para pemain Indonesia yang berkarier di Eropa mulai mencuri perhatian.
Lebih jauh lagi, Duerden menekankan bahwa Australia tak lagi bisa hanya fokus kepada Jepang atau Korea Selatan sebagai rival utama.
Jepang sudah terlalu jauh di depan, sedangkan Korea Selatan memiliki jalannya sendiri. Rival sejati yang dapat mendorong Australia ke level berikutnya justru datang dari Asia Tenggara, tepatnya Indonesia.
Bahkan, ia mengingatkan bahwa jika dulu Socceroos menganggap Indonesia sebagai tim yang jauh di bawah mereka, sekarang situasinya berbeda. Tidak ada lagi ketakutan atau inferioritas dari kubu Indonesia ketika menghadapi Australia.
Sebaliknya, mereka datang dengan rasa percaya diri yang tinggi dan keyakinan bahwa mereka bisa bersaing di level yang sama.
Malaysia? Cuma Penonton di Luar Pagar
Di tengah rivalitas yang berkembang antara Indonesia dan Australia, ada satu negara yang entah kenapa merasa harus ikut terlibat: Malaysia.
Malaysia tampaknya mengalami krisis eksistensi dalam sepak bola. Mereka tidak benar-benar bersaing di level atas, tetapi terus berusaha menempatkan diri sebagai rival utama Indonesia.
Padahal, ketika Indonesia sibuk menantang Australia dan tim-tim besar lainnya, Malaysia masih berkutat dengan drama internal, hoaks, dan kebanggaan palsu yang tak berdasar.
Seperti yang ditunjukkan dalam artikel The Guardian, Indonesia sedang melangkah maju, mendapatkan pengakuan dari media-media global.
Sementara itu, Malaysia masih sibuk dengan narasi nasionalisme semu, menyebarkan klaim-klaim tak berdasar, dan mencoba menarik perhatian dengan cara-cara murahan.
Jadi, jika Australia benar-benar mencari rival sejati di Asia, lupakan Jepang. Rival mereka ada di sebelah barat, dengan warna merah dan putih yang menyala terang.
Dan bagi Malaysia? Maaf, diskusi ini hanya untuk mereka yang benar-benar bermain di dalam lapangan, bukan mereka yang hanya menonton dari luar pagar.
*Penulis adalah anggota dewan redaksi LintasGAYO.co dan juga seorang YouTuber