Catatan Redaksi*
Meski tidak banyak yang tahu George Santaya, tapi kalimatnya “Sejarah akan Berulang…,” dalam “The Life Of Reason” sering kali dikutip, termasuk oleh Presiden Soekarno.
Sekitar tahun 1887 Abdullah Faqih dari Delung Tue, wilayah Reje Bukit saat itu (sekarang Kab. Bener Meriah), menuju ke Simpang Ulim.
Awalnya, Abdullah Faqih hendak melanjutkan belajar agama pada Tgk. Makam di Simpang Ulim. Bukannya memperoleh pelajaran baru, malah Abdullah Faqih diminta untuk berdakwah dari kampung ke kampung.
Kemana pun Tgk. Makam diminta untuk mengajar/berdakwah, Abdullah Faqih lah yang mewakili beliau. Saat itu Abdullah Faqih selalu diperkenalkan dengan nama Tengku Tapa.
Setiap kali Tgk. Tapa berdakwah selalu muncul kisah Malem Dewa dalam memotivasi masyarakat untuk perubahan dan berjuang bersama melawan Belanda. [1]
Semangat perubahan yang disampaikan Tgk. Tapa disambut hangat oleh masyarakat Keureuto, Sp. Ulim, hingga Peurelak. Semangat ini digambarkan dengan gamblang oleh Schoemaker [2] “kumpulan pemuda muslim yang keberaniannya tiada tara” bahkan menurut Verbrak [3] 1 orang pengikut Tgk. Tapa sebanding dengan 10 orang serdadu Belanda.
Menyadari kekuatan Tgk. Tapa, Belanda mulai menjalankan politik uang dan teror. Belanda mulai mengkooptasi para Uleebalang (Bupati).
Jika uleebalang tidak mau bekerja sama menangkap Tgk. Tapa maka dikenakan denda perang sebesar 250.000 gulden [4] tapi kalau Uleebalang bersedia bekerja sama bukan hanya uang, persenjataan pun diberikan oleh Belanda.
Politik ini sekarang kita kenal dengan politik Oligarki. Menurut KBBI Oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
Politik oligarki saat itu cukup berhasil, markas besar Tgk. Tapa di Keureuto, dipindah. Masyarakat Keureuto yang semula mundur akhirnya memutuskan tetap bergabung. Lebih 500 penduduk Keureuto bergabung dengan Tgk. Tapa.
Tgk. Tapa mengobarkan semangat jihad Prang Fisabilillah, beliau melarang berperang dengan bangsa sendiri, meski oligarki.
Karena jumlah pasukan yang cukup besar, dan kesulitan mencari markas. Tgk. Tapa membagi pasukan menjadi 3, dibawah pimpinan Nyak Mamat Peurelak (1902 beliau pernah tinggal di Rawe), Tgk. Awe Geutah. Dan di bawah komando langsung Tgk. Tapa.
Pasukan Nyak Mamat Peurelak di tolak kehadirannya, sehingga mereka menyingkir ke Paya Gajah, Pada tgl 28 Juni 1889, Pasukan Tgk. Awe Geutah juga ditolak di Idi Cut. Tidak ada pilihan lain selain mengempur markas besar Belanda di Idi. Rencana ini segera disampaikan kepada Tgk. Tapa dan Nyak Mamat Peurelak. [5]
Setelah berperang habis-habisan, pada 30 juni 1889 Idi berhasil dikuasai oleh Tgk. Tapa dan 02 Juli 1889 seluruh serdadu Belanda baik hidup atau mati dibawa ke Sigli dengan Kapal Sumbawa [6].
Peristiwa ini membuat Van Heutsz murka. Setengah serdadu Belanda di Aceh Besar, dan hampir seluruh Serdadu di Sigli dikerahkan menuju Idi dgn 4 kapal perang.
Tgk. Tapa dan pasukan tidak gentar, meski secara jumlah kalah jauh, semangat fisabilillah dan Lillahi Ta’ala siap menyambut serangan Belanda.
Namun sayang, pemerintah oligarki saat itu mengancam dan menawan keluarga para pejuang Tgk. Tapa. Pada tgl 20 Juli 1889, Idi kembali dikuasai oleh Belanda [7].
Tgl 22 Juli 1889, Tgk. Tapa kembali ke Delung Tue. Semangat membangun negeri dikalahkan oleh uang dan teror, dikalahkan oleh oligarki.
Apa yang terjadi 126 tahun lalu bukan tidak mungkin muncul lagi dalam gaya baru. Para oligarki mungkin akan kembali menjajah negeri ini dengan mengendalikan uleebalang sebagai “penemah basahan” mereka.
Sejarah memberikan kita pelajaran berharga bahwa kekuatan rakyat harus tetap bersatu dan waspada terhadap ancaman oligarki yang berusaha menguasai dan menindas demi kepentingan mereka sendiri.
Kita harus belajar dari sejarah Tengku Tapa dan memastikan bahwa perjuangan untuk kebebasan dan keadilan tidak akan pernah pudar.
Dengan menjaga persatuan dan kesadaran akan ancaman oligarki, kita bisa mencegah terulangnya penindasan oleh kekuatan yang hanya mementingkan keuntungan pribadi. Perjuangan Tengku Tapa adalah cermin bagi kita semua untuk terus berjuang demi kemerdekaan sejati dan kesejahteraan rakyat.
Daftar Pustaka :
[1] Post, De Sumatera. “Toengkoe Tapa” Hallermann, Agustus 24, 1900.
[2] Schoemaker, J.P. Grooten En Kleinen”Oorlog in Nederlandsch-Indie” Gravenhage (Den Haag) : W.P. Van Stockum & Zoon, 1897]
[3] Verbraak, H.C. “Berichten Uit Nederlandsch Oost-Indie” Den Haag: T.C.B. Ten Hagen, 1899.
[4] Bataviaasch Nieuwsblad No. 208, 10 Agustus 1898, Judul berita: Nederlandsche Indie di halaman 2
[5] Algemeen Handelsblad No 21997, tanggal 21 Agustus 1898, hal 1, judul: Onze Oost,
[6] Dagblad No. 186, Tanggal 10 Agustus 1898, hal. 1, judul “De aanval op Edi”
[7] Het Nieuws Van Den Dag No. 8744, Tgl 21 Juli 1898, Hal 2. Judul Atjeh