Islam di Maroko dan Gayo: Kisah Dua Wajah yang Berbeda

oleh

Oleh: Win Wan Nur*

John Bowen datang ke Gayo tanpa prasangka. Sebagai seorang antropolog, ia tidak membawa anggapan bahwa Islam harus selalu terlihat seperti di Maroko, Mesir, atau Arab Saudi.

Ia datang untuk melihat dan memahami. Tapi saat ia pulang, ia membawa sebuah kesimpulan yang mengguncang banyak akademisi di Barat: Islam bukan satu warna.

Orang-orang di Barat sering mengira bahwa Islam adalah agama yang menekan perempuan. Dalam imajinasi mereka, setiap perempuan Muslim selalu berjalan di belakang laki-laki, wajah tertutup rapat, dan suaranya tak pernah terdengar dalam pengambilan keputusan.

Stereotip ini bukan datang tiba-tiba. Puluhan tahun, bahkan berabad-abad, kajian akademik dan media Barat membangun narasi bahwa Islam identik dengan represi terhadap perempuan.

Dan menariknya, mereka selalu menjadikan dunia Arab dan Afrika Utara—terutama Maroko—sebagai contoh utama.

Padahal, dunia Islam tidak sesempit itu. Kalau mereka mau membuka mata, ada banyak tempat di mana perempuan Muslim punya peran kuat dalam keluarga, adat, bahkan ekonomi. Salah satunya? Gayo.g

Islam di Maroko: Perempuan dalam Bayang-Bayang Laki-Laki

Di Maroko, sistem sosial memang lebih patriarkal. Laki-laki adalah kepala keluarga mutlak. Perempuan harus mendapat izin wali laki-laki dalam berbagai urusan.

Pernikahan sering kali ditentukan oleh ayah atau paman, sementara perempuan hanya diberi tahu setelah keputusan dibuat.

Ketika seorang perempuan Maroko menikah, ia harus meninggalkan rumahnya dan pindah ke rumah keluarga suaminya.

Warisan lebih banyak jatuh ke tangan anak laki-laki. Dan yang paling mencolok: perempuan hampir tidak punya suara dalam pernikahan mereka sendiri.

John Bowen melihat sendiri bagaimana di Maroko, keputusan penting dalam keluarga hampir selalu diambil oleh laki-laki.

Perempuan sering kali hanya menjalankan keputusan yang sudah dibuat untuk mereka. Dan inilah yang selama ini dilihat oleh akademisi Barat—sehingga mereka mengira bahwa inilah wajah Islam yang sebenarnya.

Islam di Gayo: Perempuan di Pusat Keputusan

Ketika Bowen tiba di Gayo, ia menemukan sesuatu yang bertolak belakang.

Di sebuah rumah kayu, ia duduk di sudut ruangan, mencatat percakapan yang terjadi di hadapannya. Seorang ibu, dengan suara tegas, berbicara kepada anak laki-lakinya yang hendak menikah.

“Kau pikir kau bisa menikahi siapa saja tanpa restuku?”

Sang ayah duduk diam di sudut, membiarkan istrinya mengambil kendali percakapan.

Di Gayo, perempuan bukan hanya ibu rumah tangga, tetapi juga pemegang keputusan penting dalam keluarga dan komunitas.

Saat ada anak atau keponakan yang mau menikah, orang pertama yang dimintai pendapat bukan bapak, tetapi ibu atau bibi.

Ibu punya peran besar dalam pendidikan anak, termasuk dalam menentukan masa depan mereka.

Banyak perempuan Gayo yang aktif dalam pertanian, terutama dalam produksi kopi.

Mereka juga mengelola keuangan keluarga, bahkan sering lebih pintar dalam mengatur uang dibanding suami mereka.

Berbeda dengan di Maroko, di mana perempuan harus mengikuti suami setelah menikah, di Gayo pasangan tidak harus mengikuti sistem patrilokal. Bisa tinggal dekat keluarga istri, bisa juga mencari tempat sendiri.

Kalau ada orang Barat yang datang ke Gayo dengan bayangan bahwa Islam pasti menindas perempuan, mereka mungkin akan bingung. Karena apa yang mereka bayangkan tentang perempuan Muslim tidak terjadi di sini.

Kenapa Islam di Maroko dan Gayo Bisa Berbeda?

Jawabannya sederhana: Islam tidak berdiri di ruang kosong.

Di Gayo, Islam bertemu dengan adat yang sudah lebih fleksibel dalam urusan gender. Maka, yang lahir adalah masyarakat yang menghormati ajaran Islam tanpa harus menekan perempuan.

Di Maroko, Islam berkembang dalam sistem yang sejak awal sudah patriarkal. Maka, ajaran agama pun diterapkan dengan cara yang lebih ketat terhadap perempuan.

Dengan kata lain, yang membuat perempuan di Maroko lebih dibatasi bukan Islam-nya, tapi budaya patriarki yang sudah ada sebelum Islam datang.

Kesalahan Besar Barat dalam Melihat Islam

Kesalahan terbesar yang dibuat akademisi dan media Barat adalah mengira bahwa Islam hanya ada di dunia Arab.

Padahal, Islam punya wajah yang berbeda di setiap tempat:

Di Afrika Barat, ada komunitas Muslim yang bahkan punya pemimpin perempuan dalam urusan adat.

Di Asia Tengah, perempuan Muslim terlibat aktif dalam perdagangan dan politik.

Di Nusantara, perempuan punya peran besar dalam keluarga dan ekonomi.

Tapi semua ini jarang masuk ke dalam kajian Barat. Mereka lebih tertarik membahas hukum waris di Arab Saudi atau aturan hijab di Iran, lalu menganggap itu sebagai gambaran seluruh dunia Islam.

John Bowen menolak pandangan ini. Ia melihat sendiri bagaimana Islam di Gayo berbeda dari Islam di Maroko.

Ia membawa cerita ini ke dunia akademik di Barat, menulis, berbicara di seminar, dan mendebat sesama akademisi yang masih melihat Islam sebagai satu entitas tunggal.

Hari ini, John Bowen yang oleh keluarga Gayo-nya dipanggil dengan sebutan “Aman Genali” adalah anggota Akademi Seni dan Sains Amerika, sejajar dengan Barack Obama, Tom Hanks, dan Sonia Sotomayor.

Pemikirannya tentang Islam dihormati di dunia akademik, dan ia menjadi salah satu suara paling vokal yang menantang pemahaman sempit Barat tentang dunia Muslim.

Kesimpulan: Waktunya Mengubah Cara Pandang

Islam bukan agama yang satu warna. Cara Islam dipraktikkan di suatu tempat sangat tergantung pada budaya dan sejarah masyarakatnya.

Ketika Barat berbicara tentang Islam yang menekan perempuan, mereka sebenarnya hanya berbicara tentang Islam di dunia Arab, bukan Islam secara keseluruhan.

Gayo adalah bukti bahwa Islam bisa berkembang dalam sistem sosial yang lebih terbuka terhadap perempuan. Bahwa perempuan Muslim tidak harus selalu menjadi bayang-bayang laki-laki.

Jadi, kalau ada orang Barat yang masih berpikir bahwa Islam pasti menekan perempuan, mungkin sudah waktunya mereka keluar dari imajinasi mereka sendiri dan melihat dunia lebih luas.

*Penulis adalah anggota redaksi LintasGAYO.co dan seorang YouTuber

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.