[Cerpen] Kisahku Antara Kopi dan Menari

oleh

Oleh : Melati Simahbengi*

Kenangan waktu kecil menari-nari di pelupuk mataku. Betapa senang dan bahagianya juga kesediahan yang melekat dari kenangan itu. Bapak dan ibu seirama sekata dalam mendidik dan membesarkanku.

Tidak pernah terlihat sekali pun raut wajah cemberut dan kelelahan di wajah mereka berdua. Padahal aku sering membuat mereka kesal dan marah.

Meminta sesuatu selalu harus ada, jika tidak ada mau sekali mengamuk marah-marah tidak menentuh sampai guling-guling di atas tanah. Tanpa mau tahu bapak punya uang atau tidak, maunya aku jajan dan jajan.

Teringat kata-kata bapak kala itu dengan matanya yang melotot dan merah

“Kenapa kamu ini, Bengi?”

“Saya mau jajan, pak. Saya melihat jajanan kue enak-enak banyak sekali di rumahnya bibik. Saya minta kuenya satu terus dimaluinnya saya.

Dibilangnya bapak jongkok-jongkok saja di rumah tidak kerjaannya. Katanya anak peminta-minta jajan sementara tidak punya uang. Katanya bapak harus ke kebun sana!” Ungkapku dengan isak tangis.

“Kenapa seperti itu bibikmu itu kepada kamu? Anakku jangan pernah kau minta uang sama dia. Nanti dibilangnya bapak tidak ada uang dan pelit. Kamu harus rajin sekolah belajar yang bagus anakku biar menjadi orang sukses. InsyaAllah penghidupan kita akan berubah dan saudara mau mengakui kamu sebagai saudaranya. Gubuk tempat tinggal kita kau jadikan bak istana yang megah dan mewah”, papar bapak dengan air mata mengalir hingga ke dagunya.

***

Hari Minggu bapak sama ibu bersiap-siap mau ke kebun. Banyak benar persiapannya ada nasi dalam rantang, piring, gelas, gula, sayur, kerupuk, roti, dan kopi dalam termos.

Seru bapak kepada kami yang masih memasukkan barang-barang untuk ke kebun ke dalam keranjang.

“Kita harus cepat ke kebun! Kemarin bapak ke kebun banyak sekali buah kopi kita. Khawatir dicuri orang kalau kita tidak segera memetik kopi yang sudah saatnya dipanen itu.”

“Apa belanja dapur kita besok? Bagaimana uang sekolah dan jajan anak-anak, jika kita mengutip hari ini?” Timpal ibu dengan memikul keranjang berisi persiapan kami makan siang dan di tangannya memegang termos yang berisi air kopi.

Sahut bapak sembari mengunti pintu rumah kami yang berdinding papan dari kayu pinus, ukuran rumah sekitar 6 meter x 7 meter.

“Mari kita jalan ke kebun, pastikan semua barang tidak ada yang tertinggal”

Matahari pagi bersinar terang dengan air embun membasahi dedaunan yang kami temui di sepanjang jalan. Udara segar dengan hamparan mata memandang deretan pergunungan dan pohon-pohon kopi. Aku dan Ardian si bungsu berjalan lebih cepat dari bapak dan ibu. Kami pertama sampai ke kebun.

Ardian dan aku, kami terpana dengan buah kesemek dan jeruk yang menguning di antara dahan-dahan yang hijau. Ranumnya membuat ngiler dan menggoda untuk memetik dan memakannya. Bersama senandung kicauan burung pagi yang merdu sekali. Lengkaplah keindahan pagi ini.

Aku dan Ardian menuju pohon jeruk yang bersebelah dengan pohon kesemek. Ardian memanjat pohon jeruk dan aku memetik buah kasma dengan menggunakan gala.

Terdengar suara bapak mendekat ke arah kami.

“Masih pagi jangan makan jeruk, nanti sakit perut! Buah kasma jangan dimakan sebelum direndam beberapa hari, jika langsung di makan pahit dan kelat rasanya. Saat mau pulang nanti baru kita petik buah jeruk dan kasma. Sekarang kita fokus dulu dengan memanen buah kopi!”

“Baik Pak,” jawab kami.

Ibu dan bapak sungguh sekali memetik kopi. Tangan mereka sangat terampil dan lincah sekali mencari buah kopi yang berwarna merah diantar buah kopi yang masih hijau dan bahkan ada yang masih memutik. Aku dan Ardian juga tidak mau kalah, kami memetik kopi dengan barisan pohon kopi yang berbeda jalurnya dengan jalur barisan bapak dan ibu.

Ibu menemui kami dan menuntun kami memetik kopi.

