Catatan dari Kongres Bahasa Indonesia XII
Oleh : Zulfikar Ahmad, Aman Dio
Diseluruh Indonesia ditemukan 718 bahasa Daerah dengan berbagai status vitalitas-nya. Dalam rentang 1991 – 2017 terdapat 13 bahasa daerah yang telah punah, 2 bahasa di Papua dan 11 bahasa daerah di Maluku.
Ke-13 bahasa daerah tersebut tidak lagi ditemukan penuturnya. Menurut UNESCO, sampai akhir abad ini sekitar 50% bahasa dunia akan punah. Penyebabnya antara lain pengaruh globalisasi, urbanisasi dan pengunaan bahasa lain yang lebih dominan.
Di Gayo misalnya, sebelum pertengahan 1930-an, penyerapan bahasa arab dalam bahasa Gayo cukup tinggi. Namun, setelah 1936, bahasa pengantar dan buku yang digunakan disekolah-sekolah formal berbahasa Melayu, sehingga penyerapan bahasa Melayu dalam bahasa Gayo meningkat.
Proses ini masih berlangsung sampai saat ini. Bahasa pengantar resmi dan buku-buku berbahasa Indonesia mendominasi generasi muda. Satu persatu kosa kata dalam bahasa Gayo dipertukarkan oleh penggunanya.
Mulai dari merubah akhiran ‘a’ menjadi ‘e’, seperti “sehingga” menjadi “Sehi-nge”, “dua” menjadi “due” dst.. sampai menyerap sepenuhnya kata-kata asing dalam bahasa Gayo.
Salah satu ciri etnis/sub etnis adalah pada bahasanya. Ciri ini melekat pada kebudayaan setiap etnis. Keunikan budaya dari masing-masing daerah sering kali bernilai ekonomis, atau sering juga disebut “branding”sebut saja Nasi Padang, sate Padang, sate Madura, mie Aceh, dodol Garut, dan seterusnya.
Produk budaya dengan branding khas dapat dijual dimana-mana meski bukan di daerah asalnya. misalnya Kopi Gayo, meski dipasarkan atau dinikmati di Amerika atau Eropa tetap disebut kopi Gayo.
Produk ber-branding budaya memiliki pasar yang luas. Kahadiran film kartun berlatar belakang budaya Jepang dikonsumsi oleh anak-anak diseluruh dunia, 10 – 20 tahun kemudian, restoran Jepang dengan mudah menarik pelangan di seluruh dunia yang dulunya adalah konsumen film kartun Jepang.
Dibeberapa daerah kita akan menemukan restoran ramen, padahal intinya adalah mie rebus bergaya Jepang yang disesuaikan dengan lidah indonesia. Fashion Korea dan produk makanan Korea pernah menjadi tranding di sekitar kita, meski baju bekas tetap laku dijual dipasar dengan embel-embel “Korea”.
Gayo dengan kekayaan pengetahuan dan Teknologi tradisionalnya belum dimanfaatkan sebagai nilai ekonomis. Mungaro, begule, mungantih, ber-ontang, pulung (meramu obat-obatan) dan lain sebagainya jika disajikan dalam bentuk cerita yang menarik merupakan potensi ekonomi Gayo untuk dijual dipasar yang lebih luas.
Soal kuliner, berbagai varian/diversifikasi cecah hanya dimiliki oleh budaya Gayo. Cecah terong angur cuma ada di budaya Gayo. Pedas tapi segar (menthol) dari andaliman dalam masam jing jarang bisa ditemukan dalam kuliner lain di nusantara.
Kekayaan budaya Gayo, belum di branding dengan optimal, sehingga belum dapat dirasakan keuntungan ekonomisnya. Apalagi jika bahasa Indonesia diserap sepenuhnya dalam bahasa Gayo, maka kesempatan untuk mendapat keuntungan ekonomi dari budaya Gayo akan semakin sulit.
Contohnya, jika pengetahuan/teknologi tradisional Gayo diatas di branding dalam bahasa Indonesia maka sebutannya menjadi, berburu, mencari ikan, memasang perangkap, meracik jamu, sambal dan asam pedas. Maka keistimewaan produk-produk Gayo akan pupus dan kehilangan branding dipasar. []