Oleh: Tazkir, S.Pd, M.Pd*
Kalau teringat cerita duhulu era non digital, sebelum gemerlapnya dunia maya sebagai alat media sosial, masjid dan menasah menjadi pusat aktivitas kegiatan remaja terutama di bulan Ramadhan.
Anak baru pulang dari perantauan, anak pesantren, orang tua, guru, atau tokoh masyarakat kerap menjadi contoh nyata dalam memaknai Ramadhan.
Biasanya, mereka mengajak teman-teman ke masjid bersama, menciptakan kebiasaan positif, setelah berbuka mereka akan berlumpul di masjid, tarawih dan tadarus bersama.
Ada pula diantara mereka berbagi cerita positif, berbagi pengalaman. Indah sungguh, ramadan masa itu untuk dikenang. Saat sahur, ramai-ramai mereka membangun warga sekitar.
Namun, era saat ini, disaat teknologi semakin canggih, para remaja justru menghabiskan waktunya untuk kegiatan-kegiatan yang tak bermanfaat.
Sangat jarang kita lihat, mereka memperdalam atau memperbaiki bacaan Al-Qur’an saat tadarus.
Fenomena tadarus terus menurun dikalangan Remaja kita saat ini. Minimnya remaja dalam tadarus Ramadhan berpotensi menciptakan kesenjangan spiritual antar generasi.
Kemana para remaja? Kenapa hal tersebut bisa terjadi?
Kini budaya nongkrong telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak muda.
Mereka lebih senang duduk di warung , kafe, taman kota, bahkan pinggir jalan, yang menjadi tempat favorit mereka menghabiskan waktu bersama temannya.
Bagi mereka, aktivitas lain dianggap lebih menarik seperti bermain game, chatting, berkumpul dengan teman-teman nongkrong sampai tengah malam (bergadang) dan terlena dengan dunia digitalnya.
Aktivitas seperti nongkrong, dianggap lebih kekinian atau trend dan sesuai dengan gaya hidup mereka.
Akibat hal tersebut, kurangnya daya tarik bagi remaja untuk bergabung berbagi dengan bukan usia mereka akibat media sosial. Mereka lebih memilih nongkrong hanya semata-mata karena gaya hidup.
Akibatnya malas tadarus, malas membaca Al-Qur’an, malas belajar, malas berjamaah di masjid, dan aktivitas lainnya karena sudah kelelahan akibat bargadang.
Mengembalikan minat remaja pada tadarus Ramadhan bukanlah hal mustahil, dibutuhkan kolaborasi semua pihak penyuluhan dari tokoh keagamaan, orang tua, aparatur desa dan pemerintah untuk mengajak remaja aktif dalam kegiatan positif.
Kegiatan yang menyediakan ruang diskusi bagi remaja dari berbagai kegiatan, harus ada upaya untuk mengarahkan remaja ke kegiatan yang lebih positif.
Yang terpenting, perlunya menciptakan ekosistem yang mendukung untuk mengurangi budaya nongkrong.
Dengan pendekatan yang tepat, peran keluarga, sekolah, dan tokoh masyarakat, remaja bisa lebih produktif dan menghindari budaya yang tidak baik itu.
Semoga Ramadhan ke depan
menjadi momentum bagi generasi muda untuk kembali merajut hubungan dengan Al-Qur’an. Amin..
*Penulis Guru SMA Negeri 1 Bukit Bener Meriah