Oleh : Fauzan Azima*
(Tulisan ini disampaikan pada Zoom meeting bedah buku: Sejarah dan Eksistensi Pang Kilet dalam Mempertahankan Kerajaan Linge, 2 November 2024)
Ayat Allah terdiri atas empat bagian. Satu sama lain ayat-ayat itu saling melengkapi. Ke-empat ayat Allah itu adalah ayat kitabiyah (kauliah), ayat takhiriah (sejarah) yat nafsiah (diri) dan ayat kauniah (kenyataan alam dan sosial).
Cerita perjalanan Pang Kilet merupakan bagian dari ayat sejarah dan ayat diri sendiri karena beliau bukan tokoh yang dibesar-besarkan tapi beliau memang masyhur pada zamannya,
Sayangnya, belum sempat kita mendapat ilmu pengetahuan, penguasa sudah menenggelamkan makamnya. Bagi kita bermakna penguasa telah mengubur ilmu pengetahuan tentang sejarah dan diri sendiri.
Di antara ilmu pengetahuan penting itu adalah belum ditemukan kalimat populer atau falsafah dari Pang Kilet. Ungkapan atau kalimat yang bisa dijadikan petunjuk hidup dan kehidupan.
Misalnya, Teuku Umar Johan Pahlawan punya ungkapan populer, “Hudep saree mate syahid”. Makna “syahid” bukan “mati” sebagai mana termaktub dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 169.
“Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup dan dianugerahi rezeki di sisi Tuhannya” demikian terjemahan ayat tersebut yang disebut sebagai “ainul hayat” atau “reinkernasi.”
Begitupun Tengku Ibrahim bin Abdurrahim atau dikenal dengan sebutan Tengku Tapa Delung Tue pada masanya dikenal dengan ungkapan “seimbal nyawa seberat badan” bermakna ilmu pengetahuan dan senjata.
Pada perkembangannya Ilmu pengetahuan telah bergeser kepada “bunga” sehingga menjadi “Perang dan bunga”. Fenomena itu terekam dalam syair lagu yang bertema perang; diantaranya hikayat prang sabi dan bunga; bungong Jeumpa. Barangkali itu yang menginspirasi group musik slow rock “Guns and Roses.”
Nenek moyang orang Gayo, mereka adalah Syaikh Abdul Qadir Jailani atau Muyang Gerpa sebagai ahli hukum; Syaikh Abdul Rauf sebagai ahli adat; Syaikh Muyang Mugih atau Muang Ogeh sebagai ahli seni; Peteri Megarincing sebagai perwakilan perempuan; Datok Perau sebagai pembina; Datok Gelung Perajah sebagai orang kuat atau yang berjiwa panglima; dan Pengulu Akal atau ahli mantiq, Muyang Peradah sebagai Rintah Tue, Tengku Rilangan sebagai Rintah Mude.
Mereka yang disebut di atas beken dengan institusi Muyang Siwah yang populer dengan ungkapan “Gere daleh atu ken pipisen, gere daleh luju ken pedang, akal ken pangkal, kekire ken belenye.”
Nah, pada Shaikh Murrahim bin Yasara atau Pang Kilet kita belum menemukan kata kunci berupa kalimat falsafah kehidupan. Sehingga warisan ilmu pengetahuan tentang tentang pemerintahan, spiritual dan pengetahuan diri dan lainnya belum sampai kepada kita.
Selain dari hal di atas, sebagaimana kita ketahui bahwa puncak dari ilmu pengetahuan adalah tahu diri. Pang Kilet seharusnya juga mewariskan ilmu tahu diri. Kalaupun tidak diturunkan langsung, setidaknya secara intuitif ilmu pengetahuan diri terdiri, diri terperi dan diri terpari sampai kepada generasi sekarang.
Buku “Sejarah dan Eksistensi Pang Kilet dalam Mempertahankan Kerajaan Linge” baru sebatas membahas fase “makan dan makam” dan masih samar bercerita tentang “maqom” yang tentu saja hal ini berkaitan dengan ayat nafsiah pada Pang Kilet.
(Mendale, November 4, 2024)