Oleh; Salman Yoga S*
Seni erotis sebagai awal dan cikal bakal pornografi dalam bentuk karya seni dalam pandangan masyarakat prasejarah seperti yang ditulis oleh The Liang Gie, mempunyai beberapa fungsi.
Fungsi pertama adalah fungsi magis, karya seni dianggap memiliki kekuatan gaib untuk mengusir roh-roh yang jahat. Jadi, suatu karya seni erotis pada masa yang lampau dianggap dapat melindungi kehidupan masyarakat dari mara bahaya atau untuk meningkatkan hasil panen. Fungsi seperti ini tampaknya sudah tidak ada lagi pada zaman modern ini.
Namun fungsi hiburan dan ekpresi kegembiraan serta eksistensime bagi bagi pelakunya tanpaknya lebih dominan. Apa yang terjadi di Jagong Jeget sebagai peringatan hari jadi kecamatan dimaksud menjadi Jagong Jeget Joget (Tri J), lebih pada fungsi ini. Ia buka sebuah ritual, bukan pula sebuah pornoaksi yang berbentuk erotisme yang vulgar.
Tetapi menjadi aneh ketika sebahagian pihak justru melihatnya sebagai sesuatu yang berlebihan. Apalagi ada yang menyarankan agar tarian tradisi dan menjadi identitas ke Gayo-an dalam “resam mungerje” agar dihilangkan. Ini adalah salahsatu bentuk kesalahkaprahan dalam melihat dan memahami sebuah seni.
Tarin-tarin kopé dalam kebudayaan adalah identitas sekaligus sebagai ekspresi budaya. Ia bukan tarian yang dapat dipersonifikasikan dengan hal yang negatif.
Meski disadari terkadang para pelakunya dalam beberapa tahun terkahir cenderung fulgar, bukan berarti harus menghilangkannya, melainkan menatanya ulang dan mengembalikannya pada titik awal sebagai seni Gayo yang islami.
Ide menghilangkannya justru sama dengan mengingkari ayat Allah tentang keberagaman suku, etnik, kafilah dan esensi rahmatan lilalaminya Islam.
Terlepas dari sempitnya pola pandang terhadap hal tersebut, fungsi sebagai karya seni pada zaman modern ini lebih menonjol dan turut berpengaruhnya adalah fungsi bisnis untuk mendapat keuntungan secara finansial, baik oleh pelaku maupun oleh medianya. Firalnya Jagong Jeget Joget (Tri J) sebagai contoh yang terdekat.
Hal tersebut menjadi bagian yang dimaklumi, karena semua menyangkut nilai-nilai kultural, religius bahkan moral secara implisit maupun tekstual dapat terakomodir secara sekaligus.
Demikain juga dengan seni sastra, yang dalam masyarakat Gayo diakumulasikan oleh seni Didong dengan unsur sastra, syair, gerak, body music, filsafat, ajaran agama dan lain-lain. Ia dapat digolongkan sebagai sastra Gayo yang perenial.
Yaitu pengetahuan suci (sciential sacra) berada di jantung alam semesta dan merupakan pusat kreativitas kebudayaan setiap masyarakat yang beragama.
Jadi, enti entap ni tikus wan keben, keben né séoten. Ini bukan kebijaksanaan yang bijak, tetapi justru sebaliknya. Bukan sebuah kecerdasan dan solusi, tetapi justru sebaliknya.
Seni erotis sebagai bagian dari kesusastraan dan seni maupun sebagai kategori pemahaman, tumbuh dan berkembang bersama modernisasi Barat serta di belahan dunia lainnya.
Dalam konteks pornografi sebagai karya seni sesungguhnya telah pula muncul sejak pornografi itu sendiri muncul.
Di Indonesia contoh terdekatnya adalah karya sastra yang ditulis oleh seorang pujangga pada zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII.
Karya dengan tulis tangan berjudul Candraning Wanita, yang mengungkapkan liku-liku perempuan dan teknik bercinta serta gambar-gambar. Berbeda dengan syair-syair didong yang justru lebih dominan pada nilai-nilai ajaran agama dan moral dari pada ekslorasi fisik manusia secara gender.
Buku kedua adalah Pranacitra (Raramendut), yaitu kitab yang memuat kisah kisah percintaan yang amat dikenal di kalangan masyarakat Jawa. Buku ketiga yang baru-baru ini juga menjadi topik bahasan di salah satu stasiun televisi swasta adalah yang berjudul Serat Sentini.
Ketiga buku-buku tersebut ditulis diabad antara 13-16 Masehi, yang sekaligus juga membuktikan bahwa sejarah kesenian dan budaya Inodonesia (Jawa) dalam pornografi telah berakar di tengah masyarakat kita.