“Jangan loncat-loncat barisannya Nak, petik kopinya dari barisan ujung sampai ke ujung. Memetik kopi sampai tuntas jangan ada kopi berwarna merah ada tersisa di pohonnya. Sebab Ibu tidak sempat untuk memeriksa pohon-pohon kopi mana saja yang kalian petik buahnya. Memetik kopi jangan bertampuk dan harus yang sudah merah yang kalian petik!.”

Saat istirahat, Ardian bersama bapak dan ibu minum kopi dan makan roti di gubuk kebun. Aku di depan gubuk membuat rumah-rumahan di bawah pohon jeruk. Menyambung-nyambung kain panjang ke batang jeruk untuk dijadikan sebagai atap dan daun pisang sebagai tikarnya. Setelah itu aku tertidur di dalam rumah-rumahan itu.

Terbangun mendengar suara ibu memanggil namaku.

“Bengi oh Bengi! bangun, nak. Makan dulu ini sudah siang. Itu bapak dan Ardian sudah siap shalat. Ayuk kita makan bersama”

Aku yang masih ngantuk segera masuk ke gubuk, tanpa hati-hati jadi terpeleset. Bapak entah dari mana arahnya, bapak membantuku berdiri dan membersihkan tanah dan rumput yang melekat di baju.

“Anakku lain kali harus hati-hati, makanya jam dua belas itu tidak boleh tidur banyak bahayanya jika tidur sekitar jam itu mana di kebun lagi. Untunglah kau baik-baik saja. Besok-besok tidur itu lebih baik siang dan tidurnya di dalam gubuk jangan lagi di luar gubuk”

Aku mengganguk dan mengambil wudhu ke kamar mandi berdinding plastik terpal yang berada di belakang gubuk. Kakiku terasa sakit kupaksakan berjalan, siap shalat dan makan siang baru terasa sekali sakitnya. Saat makan tadi aku tidak bisa menikmati enaknya masakan ibu dan nikmatnya makan di kebun.

Bapak memeriksa kakiku lalu mengusuknya dengan daun, entah daun apa itu. Rasanya dingin menyerap ke tulang. Sakitnya berkurang, tapi badanku terasa lemas.

“Kau terkilir. Jangan ke mana-mana. Istirahat saja di sini. Kami lanjut mengutip kopi dulu”

Tersirat penyesalan di hati, kenapa aku gegabah sekali sehingga bukannya membantu orang tua malah jadi merepotkan keluarga. Hari sudah sore dan kami pulang ke rumah. Kakiku yang yang terkilir belum bisa berjalan jauh.

Ardian dan bapak memapahku berjalan, pertengahan perjalan aku merasa letih. Sampai ke rumah bapak mengendongku di pundaknya. Ardian dan ibu ketawa melihat aku digendong seperti anak kecil, padahal aku sudah kelas 6 SD. Untunglah tubuhku kurus.

Hari-hari berlalu, aku lebih hati-hati dan tambah rajin belajar. Keluarga kami juga memanfaatkan lahan kebun selain untuk kopi juga ditanamain tanaman sayur seperti bawang daun dan wortel. Hasil dari panen uangnya untuk memenuhi kebutuhan kami sekeluarga, membayar uang sekolah dan sebahagiannya ditabung ibu di bank.

***

Ardian naik kelas 4 SD dan aku tamat SD. Aku melanjutkan ke SMP favorit di Takengon. Proses pendaftarannya secara online dan offline sistemnya bagus sekali. Bisa menggunakan Hp dan laptop untuk mengisi blangko pendaftaran dan ujian masuk ke sekolah ini.

Alhamdulillah aku lulus selanjutnya melaksankan daftar ulang dengan melengkapi persyaratan masuk berupa foto kopi akte kelahiran, surat keterangan lulus dari SD, rapot SD, daftar prestasi akademik dan non akademik sewaktu di SD serta surat kesehatan dari puskesmas setempat.

Walau kami tinggal di Lampahan Kabupaten Bener Meriah, tetapi informasi penerimaan peserta didik baru mudah kami dapatkan. Segala informasi tentang sekolahku SMPN 2 Takengon bisa dicari di media sosial sekolah. Pokoknya sekolahku keren banget jadi tambah termotivasi untuk rajin belajar.

Semester 2 kami mulai mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Ada sanggar menari, pramuka marcing band, kelas menulis, mengaji dan olahraga. Kegiatan ini bisa dipilih sesuai bakat dan minat setiap peserta didiknya.

Aku memilih ekstrakurikuler menari karna hobi menari tarian Gayo sudah menyatu dalam jiwa raga ini. Kegiatannya seminggu sekali dilaksanakan pada jam setelah jam belajar pagi. Pulang sekolah kami dibimbing dengan guru pembimbing.

