Seniman, Selangkah lagi Menuju Tuhan

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Pada sore, hari kedua lebaran Idul Adha 1445 H, tepatnya Selasa, 18 Juni 2024 saya ngopi sambil menikmati latihan live musik di cafe The Rock. Grup musik itu mengklaim khusus mendendangkan lagu-lagu kritik sosial lewat lagu Gayo.

Keprihatinan tentang kerusakan alam, nasib rakyat, kearifan lokal dan adat budaya Gayo yang sudah mulai ditinggalkan menjadi konsern dari tema lagu-lagu yang dilantunkan para seniman Gayo itu.

Group musik The Rock adalah metamorposa dari Linge Group yang sebelumnya lahir dari SABA Group yang merupakan group musik Gayo yang pertama beraransmen kontemporer.

Personil The Rock pada posisi penabuh drum adalah Sukurdi. Anggota DPRK Aceh Tengah yang nyentrik itu berkolaborasi dengan Kurnia sebagai vokalis merangkap gitaris, Memet pada melodi, Iko sebagai vokalis dan Akup sebagai pembetot bass sekaligus owner cafe The Rock.

Tidak berlebihan saya bisa bersaksi ngopi di cafe yang berada di Jln. MAN 1, Kampung Kemili, Kota Takengon itu, kita akan faham cerita tentang Gayo dari sudut pandang seni tarik suara yang unik.

Daulat para seniman Gayo! Menurut saya, seniman profesi yang keren. Betapa tidak, hanya seniman yang mampu menjalankan pekerjaannya dengan bersenang-senang di sisi Tuhannya.

Seniman adalah snowman atau “manusia berhati salju.” Dalam penggalan do’a Iftitah, “Ya Allah cucilah kesalahanku dengan air, salju dan embun.” Dengan demikian seniman merupakan sebuah pengelanaan yang selangkah lagi akan menginjakkan kaki ke gapura masuk dalam “dunia”
Tuhan.

Sayangnya, sebagaimana puncak dari ilmu bela diri adalah tidak berkelahi. Jarang sekali seniman yang telah mencapai maqom “tidak berkelahi” yaitu tempat di mana Tuhan bersemayam.

Persoalan tersebut, tidak saja dialami seniman; pun demikian sastrawan masih fanatik kepada rangkaian kalimat baku dan matematikawan masih bermain di seputaran rumusnya serta gerilyawan bangga dengan senapannya.

Kebuntuan itu bisa dipecahkan dengan ayat Qur’an yang pertama turun; yakni Iqro’ atau IQ rotation alias putar otak. Fikiran liar seniman tidak terpatri pada seni dalam bingkai lukisan, lirik pada lagu dan simbol pada rupa.

Sampai kemudian seniman melahirkan karya seni tingkat isoterik (ma’rifat) yang larut dalam Keilahian. Sehingga tidak ada lagi lahir karya “keresahan” akibat tidak mampu mencapai satu titik; yakni titik bebas.

(Mendale, Juni 18, 2024)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.