Oleh : Dr. Jamhuri Ungel, MA*
Kajian keilmuan mengatakan bahwa angka itu pasti, berapapun angka atau berapapun jumlahnya ia tetap pasti.
Dalam kajian ilmu untuk mengeluarkan hukum dari dalil nash yaitu al-Qur’an dan hadis bahwa angka yang ada di dalam kedua sumber hukum Islam tersebut adalah pasti, para ahli hukum Islam (fuqaha) menyebutnya dengan kata atau lafazh yang qath’i, artinya tidak boleh di tambah dan juga tidah boleh dikurangi.
Ini salah satu analogi yang bisa dijadikan landasan perjalanan dan perkembangan zaman, yang dimulai dari masa premitif, masa nomaden, masa agraris, masa mesin, sampai pada masa yang disebut dengan masa modern atau era teknologi (digital) sekarang ini.
Dimana sudah menjadi pengetahuan umum bahwa tujuan dari zaman modern (digital) ini adalah kepastian yang sering dikatakan dengan tidak mungkin salah (walaupun secara keyakinan beragama) atau cepat dan tepat.
Walau sebenarnya menurut keyakinan ini tidak mungkin terjadi secara pasti, tetapi kemungkinan dapat terjadi dalam kepastian yang nisbi menurut ilmu pengetahuan manusia.
Tidak sulit menghitung orang perorang berapapun banyaknya karena setiap orang mempunyai satu angka, misalnya penduduk Indonesia adalah 278,8 juta jiwa di tahun 2023 (berdasarkan Badan Pusat Statistik).
Kita pastikan hitungan ini adalah hitungan setiap individu, tentu akan berbeda dengan hitungan orang berdasarkan fungsi dan kedudukan.
Secara angka tidak mungkin menghitung satu orang dengan dua fungsi yang sama atau dengan dua kedudukan yang sama dalam satu waktu, kecuali menghitung satu orang dengan dua kedudukan yang berbeda atau dua fungsi yang berbeda dalam satu waktu.
Pola pikir masyarakat dalam era modern atau era digital adalah pola pikir angka, berorientasi ke depan yang selalu berupaya menuju kepastian, untuk memastikan apakah sikap atau tindakan itu benar atau salah dapat juga dihitung dengan angka.
Seperti mengetahui seseorang dapat diterima menjadi PNS atau karyawan di perusahaan adalah dengan angka, ketika menghasilkan nilai angka yang sama maka berpindah pada angka selanjutnya siapa yang cepat berdasarkan hitungan angka.
Mencoba menganalisis dari sisi angka status perkawinan. Perkawinan yang sah dan diakui oleh agama dan negara ada dua bentuk, yaitu : perkawinan monogami dan perkawinan poligami.
Dalam perkawinan monogami bila dilihat dari pengangkaan tidak sulit menghitung jumlah orang atau anggota keluarga, artinya perkawinan monogami terdiri dari 1. Ayah, 2. Ibu, 3, 4 dan seterusnya adalah anak.
Kalau mau ditambah lagi nenek dan kakek atau cucu tetap jelas dan pasti sesuai hitungan angka dalam kedudukan suami sebagai ayah dan istri sebagai ibu, ayah sebagai kepala rumah tangga da ibu sebagai ibu rumah tangga dan fungsi karena tidak ada yang double.
Bila kita menganalisa perkawinan poligami maka terjadi kesulitan dalam penghitungan atau penjumlahan, karena dalam perkawinan poligami suami mempunyai dua angka dalam kedudukan dan dua fungsi yang sama dan dalam waktu yang sama, dalam penghitungan ini sangat sulit bahkan tidak mungkin dilakukan. Karena tidak mungkin satu orang dihitung dua kali sementara yang lain dihitung satu kali.
Negara mengambil solusi dalam pencatatan penduduk melalui Dinas Kependudukan, setiap orang sebagai kepala keluarga hanya dapat dihitung satu kali. Apabila ia menikah (berkeluarga) lagi dengan yang lain maka dia tidak bisa lagi dihitung menjadi menjadi kepala keluarga, tetapi harus menjadi anggota keluarga.
Berarti pada keluarganya yang pertama ia menjadi kepala keluarga dan pada keluarga kedua ia menjadi anggota keluarga. Jadi dalam keluarga pertama (istri) menjadi anggota keluarga dan dalam keluarga kedua (istri) menjadi kepala keluarga.
Inilah logika yang dianut dalam masyarakat era digital (modern) dan tidak dianut dalam masyarakat tradisional (premitif, nomaden dan masyarakat agraris), karena dalam masyarakat tradisional pencatat atau penghitungan belum diperlukan.
Dalam masyarakat modern orang tidak lagi bisa hidup tanpa behubungan dengan negara, seluruh aspek kehidupan telah terhubung melalui teknologi, sehingga semua semua orang telah mempunyai angka dan orang yang tidak mempunyai angka tidak lagi mendapat pasilitas dari negara.
Semua kebutuhan masyarakat akan dilihat dalam catatan angka, mulai seseorang berwujud di dalam rahim orang tua sampai pada seseorang meninggal dunia.
Satu saat antara satu angka dengan angka selanjutnya (angka dalam kebutuhan yang lain) akan saling terkait, bila seseorang tidak mempunyai angka kelahiran maka ia tidak akan mendapat pasilitas yang lain, semua pasilitas yang ada disiapkan sesuai dengan kebutuhan angkan sebelumnya.
Demikian, semoga dapat menjadi bahan diskusi dan kajian dalam pembangunan masyarakat masa depan. []