Oleh : Zulfikar Ahmad Aman Dio*
Di dataran tinggi Aceh yang dikelilingi kabut dan hutan lebat, tersebar komunitas masyarakat Gayo yang kaya akan warisan pengetahuan tradisional.
Mereka, yang tinggal di Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Timur, Aceh Utara, hingga Aceh Tamiang, telah menjaga kearifan lokal selama ratusan tahun.
Sebut saja sistem pengukuran panjang dan penanda waktu tradisional yang berakar kuat dalam kehidupan sehari-hari masa lalu.
Namun, di tengah derasnya arus modernisasi, pengetahuan ini semakin terpinggirkan.
Dengan masuknya teknologi dan standar internasional, generasi muda Gayo kini lebih akrab dengan meter dan jam digital, sementara seta, depa, dan tuk kurik perlahan-lahan hanya menjadi bagian dari cerita masa lalu.
Membaca Waktu tanpa Jam: Sistem Penanda Waktu Tradisional Gayo
Sebelum jam tangan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern, masyarakat Gayo menggunakan penanda waktu yang didasarkan pada perubahan posisi matahari dan fenomena alam. Mereka membagi waktu sehari-hari dengan istilah seperti:
• Tuk Kurik: Menandai awal fajar.
• Dĕné Ajar Gajah: Saat kabut pagi mulai menghilang.
• Ampar Jĕmur: Waktu menjemur hasil panen ketika matahari mulai terik.
• Awal Ruhul dan Mugrip: Menandakan peralihan dari siang ke sore, dan dari senja ke malam.
Pengetahuan ini sangat fungsional, membantu masyarakat menentukan waktu terbaik untuk bercocok tanam, berburu, atau melaksanakan upacara adat.
Namun, sekarang, penanda waktu seperti ini mulai terlupakan, tergantikan oleh jam digital yang lebih presisi tetapi tidak memiliki ikatan emosional dengan alam.
Mengukur Panjang dengan Depa dan Seta: Keunikan Sistem Pengukuran Tradisional
Selain waktu, masyarakat Gayo juga mengembangkan sistem pengukuran panjang yang berbasis pada tubuh manusia dan objek-objek alam. Beberapa satuan yang digunakan antara lain:
• Seta: Jarak dari ujung jari tengah hingga siku, sering digunakan untuk mengukur panjang kain.
• Depa: Digunakan untuk mengukur kedalaman dan panjang, serta dalam negosiasi mahar pernikahan.
• Jengkal dan Singkul: Satuan yang lebih pendek, cocok untuk pengukuran detail dalam kerajinan tangan dan rumah tangga.
Pengukuran ini tidak hanya sekadar alat bantu teknis, tetapi juga bagian dari ritual dan praktik sosial yang mengikat komunitas Gayo dengan alam.
Namun, dengan diperkenalkannya sistem pengukuran internasional, satuan tradisional seperti seta dan depa mulai menghilang dari keseharian masyarakat.
Mengapa Pengetahuan Tradisional Ini Harus Dilestarikan?
Mungkin ada yang bertanya, di tengah kemajuan teknologi, mengapa kita perlu melestarikan pengetahuan tradisional seperti ini? Jawabannya sederhana: pengetahuan tradisional adalah bagian tak terpisahkan dari identitas budaya dan kearifan lokal.
1. Memperkuat Identitas Budaya Lokal: Sistem pengukuran dan penanda waktu ini adalah cerminan hubungan harmonis masyarakat Gayo dengan alam. Melestarikannya berarti menghargai warisan yang diwariskan leluhur mereka, sekaligus menjaga identitas budaya yang unik di tengah gempuran globalisasi.
2. Mendorong Inovasi Berbasis Kearifan Lokal: Pengetahuan tradisional dapat menjadi sumber inspirasi untuk inovasi modern yang lebih berkelanjutan. Misalnya, di daerah-daerah terpencil yang tidak memiliki akses ke teknologi modern, metode pengukuran berbasis tubuh tetap relevan.
3. Penghormatan terhadap Leluhur: Melestarikan warisan budaya berarti memberikan penghargaan nyata kepada para leluhur yang telah menjaga pengetahuan ini selama berabad-abad. Dengan cara ini, generasi muda dapat lebih menghargai akar budaya mereka.
Qanun Pemajuan Kebudayaan: Menyelaraskan Kebijakan di Aceh
Meskipun Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan telah memberikan landasan hukum untuk melindungi pengetahuan tradisional, penerapannya masih terbatas pada tingkat nasional. Di Aceh, yang memiliki berbagai etnik, termasuk Gayo dan sub etniknya, dengan kebijakan daerah yang berbeda, dibutuhkan regulasi khusus yang lebih menyeluruh.