Kegiatan kami di menari masih belajar dasar-dasar tarian dan kelenturan badan dan tangan. Latihannya tidak cukup di sekolah saja harus berlatih juga di rumah.

Sedang latihan di ruang keluarga, aku dikejutkan oleh suara ibu. “Menari itu tangannya seperti ini. Ikutin ibu, ya.”

Ibu melatihku tari daerah seperti tari munalo, tari ranup lampuan, dan tarian nasional. Luar biasa ibuku, rupanya waktu seusiaku dulu ibu juga ikut kelas menari dan sampai masa SMA juga aktif di sanggar menari.

Saat sampai di sekolah guru pelatih memuji gerakan tarianku, aku menceritakan bahwa di rumah dilatih sama ibu. Kami bercerita banyak hal, dari cerita tersebut rupanya ibuku dulu satu sekolah dengan guru pelatih kami. Mereka dulu adalah penari yang sering mengisi acara sampai ke ibu kota negara kita di Jakarta.

“Maka dari itu kalian semua juga harus rajin berlatih di rumah. Di sekolah kita latihan Cuma dua jam itu juga hanya bisa pada jam tiga saja. Jadi penari terkadang dikira orang kita perempuan genit dan penggoda.

Maka dari itu jaga sikap dan kesopanan biar anggapan itu tidak melekat kepada sanggar kesenian kita ini. Pakaian kita menari juga harus mengikuti tuntunan agama. Kalian semua harus disiplin.

Semoga bisa mengikuti jejak ibu dan ibunya Bengi bisa menari di pentas nasional bahkan semoga kalian bisa menari di panggung internasional.”

Paparan panjang lebar dari ibu guru mencambuk semangat untuk bisa mewujudkan impianku menjadi penari yang mendunia dan juga bercita-cita menjadi dokter.

Aku sering tampil menari munalo dan tarian kreasi gayo lainnya. Tari munalo ini digunakan untuk penyambutan tamu terhormat dan pada acara orang nikah.

Menari sudah sampai ke Delung Tue Bener Meriah, Kampung Asir –Asir, Belangele, Bukit Sama dan Kampung Kelitu. Juga sudah beberapa kali tampil menari di panggung sekolah dan kantor pemerintahan Kabupaten Aceh Tengah.

Rupanya hal ini membuat bibik kepanasan dia tidak senang melihat kesibukanku. Waktu di rumah nenek aku mendengar langsung Bibik menceritakan bahwa aku sekarang sudah menajadi liar ke sana ke mari bukan saja menguruas urusan sekolah.

Aku sangat sedih mendengarnya dan langsung pulang tidak jadi masuk ke rumah nenek yang rumahnya tidak jauh dari rumah kami.

Aku pulang langsung menuju kepelukan ibu yang sedang mengankat jemuran kain di halaman.

“Kenapa denganmu, Bengi?” Tanyanya keheranan.

Dalam pelukan ibu aku menceritakan apa yang aku dengar dan ibu menasehati dengan bijaksana.

“Sudah tidak usah dimasukkan ke hati. Bibikmu baik, dia mengkhawatirkanmu. Maka dari itu buktikan bahwa omongan dia itu tidak betul. Kau rajin belajar dan juga rajin berlatih.

Ibu mendukung hobimu. Kau bisa meraih prestasi melalui menari, bisa dengan menari kau nanti mudah dalam urusan sekolah, urusan kuliah dan bekerja. Dulu ibu sering sakit jadi tidak bisa kuliah padahal ibu mendapat undangan kuliah berdasarkan prestasi menari. Bengi jaga kesehatan dan tetap berpikir positif!”

Nasehat ibu membuat aku tersenyum dan terbayang perjalanan yang kelak akan dilalui pada masanya. Juga teringat nasehat guru pembimbing menari.

Jadi saat ini aku sudah sangat menguasai emosi dan fokus dengan cita-cita. Sekarang juga aktif di kelas menulis, mencoba menulis kisah-kisah persahabatan di sekolah, tentang kegiatan menari dan kisah berkebun. Aku jadi suka menari dan menulis. Semoga semua cita-citaku segera terwujud. Aamiin.[SY]

Melati Simahbengi. Lahir di Lampaham Kab. Bener Meriah pada tanggal 23 Oktober 2010. Anak pertama dari dua bersaudara. Mempunyai hobi menari dan traveling. Bercita-cita menjadi guru IPA sekarang duduk di kelas IX.3 SMPN 2 Takengon. Penulis bisa di hubungi: melatisimahbengi8@gmail.com.

* Cerpen di atas atas hasil pelatihan “Kemah Penulisan Cerpen” yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Aceh 16-20 Oktober 2024, yang dipandu oleh Salman Yoga S, Vera Hastuti dan Lasma Farid. Guru pembimbing Chika.

 

 

 

 

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.