Oleh. Dr. Jamhuri Ungel, MA*
Sejak seseorang dilahirkan ke dunia secara sempurna sebagai makhluk hukum, maka sejak itu ia dinyatakan mendapat hak dari orang tua yang melahirkannya, baik itu sebagai anak laki-laki atau anak perempuan, baik itu sebagai anak pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
Bila kelahirannya dicatat pada catatan sipil (teregistrasi/mempunya urutan angka) maka sejak itu anak akan mendapatkan hak (pengakuan) dari negara di samping hak dari orang tua mereka.
Keabsahan anak dapat dilihat dari dua sisi :
1. Agama
Keabsahan anak dilihat dari sisi agama apabila seorang anak lahir dari perkawinan yang sah. Artinya anak lahir setelah orang tua mereka menikah dengan adanya ijab dan qabul serta perkawinannya memenuhi syarat dan rukun.
Anak yang lahir mempunyai ayah dan ibu yang sah berhak terhadap pengasuhan kedua orang tuanya. Selanjunya anak yang lahir dari pernikahan yang tidak sah yakni pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun, maka anak-anaknya tidak mempunyai kedua orang tua atau hanya mempunyai satu orang tua yaitu ibu.
Selanjutnya adalah anak yang lahir tanpa adanya pernikahan atau pernikahan yang tidak sah, maka anak yang seperti ini sama halnya dengan anak yang lahir dalam pernikahan yang tidak sah jadi anak tersebut hanya mempunyai hak dari ibunya.
2. Negara
Keabsahan anak yang lahir dari penikahan yang sah menapatkan hak dari negara dengan syarat pernikahan orang tua mereka tercatat di catatan sipil, selanjutnya kelahiran anak tersebut dicatatkan di catatan sipil sampai dikeluarkannya akta kelahiran.
Kemudian anak yang lahir secara tidak sah selanjutnya disahkan oleh negara sehingga anak itu menjadi anak yang sah menurut negara.
Dari keduanya dipahami bahwa anak yang lahir dengan keabsahan agama adalah sah menurut agama dan berhak mendapatkan haknya dari orang tua secara agama, namun bila tidak dicatat oleh negara maka anak tersebut tidak mendapat hak dan pasilitas dari negara.
Demikian juga anak yang sah menurut negara (teregistrasi) dalam catatan negara maka anak tersebut mendapat hak dari negara dan yang belum tercatat maka dengan sendirinya tidak mendapatkan hak, karena mereka dianggap tidak ada oleh negara.
Anak yang sah dan tidak sah menurut agama dan anak yang sah dan tidak sah menurut negara masih banyak ditemukan dalam masyarakat, ini dikarenakan pengangkaan untuk setiap orang belum selesai dan yang ada juga belum tercatat dengan baik.
Mereka yang tidak tercatat tidak mungkin dapat dihitung karena marena belum mempunyai angka.
Sebab banyaknya orang-orang belum mendapatkan angka, diantaranya karena banyak orang yang masih mendapatkan pasilitas dari negara kendati tidak menunjukkan angka yang mereka miliki, artinya negara belum dapat membuktikan setiap orang itu mempunyai angka yang pasti.
Selanjutnya masih ada sebagian orang yang mengambil manfaat dari ketidakpastian angka, karena ketidakpastian memberi peluang pada permainan angka. Masih banyak anggota masyarakat yang belum mempunyai tanda pengenal (KTP) dan masih banyak juga mereka yang mempunyai angka tanda pengenal yang doble.
Di antara penyebab yang lainnya adalah perubahan masyarakat yang tidak terbiasa tercatat dengan angka kepada masyarakat yang tercatat dengan angka.
Dalam asyarakat agraris pencatatan belum begitu diperlukan karena pemenuhan kebutuhan masing-masing orang masih dimungkinkan dan pemenuhan kebutuhan antara anggota masyarakat masih memungkinkan.
Mereka masih dapat hidup dalam waktu yang lama kendati negara tidak mengambil peran dalam hidup mereka.
Untuk sebagian masyarakat yang sudah masuk pada masyarakat maju atau masyarakat kota, mereka tidak dapat lagi hidup secara individu atau memadai hidup dengan sesama warga.
Peran negara dalam kehidupan mereka ini sangat dibutuhkan, mereka harus tau persediaan barang dan perkembangan harga barang yang ada di pasar. Mereka harus tau kapan mereka gajian dan berapa gaji yang mereka dapat dana pa saja yang perlu untuk belanja.
Ketika mereka yang hidup di kota atau kehidupan mereka yang seharusnya terhitung dengan angka, kemudian mereka tidak tercatat maka hak mereka tidak disediakan oleh pemerintah.
Apabila mereka menjadi orang yang ekonominya susah seharusnya mendapat bantuan dari negara dengan sendirinya mereka tidak dapat karena tidak terhitung.
Demikian dengan anak yang tidak tercatat, maka untuk anak tersebut tidak disediakan tempat pendidikan, tidak tersedia kebutuhan-kebutuhan yang lain sedangkan seharusnya negara menyiapkannya, tetapi karena tidak tercatat/tidak terhitung maka ia tidak mempunyai hak dan pasti tidak mendapatkannya.
Dalam hal seperti ini mungkin kita bisa katakan, untuk mereka perlu bantuan dari mereka yang mempunyai kelebihan kemampuan.
*Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh