Oleh : Win Wan Nur*
Sejarah sering dianggap sebagai cermin masa lalu yang memberi kita gambaran tentang siapa kita dan dari mana kita berasal.
Namun, kenyataannya tidak selalu demikian. Sejarah tidak sekadar kumpulan fakta, tetapi juga alat yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk mempertahankan kekuasaan.
Di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, ada banyak kisah yang diselewengkan atau sengaja dihapus demi kepentingan politik.
Tiga wilayah di Indonesia—Gayo, Papua, dan Kalimantan—mengalami hal serupa. Masing-masing memiliki sejarah yang kaya dan identitas yang kuat, tetapi sering kali disisihkan dalam narasi nasional. Bagaimana sejarah mereka dimanipulasi, dan bagaimana mereka berusaha merebut kembali kisah mereka sendiri?
—
Bagian 1: Sejarah yang Hilang dalam Narasi Besar
Banyak orang mungkin tidak terlalu familiar dengan sejarah Gayo. Wilayah ini, yang terletak di pedalaman Aceh, memiliki budaya dan bahasa yang berbeda dari suku Aceh.
Namun, dalam buku-buku sejarah, Gayo sering hanya disebut sekilas, seolah-olah keberadaannya hanyalah bayangan dari Kesultanan Aceh.
Padahal, masyarakat Gayo memiliki sejarah panjang dalam melawan penjajahan Belanda, sesuatu yang jarang diakui dalam narasi resmi Aceh.
Nasib yang sama juga dialami oleh Papua. Sejak bergabung dengan Indonesia melalui Pepera 1969, sejarah Papua sering ditulis dari sudut pandang pemerintah Indonesia. Pepera disebut sebagai proses demokratis, padahal banyak bukti menunjukkan tekanan militer terhadap masyarakat Papua saat itu.
Sejarah Papua sebelum menjadi bagian dari Indonesia juga sering diabaikan, seolah-olah mereka tidak memiliki sistem politik dan budaya yang berkembang sebelum masuk ke dalam negara ini.
Sementara itu, di Kalimantan, suku Dayak sering kali disederhanakan dalam narasi sejarah nasional sebagai bagian dari budaya Melayu.
Padahal, mereka memiliki sistem sosial dan politik yang berbeda. Sejarah kerajaan-kerajaan Dayak sebelum kolonialisme sering kali tidak banyak dibahas, seolah-olah mereka hanyalah suku yang hidup di hutan dan tidak memiliki peradaban yang maju.
—
Bagian 2: Mengapa Sejarah Dimanipulasi?
Sejarah tidak hanya soal masa lalu, tetapi juga tentang kekuasaan. Dengan mengendalikan narasi sejarah, kelompok tertentu bisa mempertahankan dominasi mereka di masa kini.
Di Aceh, misalnya, sejarah sering ditulis dari perspektif Kesultanan Aceh, yang membuat suku Gayo terlihat sebagai bagian kecil dari cerita besar Aceh.
Hal ini bukan hanya persoalan akademik, tetapi juga berdampak pada kebijakan politik dan ekonomi. Masyarakat Gayo sering merasa terpinggirkan dalam kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Aceh.
Di Papua, sejarah dipakai sebagai alat legitimasi politik. Dengan menampilkan Pepera sebagai proses yang demokratis, pemerintah bisa membenarkan keberadaan militer dan eksploitasi sumber daya alam Papua.
Sementara itu, dengan menekan narasi sejarah yang berbeda, suara-suara yang menginginkan kebebasan bagi Papua bisa dianggap tidak sah.
Di Kalimantan, manipulasi sejarah digunakan untuk mendukung proyek asimilasi budaya. Dengan mengaitkan suku Dayak dengan budaya Melayu, pemerintah bisa lebih mudah menerapkan kebijakan yang lebih menguntungkan kelompok pendatang dibandingkan masyarakat asli.
—
Bagian 3: Perlawanan terhadap Sejarah yang Dimanipulasi
Namun, masyarakat di ketiga wilayah ini tidak tinggal diam. Mereka berusaha merebut kembali narasi sejarah mereka dan menyebarkannya melalui berbagai cara.
Di Gayo, misalnya, muncul gerakan intelektual yang mencoba menulis ulang sejarah mereka sendiri, mengangkat sejarah Gayo yang selama ini diabaikan.
Media online seperti Lintas Gayo menjadi salah satu wadah untuk menyebarkan perspektif alternatif tentang sejarah Gayo.
Di Papua, aktivis dan jurnalis lokal menggunakan media digital untuk membagikan kisah yang tidak diceritakan dalam buku sejarah resmi.
Video dokumenter, artikel, hingga akun media sosial menjadi alat untuk menyuarakan sejarah Papua dari perspektif orang Papua sendiri.
Di Kalimantan, beberapa akademisi dan jurnalis mulai mendokumentasikan sejarah Dayak dengan lebih serius. Mereka meneliti dan menulis ulang sejarah yang selama ini dikesampingkan, mencoba menunjukkan bahwa suku Dayak memiliki sistem politik dan sosial yang berkembang jauh sebelum kolonialisme.
—
Bagian 4: Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Kisah Gayo, Papua, dan Kalimantan mengajarkan kita bahwa sejarah bukan hanya soal masa lalu, tetapi juga tentang masa depan.
Ketika sebuah kelompok kehilangan kontrol atas sejarah mereka, mereka juga kehilangan kendali atas identitas dan hak-hak mereka.
Namun, kisah mereka juga menunjukkan bahwa sejarah tidak bisa selamanya dikendalikan oleh kelompok yang berkuasa.
Dengan teknologi digital dan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya sejarah yang inklusif, semakin banyak orang yang berusaha mencari kebenaran di balik narasi yang selama ini diajarkan.
Mungkin inilah saatnya bagi kita untuk lebih kritis terhadap sejarah yang kita baca. Jangan hanya menerima apa yang ada di buku pelajaran atau yang diajarkan di sekolah.
Cobalah untuk menggali lebih dalam, mencari sumber alternatif, dan mendengarkan suara-suara yang selama ini dikesampingkan. Karena pada akhirnya, sejarah yang sejati adalah sejarah yang menceritakan semua suara, bukan hanya suara yang berkuasa.
*Penulis adalah anggota Dewan Redaksi LintasGAYO.co dan juga seorang YouTuber