Seniman Gayo Paling Dinamis

oleh
{"remix_data":[],"remix_entry_point":"challenges","source_tags":[],"origin":"unknown","total_draw_time":0,"total_draw_actions":0,"layers_used":0,"brushes_used":0,"photos_added":0,"total_editor_actions":{},"tools_used":{"resize":1,"transform":1},"is_sticker":false,"edited_since_last_sticker_save":true,"containsFTESticker":false}

Oleh : Nanda Winar Sagita*

“Seni adalah sebuah ledakan,” begitulah jargon terkenal dari karakter Deidara dalam serial animasi Naruto. Itu benar, sekaligus tidak benar.

Benar karena seni selalu menghasilkan karya yang meledak-ledak dan biasanya akan mempengaruhi kehidupan masyarakat yang menikmatinya.

Tidak benar karena konteks Deidara mengucapkan kalimat itu berkaitan dengan bom lempung yang dia buat.

Terkait dengan seni, para seniman adalah sosok yang paling mengerti tentang kehalusan perasaan. Baik itu dalam bidang musik, tarian, sinema, lukisan, maupun sastra.

Tapi dalam tulisan kali ini, saya memilih kategori seniman yang karyanya diterjemahkan secara universal. Oleh karena itu, bagian ini ditulis terpisah dari bagi tokoh ceh didong dan sastrawan paling berpengaruh yang nantinya masuk dalam kategori yang berbeda.

Seni adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Gayo. Perlu saya ingatkan lagi, tokoh yang masuk dalam kategori seniman kali ini adalah hasil penilaian subjektif saya soal berapa besar pengaruh mereka dalam kesenian di Gayo dan Nasional.

Mereka telah menjadi ikon dan kiblat dalam berseni dengan efek yang bertahan selama bertahun-tahun.

Berikut adalah empat seniman yang warisannya paling dinamis di Gayo:

1. A.R Moese (1939-2007)

Nyaris tidak ada orang Gayo di sekitaran Aceh Tengah dan Bener Meriah yang tidak kenal lagu “Tawar Sedenge”. Lagu itu adalah himne kebangsaan bagi orang Gayo, serupa “Aceh Mulia” bagi orang Aceh atau bahkan “Indonesia Raya” bagi rakyat Indonesia.

Penggubah lagu yang menggugah itu sudah sangat kita kenal, yakni sang maestro musik dari tanah Gayo: A.R Moese.

Ayahnya, Tengku Sabdin, adalah seorang penari saman yang berasal dari Gayo Lues. Lewat pengaruh sang ayahlah Moese mulai tertarik dan menekuni bidang kesenian, khususnya musik.

Sebelum menemukan gaya musiknya sendiri, Moese pernah bergabung dengan Orkes Sadar yang dipimpin Ismail Mai. Itu terjadi sekitar tahun 1953. Setelah itu dia melanjutkan pendidikan ke Akademi Musik Indonesia (AMI) di Yogyakarta dan IKIP Rawamangun Jakarta.

Selama mengenyam pendidikan tersebut, Moese mampu menguasai notasi balok dan angka, sehingga lagu-lagunya memiliki nuansa yang berkelas. Dia juga sempat bergabung dengan orkes Idris Sardi.

Dia adalah tokoh utama yang berada di balik pencapaian kemajuan seni musik di Gayo, khususnya Aceh Tengah. Dia telah menggubah kesenian didong menjadi karya musik modern dengan tetap mempertahankan kekayaan melodi Gayo.

Bersama Orkes Bina Musika yang dia ampu, musik Gayo bisa terkenal hingga ke tingkat internasional. Selain itu, pengaruh lain yang diwariskannya adalah alat-alat musik tradisional yang dia ciptakan.

Beberapa di antaranya adalah perajah, jangka, dan gerantung yang dia ciptakan bersama Syeh Kilang, tokoh seniman lain yang semestinya memang layak masuk dalam daftar ini.

2. Ibrahim Kadir (1942-2017)

Barangkali belum ada tokoh dari Gayo yang karier berkeseniannya seluas Ibrahim Kadir. Dia adalah seorang multitalenta: ceh didong, penyair, koreografer, bahkan bintang film! Dia adalah sosok penyair yang muncul dalam film “Tjoet Nja’ Dhien” besutan Eros Djarot.

Dia adalah tokoh utama dalam film “Puisi Tak Terkuburkan” (satu-satunya film Indonesia yang masuk dalam daftar 100 Film Terbaik Asia versi Festival Internasional Film Busan) besutan Garin Nugroho dan film “Penyair dari Negeri Linge” besutan Aryo Danusiri.

Dia adalah narasumber utama Jess Melvin saat mengulik informasi eksistensi PKI pada bab tentang Aceh Tengah dalam buku “Berkas Genosida Indonesia”.

Sudah sangat lama, Ibrahim Kadir bukan hanya sebagai salah satu seniman paling dihormati di Gayo, tapi juga sebagai simbol dari kalangan rakyat kecil yang menjadi korban salah tangkap di era keganasan Pembantaian Massal pada era Orde Baru.

Atas penampilannya dalam film “Puisi Tak Terkuburkan”, dia berhasil meraih penghargaan kaliber internasional seperti “Silver Screen Award For Best Asian Actor” pada Festival Film Singapura 2001, dan “The Best Actor” dalam Festival Film Cinefan di India 2001, serta penghargaan pemeran terbaik ke 2 dalam Festival Film Jokarno di Italia 2000.

