Oleh : Muhammad Syukri*
Saya pernah kaget ketika dituding berlebihan dalam mengoreksi draf sebuah naskah. Berlebihan karena titik koma pun dipermasalahkan.
“Kau ini bagaimana? Titik koma pun dimasalahkan,” tuding seorang teman.
“Siapa yang bilang?” tanyaku penasaran.
“Itu yang sedang dibahas junior kita setiap hari,” jawabnya lugas.
“Tugas korektor memang seperti itu. Mereka belum paham aja. Pada waktunya mereka akan mengerti,” terang saya.
Tanpa disadari, ternyata mengoreksi letak tanda baca membuat orang alergi. Bahkan dijadikan sebagai stigma, bahan candaan dan tertawaan.
“Tuh Titik koma datang,” bisik teman tadi sambil cekikikan.
Sebagai korektor, saya wajib memastikan kalimat-kalimat dalam sebuah naskah resmi tidak ada kalimat yang rancu, apalagi multi tafsir.
Kepada teman tadi, saya sudah berulangkali menjelaskan batasan tugas saya. Bahkan menerangkan fungsi titik dan koma dalam sebuah kalimat.
Toh, teman tadi sulit memahami penjelasan itu. Entah karena dia tidak memahami tata bahasa Indonesia, atau memang sedang bercanda.
“Bohong kau!” ujarnya sambil tersenyum.
Kemudian, saya yakinkan lagi dengan menunjukkan sebuah artikel yang diterbitkan oleh merdeka.com.
Disitu dijelaskan bahwa: “Fungsi tanda baca titik adalah untuk mengakhiri sebuah kalimat. Sementara fungsi tanda baca koma adalah untuk memberikan jeda dalam sebuah kalimat. Keduanya saling melengkapi satu sama lain.”
Teman tadi tetap tidak percaya. Sampai akhirnya saya paham, ternyata dia tidak mengerti fungsi tanda baca. Naskah dan dokumen yang diproduk teman tadi, sungguh berantakan. Selain banyak kalimat yang rancu, juga berpotensi menimbulkan multi tafsir.
Sampai suatu hari, naskah yang diterbitkan dipermasalahkan orang. Isinya multi tafsir karena salah menempatkan tanda baca.
Setelah itu, dia mulai hati-hati. Entah dihatinya mengakui pentingnya tanda baca atau tidak. Pastinya, banyak draf naskah yang kemudian diperam. Dibiarkan menggunung, tak kunjung dibaca. []