Qanun Aceh dapat menjadi jembatan yang menyatukan kebijakan pelestarian budaya di seluruh provinsi. Termasuk seluruh kebudayaan Gayo baik di wilayah mayoritas (Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues) atau minoritas di wilayah (Aceh Utara, Timur dan Tamiang) Dengan adanya Qanun Pemajuan Kebudayaan, kita dapat:
• Mengakui dan melindungi pengetahuan tradisional sebagai bagian dari kekayaan budaya Aceh.
• Mendorong penelitian dan dokumentasi yang mendalam tentang objek pemajuan kebudayaan Gayo sebagai bagian integral dalam Budaya Aceh.
• Memastikan bahwa semua sub-etnik Gayo, baik Gayo Lut, Deret, Lues, Lokop, maupun Tanyo, mendapatkan perlindungan hukum yang memadai di wilayah masing-masing.
Menginspirasi Penelitian dan Aksi Nyata
Namun, regulasi saja tidak cukup. Diperlukan kerja sama dari berbagai pihak—pemerintah, akademisi, jurnalis, dan masyarakat lokal—untuk memastikan bahwa pengetahuan ini benar-benar hidup kembali. Penelitian yang mendalam, wawancara dengan para tetua, dan dokumentasi yang akurat menjadi langkah-langkah penting untuk menyelamatkan warisan ini sebelum benar-benar hilang.
Ini adalah panggilan bagi peneliti, pelajar, dan jurnalis untuk terjun lebih dalam. Mari kita menyusuri lembah dan pegunungan Gayo, bertemu dengan para penjaga tradisi yang masih tersisa, dan merekam cerita mereka sebelum terlambat.
Karena ketika pengetahuan ini hilang, kita kehilangan lebih dari sekadar informasi teknis—kita kehilangan sebuah cara hidup, sebuah identitas, dan sebuah warisan kebijaksanaan.
Menuju Masa Depan yang Berakar pada Tradisi
Melalui pembentukan Qanun Pemajuan Kebudayaan Aceh, kita memiliki peluang untuk tidak hanya melestarikan masa lalu, tetapi juga membangun masa depan yang lebih berakar pada tradisi.
Bayangkan generasi mendatang yang dapat mengenal kembali satuan seperti depa dan seta, serta memahami makna di balik tuk kurik dan mugrip, karena kita telah menjaga warisan itu tetap hidup.
Di tengah derasnya arus perubahan, identitas budaya adalah jangkar yang menjaga kita tetap terhubung dengan asal-usul kita. Mari bersama-sama menyusun Qanun yang tidak hanya melindungi, tetapi juga menghidupkan kembali warisan budaya Gayo dan seluruh Aceh.
Saatnya bertindak, sebelum warisan ini benar-benar lenyap.
Catatan :
Cara mengukur : Sipet, takar, suket
Satuan panjang: depa, seta, jengkal, singkul, demak, jari, tulang, tumbuk, kruyung, elak
Satuan dimensi (luas permukaan) : Benyer, Tempeh
Satuan volume : Suket, kunce, nalih, gantang, are, kal, blah kal, undil, gating, jempot, tangkus, renggom, mbal, bides
Satuan bagian/potongan : Kerat, aleh, anak, baju, batang, bentuk, bunge, delam, demak, depa, jemput, jontok, eles, galah, gris, keping, kerat, leping, lie, mata, nemal, pancak, pinggang, ules, pake, pucuk, peis, renggom, rilah, rimpang, semir, sengkol, seta, sirung, sisir, sugi, suep, taka, tali, tangke, tapak, telbong, tengkah, tetar, tetir, tingkil, tundun, candik, cerbeng
Satuan waktu : tuk kurik, dĕné ajar gajah, dĕrĕndang, beloh nur, sòbòh, kĕkabur, ampar jĕmur, rakat man, tólèh nur, atas lō timang, awal ruhul, gèlèng, akir ruhul, awal asar, akir asar, mata n lö tĕnglóp, sĕnye, mugrip, èsa, mis kĕkanak, mis tĕtue, tĕngah malam, relem lo
Sumber : Hazeu, 1907, “Gajosch-nederlandsch woordenboek”, Landsdrukkerij, Batavia
*Pemerhati dan Peneliti Sejarah dan Budaya Gayo