Oleh : Fauzan Azima*
“Kata-kata adalah senjata” merupakan slogan baru gerakan Zapatista yang dipimpin Rafael Sebastian Guillen Vicente (kelahiran 19 Juni 1957) atau beliau populer dengan panggilan Subcomandante Marcos yang memimpin pemberontakan terhadap pemerintahan Meksiko yang memberlakukan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA).
Pemberontakan yang dipimpin Subcomandante Marcos bertujuan mengajak pribumi untuk anti neo-liberalisme, anti kapitalisme dan menolak penindasan terhadap para buruh dan perjuangan untuk memiliki status otonomi bagi penduduk asli di bagian Chiapas di Meksiko.
Sebagian tulisan Subcomadante Marcos yang memimpin Front Pembebasan Nasional Zapasista (EZLN) telah diterbitkan oleh Seven Stories pada tahun 2002, yang memiliki pengaruh penting pada gerakan anti globalisasi dan anti neo liberalisme bagi pribumi di seluruh Amerika Latin dan dunia yang dinilai sangat eksploitatif dan merusak lingkungan.
Pun demikian keberhasilan Subcomandante Marcos dalam mengolah kata dengan memutar otaknya telah banyak mempengaruhi fikiran dan prilaku manusia di belahan bumi ini. Tapi ribuan kata menjadi ratusan kalimat, tidak mencapai tujuan yang menyelamatkan. Sebaliknya banyak kata yang lahir dari tokoh justru mengorbankan manusia. Bahkan terjadi pembantaian manusia di dunia ini juga lahir dari kata-kata.
Penulis Inggris, Edward Bulwer-Lyitton pada tahun 1839 dalam drama Richelieu atau konspirasi sebagai nasihat untuk selalu hati-hati dalam berkata-kata melalui ungkapan “Pena lebih tajam daripada pedang” yang bertujuan untuk menyelamatkan diri dan orang lain. Sehingga harus benar difikirkan dengan matang sebelum menyampaikan kata-kata; baik melalui lisan maupun tulisan.
Jauh sebelumnya Edward Bulwer-Lyitton, Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Bukhari telah mengingatkan dengan sabdanya “Penting untuk menjaga lisan, sebab lisan diibaratkan pisau yang apabila salah menggunakannya akan mencelakai banyak orang.”
Pada zaman ini lisan bukan saja bermakna ucapan, tetapi juga tulisan yang ditumpahkan dari otak manusia dengan tujuan bisa mengantarkan kepada kebaikan dan juga bisa digunakan untuk kejahatan. Sesuatu yang sudah diucapkan dan ditulis telah menjadi milik publik.
Tulisan yang bertujuan untuk mengkritisi penguasa baik di media mainstrem, media online dan media sosial harus berdasarkan data dan fakta yang lengkap. Tidak boleh berdasarkan dugaan dan kebencian karena jika tidak terbukti, penulis bisa dijerat dengan UU ITE. Walaupun kita telah mempunyai bukti lengkap, tetap saja harus ada etika dan seni dalam menuliskan kritikan. Salah satunya adalah mengkritisi dengan tulisan gaya satire.
Karateristik satire harus mengandung kritik, bersifat ironis, implisit (tidak terang-terangan) dan sering disampaikan dalam bentuk humor dengan tujuan jelas agar para penguasa yang kita kritisi bisa berubah atau kembali kepada janji dan visi/misinya pada saat berkampanye serta setelah menjadi pejabat yang sadar bahwa dirinya adalah birokrat atau hanya pelayan rakyat. Mereka bukan raja yang harus dilayani rakyat.
Dalam mengkritisi penguasa kita bisa memilih style satire politik atau sindiran yang mengkhususkan diri mendapatkan hiburan dari politik. Ketika penguasa larut dalam hegemoni nepotisme yang dibalut dengan kalimat subversif melawan pemerintahan, maka alternatifnya adalah menikmati hiburan dengan tulisan satire politik yang menargetkan penguasa sebagai objeknya.
Banyak muatan lokal yang bisa dijadikan sebagai sumber sindiran. Cerita-cerita rakyat, foklor, kehidupan tokoh, sejarah, alamnya, bahkan hantu lembide, peri mustika (kata-kata mutiara), falsafahnya dan konliknya bisa dijadikan sebagai bahan untuk memuai tulisan satire. Gayo sangat kaya dengan bahan tulisan satir.
Penomena penguasa di Gayo sudah pantas dikritisi. Hampir tidak ada kemajuan yang membanggakan; PAD menurun, difisit anggaran mencapat Rp. 60,4 miliar, belum lagi pembunuhan karakter terhadap tokoh birokrat, politisi dan pengusaha.
Orang Gayo di masa depan seperti mati pucuk. Belum sempat tumbuh dan berkembang sudah dipotong aksesnya terhadap ekonomi, anak-anak muda menjadi korban pembunuhan karakter, sehingga sulit medapatkan posisi dalam politik maupun karier dalam birokrasi.
Akibat lanjutnya orang Gayo sulit bersaing dengan saudaranya di pesisir. Apalagi bersaing di luar Aceh, tentu akan semakin sulit lagi.
Ada dua faktor yang menyebabkan Gayo terus mundur dari masa ke masa. Faktor internal; orang Gayo sulit bersatu. Masing-masing pihak merasa paling cakap, paling pantas dan paling berhak.
Ditambah lagi faktor eksternal yang mengadu domba dengan tujuan menguasai Sumber Daya Alamnya. Ditambah latar belakang sejarah masa lalu yang dipolitisir untuk mewariskan dendam dengan cara pembunuhan karakter.
Kemunduran dan ketidakberdayaan orang Gayo menjadi tanggung jawab bersama. Bukan saja orang Gayo, tetapi juga saudara dekatnya di pesisir dan saudara jauhnya di Jawa. Orang Gayo tidak besar dengan berkonflik dengan siapapun dan sekecil apapun. Orang Gayo harus juga berdamai dengan dirinya sendiri.
Orang Gayo tidak boleh kehilangan akal untuk bangkit. Sesuai dengan amanah Muyang Siwah, “Gere dalih pedang ken luju, gere dalah atu ken pipisen, akal kin pangkal, kekire ken belenye.”
Pada akhirnya kita tidak perlu nama, tidak perlu seorang pun mengenali wajah kita dengan munutupinya dengan sebo, tidak perlu senjata menyalak, apalagi senjata sisa konflik Aceh-Jakarta sudah habis dipotong, tetapi kita masih punya kata-kata untuk kita sampaikan kepada kepada saudara-saudara kita untuk bangkit kembali.
Barangkali kita belajar kepada Subcomandate Marcos untuk mengadvokasi otonomi adat Gayo dan penentuan nasib sendiri dengan senjata kata. Apalagi ada emas di perut bumi Gayo sebagai sasaran penguasa untuk mengekploitasinya. Bisa jadi dengan cara yang tidak adil dan menindas.
Setiap kita yang peduli terhadap Gayo harus menabung kata-kata untuk melawan penguasa yang zalim. Kalau “bermain kata” takut dikriminalisasi, belajarlah menggunakan kritik lunak tulisan satire. Mudah-mudahan selamat dari kriminalisasi penguasa.
(Mendale, Januari 10, 2024)