Berikutnya tentang seni lukis. Seni erotis dalam bentuk gambar (lukis) juga muncul dalam peradaban Jepang. Fungsinya adalah untuk media pendidikan.
Media yang digunakan bukanlah media yang dapat dikonsumsi oleh khalayak, tetapi dalam media yang sederhana dan penggunaannya terbatas pada kalangan-kalangan tertentu saja.
Karya seni yang berisikan gambar-gambar hubungan intim tersebut digambarkan dalam kipas angin yang terbuat dari bambu atau tetumbuhan lainnya yang memungkinkan untuk dijadikan media melukis.
Para kaum ibu di Jepang mewariskan kipas angin yang berisi gambar-gambar tersebut kepada putrinya yang hendak akan menikah, tujuannya adalah sebagai buku panduan baginya dalam memasuki bahtera rumah tangga.
Buku (dalam bentuk kipas angin itu) dinamakan Shuga, yaitu gulungan gambar yang memuat berbagai posisi hubungan kelamin.
Gulungan gambar erotis dari bangsa Jepang sesungguhnya berasal dari Tiongkok. Seni erotis bangsa Tionghoa sudah ada pada Dinasti Han (206 sebelum Masehi sampai tahun 24).
Buku-buku petunjuk tentang seks juga dibuat oleh bangsa ini dengan fungsi pendidikan untuk mempelai pria maupun wanita.
Dalam sebuah buku puisi berjudul T’ung-seng-ko yang ditulis oleh penyair kenamaan Chang Heng sekitar tahun 100 Masehi terdapat sebuah syair yang melukiskan seorang mempelai wanita pada malam pertama pernikahannya.
Seni erotis bangsa Tiongkok pada kipas angin lipat mempunyai keistimewaan, yaitu bagian depan dan belakang menunjukkan pemandangan biasa. Tetapi, kalau kipas itu dibuka dengan cara terbalik dari cara biasa, maka berbagai gambar erotislah yang terlihat.
Setiap bangsa mempunyai seni erotis yang khas menunjukkan corak kebudayaannya. Misalnya seni erotis bangsa Jepang. Semuanya menggambarkan bagaimana isi dan bentuk kebudayaan bangsa itu.
Yang jelas orang-orang yang termuat pada suatu karya seni tertentu merupakan penggambaran dari wajah laki-laki dan perempuan Jepang.
Tidak hanya itu saja, seringkali pokok soal dalam karya seni hanya mungkin diungkapkan oleh bangsa Jepang dan tidak mungkin dibuat oleh misalnya bangsa Meksiko atau suatu bangsa lainnya.
Artinya ditinjau dari seni penciptaan karya seni setiap bangsa mempunyai citra dan ciri masing-masing berdasarkan kepercayaan dan budayanya sendiri.
Karena secara umum orang berpendapat bahwa kesenian adalah hasil ekspresi manusia akan keindahan. Sebenarnya tidak semua hasil karya seni klasik dapat siasumsikan sebagaimana yang tergambar di atas.
Karena menurut salah seorang Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia, M.J Melalatoa, yang menyatakan bahwa; ada karya seni yang lebih mengutamakan pesan budaya yang mengadung unsur-unsur sistem budaya dari masyarakat yang bersangkutan.
Baca Juga : Seni Erotis, Pornoaksi dan Pornografi (Bagian.1)
Hal ini berarti bahwa dengan kesenian masyarakat yang bersangkutan bermaksud menjawab atau menginterpretasikan permasalahan kehidupan sosialnya, mengisi kebutuhan atau mencapai suatu tujuan bersama, seperti kemakmuran, persatuan, kemuliaan, kebahagiaan dan rasa aman berhubungan dengan yang gaib (supranatural) dan lain-lain.
Kesenian sebagai hasil ekspresi keindahan yang mengandung pesan budaya dapat terwujud dalam bermacam-macam bentuk, seperti seni lukis, seni patung, seni sastra, seni tari, seni vokal, seni musik dan seni drama.
Karya seni memberikan manfaat melalui isinya, seperti pesan dan nasehat yang pada umumnya diperoleh melalui aspek-aspek etikanya.
Karya seni memberikan informasi dalam berbagai bentuknya, seperti adat istiadat, konplik sosial pola-pola perilaku, dan sejarah. Pada hakekatnya karya seni memberikan manfaat dalam bentuk ilmu pengetahuan, sebagai ilmu pengetahuan non formal, seperti logika, hukum dan sistem sesuai dengan hakekat karya seni masing-masing.
* * *
*Dr. Salman Yoga S, S.Ag.,MA.,CPM adalah Dewan Pakar Dewan Kesenian Aceh (DKA), Dosen UIN Ar-Raniry, Ketua Lembaga The Gayo Institute (TGI) dan redaktur Sastra-Budaya Media Lintasgayo.co serta seniman dan sastrawan nasional.