Catatan: Muhammad Syukri*
Setiap memasuki tanggal 10 Nopember, timeline medsos dan media mainstream dihiasi nama pahlawan. Bangga membaca nama mereka. Namun, diantara nama-nama itu, belum ada pahlawan asal Dataran Tinggi Gayo yang diakui negara.
Terakhir tahun 2023, ada sederet tokoh yang diakui negara sebagai pahlawan. Namun bukan dari Dataran Tinggi Gayo. Diantaranya, Abdul Chalim, Ahmad Hanafiah, Bataha Santiago, Ida Dewa Agung Jambe, Mohammad Tabrani, dan Ratu Kalinyamat.
Beberapa hari lalu, tepatnya 4 Nopember 2024, saya membaca berita di lintasgayo.co berjudul “Beriman Akan Perjuangkan Aman Nyerang Jadi Pahlawan.”
Gagasan itu unik dan menarik. Saya setuju. Pasalnya, jarang-jarang calon bupati bersedia mengangkat isu pahlawan. Karena isu semacam itu kurang populer dalam meraup suara.
Akhir-akhir ini isu paling populer yang diapungkan para calon bupati dan wakil bupati, berkutat dalam hal membangun jalan. Membangun rumah ibadah. Memberi bantuan ini itu, dan seterusnya.
Dan, isu semacam itu paling digemari para pemilih. Meskipun mereka tahu, isu atau janji yang ditawarkan lebih kepada “angin surga,” belum tentu akan dipenuhi.
Terlepas dapat dipenuhi atau tidak, itu urusan si pembuat janji dengan Sang Khalik. Pastinya, saya makin penasaran dengan sosok Aman Nyerang. Siapakah tokoh ini? Saya coba menggali berbagai sumber dan merangkumnya dalam secarik catatan.
Bermula dari pernyataan Bardan Sahidi dalam lintasgayo.co: “Salah satu benteng pertahanan Aman Nyerang adalah hutan Gayo, tulis HC Zentgraaff. Hutan menyediakan segala kebutuhannya. Ini mencerminkan potensi sumber daya hutan Gayo merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat dari dulu hingga masal yang akan datang.”
Timbul pertanyaan, kenapa Calon Bupati Aceh Tengah Bardan Sahidi begitu “ngotot” ingin memperjuangkan Aman Nyerang sebagai pahlawan. Kerabatnya kah?
Ternyata antara Aman Nyerang dengan Bardan Sahidi tidak terkait hubungan darah. Dugaan saya, Bardan Sahidi termotivasi oleh semangat juang dan taktik perang gerilya yang dirancang Aman Nyerang.
Mari kita coba rangkum perjalanan seorang Aman Nyerang. Nama tokoh ini adalah Said Abdullah dipanggil Aman Nyerang. Lahir tahun 1877 di Kampung Payung, Linge, Aceh Tengah.
Artinya, dia lahir setelah 4 tahun Koetaradja Atjeh diduduki Belanda (1873). Dapat dipastikan bahwa Aman Nyerang dibesarkan dalam kancah Perang Aceh vs Belanda.
Setelah remaja, tulis peneliti sejarah Fikar Aman Dio, Aman Nyerang mengikuti gurunya Tengku Tapa ke pantai timur Aceh. Disana, Joyah (rangkang-bhs Aceh), menjadi tempat Aman Nyerang menimba ilmu.
Di joyah itu sering berkumpul para pedagang dari berbagai daerah. Mereka menceritakan kisah heroik Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, Tengku Chik Di Tiro dan para pejuang lainnya.
Kisah itu (sepertinya) memotivasi Aman Nyerang ikut ambil bagian dalam Perang Aceh.
Dibawah bimbingan Tengku Tapa yang dikenal sebagai ahli perang gerilya kala itu, Aman Nyerang ikut bertempur di garis depan, pantai timur Aceh.
Diwaktu yang lain, Aman Nyerang dan pasukannya pernah menghadang pasukan Belanda di Bur Intim-intim.
Dalam pertempuran ini, Aman Nyerang dan pasukannya menyiapkan perangkap dijalan-jalan sempit. Pasukan Belanda terjebak.
Alhasil terjadi perang jarak dekat. Pasukan Belanda kalah telak dan banyak korban. Mereka pun mundur. Aman Nyerang tidak berpuas diri, dia terus melakukan perang gerilya secara hit and run.
Sampai akhirnya perjalanan hidup Said Abdullah alias Aman Nyerang harus terhenti tanggal 3 Oktober 1922 di Lokop Serbejadi. Aman Nyerang yang saat itu berusia 45 tahun, gugur ditangan pasukan pimpinan Liutenant Jordan.
Beruntung pedangnya dibawa ke Belanda sebagai tropi perang. Dan, pedang itu sebagai bukti bahwa Aman Nyerang adalah komandan (pang) pasukan yang cukup tangguh dan dihormati oleh musuh.
Meskipun selama 80 tahun pedang Aman Nyerang berada di keluarga Jordan, akhirnya dikembalikan juga ke Aceh pada tahun 2003. Hari ini, pedang itu disimpan dalam lemari kaca di Museum Aceh, Banda Aceh.
Pedang itu menjadi bukti sejarah bahwa banyak pejuang heroik dari belantara Dataran Tinggi Gayo. Hanya saja, kisah mereka belum seluruhnya terpublikasikan. Melalui catatan ini, saya mengajak pembaca untuk menulis untold story atau kisah yang belum terceritakan. Jangan tunggu orang lain menulis kisah itu.
*) Catatan ini dirangkum dari berbagai sumber