Oleh : Sadikin Arisko*
Dalam bertutur orang Gayo banyak istilah dalam menyebut karakter seseorang. Baik sebutan dengan bahasa yang halus maupun kasar, namun bermakna sangat dalam. Ada istilah sampai menembus hati dan perasaan masyarakat.
Ayah, kami memanggilnya Ama, Tengku Yusran Nosar kepada anak-anaknya sering bercerita tentang sejarah dan hilmah dari cerita masa lalu itu. Pesannya agar kami tidak menyandang gelar dengan istilah “Kuning bersalit, gading bersuen.”
Secara harfiah, “kuning” artinya “kunyit”, sedangkan “berpalit” berarti “diolesi”, dan “gading” yang dimaksud adalah “gading gajah” serta “suen” berarti “menanam.”
Secara bahasa arti dari “Kuning bersalit, gading bersuen” adalah “warna kuning yang dioleskan dan gading yang ditanam.” Pemaknaan secara bahasa itu kita tidak menemukan makna apapun dan terdengar sangat rancu.
Ungkapan itu baru beroleh hikmah jika diterjemahkan secara istilah. Diibaratkan, orang yang berkulit gelap agar terlihat kuning langsat diolesi dengan umbi kunyit, dan tanduk kerbau yang hitam agar kelihatan indah dan berwibawa diganti dengan gading gajah.
Dalam romantika kehidupan hari ini, banyak manusia mengaku dirinya hebat dan menceritakan keakuan dirinya kepada orang lain. Kenyataannya semua cerita itu palsu belaka. Bahkan untuk meyakinkan orang lain, tidak jarang orang itu melabelkan dirinya dengan keagungan sejarah agar diakui eksistensinya.
Karakter “Kuning berpalit, gading besuen” sering dilantunkan dalam “manat” syair Gayo. Karakter tersebut tergolong ke dalam sifat yang tidak terpuji. Kini orang menyebutnya sebagai “pembohongan publik” atau “ hoax”.
Tentu saja pada bulan suci Ramadhan ini kita jadikan sebagai momentum pembersihkan hati dari sifat-sifat yang tidak terpuji (takhalli), kemudian kita isi dengan sifat-sifat terpuji (tahalli), setelah itu terbukalah hijab dalam memandang Sang Maha Pencipta (tajalli).
*Ketua Aliansi Masyarakat Gayo (AMG)