Sebagai seorang koreografer, dia telah mengarahkan tari massal pada dua acaraMusabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat Nasional, yakni yang ke XII di Banda Aceh 1981 dan yang ke XIII di Padang 1983.

Beberapa syair ciptaannya yang digubah menjadi lagu oleh A.R Moese juga telah menjadi legenda, di antaranya adalah “Tingkis”, “Batil”, “Geremukunah” dan tentu saja “Datu Beru”.

3. Sakdiah (1978-….)

Memasukkan nama Sakdiah ke dalam daftar ini mungkin akan sangat mengejutkan, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa dia memang layak mendapatkan tempat terhormat di kalangan seniman Gayo.

Sejak awal kemunculannya sampai saat ini, Sakdiah adalah ikon budaya populer paling bertahan lama bagi penikmat musik pop Gayo; dan kepopuleran itu sama sekali bertolak belakang dengan ungkapan Andy Warhol pada 1968 yang mengatakan: “Di masa depan, semua orang bisa terkenal meskipun hanya 15 menit.”

Pada tahun 1990-an, ada sepuluh penyanyi atau grup musik pop Gayo yang paling terkenal. Sepuluh penyanyi tersebut adalah Saba Group, Atu Tulu, Kabri Wali, Ujang Lakiki, Yaman, Arita, Moese, Damora, Bintang Pitu, dan Sakdiah.

Dari sepuluh nama itu, hanya Sakdiah satu-satunya perempuan. Pembahasan mengenai gender dalam musik pop Gayo memang menarik.

Sakdiah seolah-olah hadir sebagai “pemberontak” di tengah industri musik Gayo yang sangat patriarkis.

Memang sejak dasawarsa 1970-an ada nama Ramlah. Namun dia bukan penyanyi solo dan selalu tampil bersama Mahlil, suaminya. Kedua pasutri itu bisa dikatakan sebagai duo pertama yang mengawali lagu-lagu Gayo dimusikkan dan yang memulai era Industri musik di Gayo.

Meskipun demikian, Sakdiah berada di level yang berbeda karena seorang penyanyi solo. Baru setelah era Sakdiah, muncul penyanyi solo wanita lain seperti Maya, Zuhra, Suwirni di era kaset VCD bahkan Lisma S, Mera Lida, dan Nabila Lida di era YouTube.

Bisa dibilang, Sakdiah adalah seorang diva terbaik dari Tanah Gayo. Lagu-lagu yang dia nyanyikan masih digemari oleh masyarakat dan tidak tergerus oleh zaman.

Tidak hanya terbatas pada masyarakat di Aceh Tengah dan Bener Meriah, lagunya juga masih populer di lingkungan masyarakat Gayo lain seperti di Gayo Lues, Serbejadi, dan Kalul.

Karier dan perjalanan hidupnya telah dibukukan oleh Raudhatul Jannah dan diberi judul “Sakdiah: Negosiasi Gender dalam Musik Pop Gayo.”

4. Permadi Lyosta (1930-2022)

Pada era polemik kebudayaan tengah memanas antara Lekra dan Manikebu, Permadi Lyosta berdiri di barisan Lekra. Jadi tidak heran, dia menjunjung tinggi slogan: “Seni untuk Rakyat.”

Lukisan-lukisannya tercipta sebagai bentuk perlawanan kaum proletar terhadap penindasan kaum borjuis. Dia jelas sebagai sosok yang luar biasa: seorang putra asli Gayo mendirikan cabang Lekra di Bali dan menjadi ketuanya!

Pada awal kemerdekaan, dia bergabung dengan tentara dan ditempatkan di Pangkalan Brandan untuk menghalau Belanda masuk ke Aceh.

Setelah perang usai, dia merantau ke Jawa dan memulai karier melukisnya setelah bergabung dengan organisasi Pelukis Rakyat Yogyakarta yang didirikan oleh Affandi dan Hendra Gunawan.

Pada masa itu pula banyak lukisannya yang laku terjual di berbagai pameran. Puncaknya: dialah sosok yang berada di balik pembuatan patung yang menjadi lambang Universitas Airlangga, Surabaya.

Pada awal 1960-an, dia dipercaya untuk memimpin pameran lukisan Indonesia di negara-negara Blok Timur seperti Jerman Timur, Hungaria, dan Bulgaria.

Sepulangnya dari Eropa, dia dipercaya oleh Suteja, Gubernur Bali saat itu, sebagai ketua dari Festival Film Asia Afrika untuk memperingati 10 tahun Konferensi Asia Afrika di Jakarta.

Ketika isu G30/S/PKI pecah, Permadi Lyosta melarikan diri dari Bali dan hidup sembunyi-sembunyi di Jakarta. Pada akhirnya dia memang tertangkap dan ditahan di Markas Kalong, sebelum diasingkan ke Pulau Buru dan ditempatkan satu barak dengan Pramoedya Ananta Toer.

Baru pada awal 1980-an statusnya sebagai tahanan politik berakhir dan kembali menggiatkan diri dalam seni lukisan.
Tentu saja yang saya tulis hanya segelintir dari kompleks dan panjangnya riwayat hidup Permadi Lyosta.

Jika harus menyebut satu seniman Gayo selain Ibrahim Kadir yang kisah hidupnya layak dijadikan film, maka itu adalah dia. Di akhir hidupnya, dia kembali ke Takengon dan wafat di kampung Dedalu.

Akibat dari pengucilan eksistensi para seniman Lekra oleh rezim Orde Baru, namanya telah dilupakan bahkan oleh orang Gayo sendiri. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.