Oleh : Fauzan Azima*
“Siapapun yang menjadi bupati, abang becak tetap abang becak, buruh tetap buruh, siman ongkosen, tetap man ongkosen,” demikian pendapat rakyat yang apatis tentang pemimpin Aceh Tengah.
Sikap “masa bodo” rakyat negeri di atas awan itu bukan tidak beralasan. Defisit, inflasi, sampah, tata kota berantakan, cangkul padang dan nasib sial nasabah Bank Perkreditan Rakyat Syariah, yang dananya ditilep tidak tahu kemana harus mengadu adalah deretan masalah yang diabaikan bupati.
Semua catatan hitam itu hanya dianggap sebagai peristiwa yang terlanjur dicatat oleh media dan bahan diskusi mingguan. Bukan untuk diselesaikan tapi hanya menjadi bahan perdebatan yang tidak ada hasilnya. Kemudian hilang ditelan masa.
Begitupun penguasa gampang saja berdalih. Dengan alasan defisit, mereka membangun opini tidak bisa membantu masyarakat walaupun hanya pemberdayaan ekonomi dalam jumlah rupiah kecil.
Kita faham definisi nyeleneh kekuasaan, yaitu orang yang dengan jabatan yang dimiliki gampang mempermainkan hati perasaan masyarakat sampai tidak berkutik.
Tentu saja, mereka diam karena semua persoalan itu tidak menyentuh sendi kehidupannya. Andai SPPD-nya macet, gajinya terlambat, pokirnya tidak terpenuhi, setoran kurang pasti mereka pun akan bereaksi dengan berbagai cara.
Kali ini, bupati dan kawan-kawan tidak saja membuat orang miskin tetap miskin, tetapi kemiskinannya naik satu tingkat menjadi fakir. Kita bukan orang pemalas, tapi dukungan dari orang-orang besar tidak ada. Itulah yang disebut sebagai kemiskinan struktural.
Kondisi saat ini mustahil berharap manfaat kepada pemimpin untuk memberikan jalan keluar dari kubangan masalah sebab di hati dan fikiran mereka mencibir, “Hai orang miskin, percayalah kelaparan itu lebih baik daripada kekenyangan.”
Saudara kita yang secara turun temurun mengandalkan alam sebagai sarana bertahan hidup kini tidak bisa lagi berharap karena pembiaran terhadap perusakan lingkungan hidup.
Lut Tawar yang dulu sebagai tempat sumber mencari rizki kini hanya bisa dinikmati segelintir kelas menengah ke atas lewat pembangunan homestay, penguasaan tanah dan cangkul Padang. Sehingga kita tidak mungkin menyentuh pinggiran danau, kecuali berbayar.
Dalam kamus pimpinan kita, istilah Sense of belonging (rasa memiliki) dan sense of responsibility (rasa bertanggung jawab) tinggal istilah. Prakteknya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Wajar, siapapun dia akan bosan memberikan masukan atau kritik membangun. Bahkan sindiran kasar pun mereka tidak merasa. Artinya mata hatinya telah dibutakan.
Sejujurnya, saat ini, ada atau tidak ada bupati tidak berpengaruh terhadap kehidupan kita. Toh soal politik dan administrasi pemerintahan berjalan secara auto pilot. Meski bupati pulang kampung berbulan-bulan, pemerintahan tetap berjalan.
Sekarang rakyat Aceh Tengah sedang mengalami cobaan dari terlalu berharap kepada bupati. Kata Imam Syafi’i Ketika hatimu terlalu berharap kepada seseorang, maka Allah timpakan kepada kamu pedihnya sebuah pengharapan. Allah sangat mencemburui hati yang berharap kepada selain-Nya.
(Mendale, Juli 13, 2024)