Menerapkan Karakter Pang, Melestarikan Urang Gayo

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Sebelum kita memulai diskusi ini lebih lanjut, ada baiknya kita sepakati, siapa yang berhak menyandang gelar sebagai orang Gayo. Keriteria berikut tidak baku, masih bisa berubah. Tapi hal ini penting kita sampaikan agar kita hidup dan menjalani kehidupan sesama makhluk sosial menjadi satu frekuensi.

Kekerabatan kita sangat renggang di Gayo karena kata “saudara” di negeri kita tidak ada tingkatannya . Berbeda dengan daerah lain, seperti daerah Sunda, Jawa Barat ada tingkatan saudara; persaudaraan, saudara, sedulur, sederek dan swargi tingkat persaudaraan tertinggi.

Salah satu hal penting yang harus kita sepakati adalah siapa yang berhak disebut orang Gayo?

1. Bapak dan ibunya orang Gayo
2. Bapaknya orang Gayo
3. Ibunya orang Gayo
4. Lahir di Gayo
5. Guru atau dosen di Gayo
6.Orang yang bekerja untuk membesarkan nama Gayo.

Salah satu saja dari enam kriteria tersebut di atas melekat pada dirinya bisa disebut menyandang gelar orang Gayo. Jadi pembahasan selanjutnya ketika bicara Pang diharapkan tergerak semua orang Gayo untuk menjadikan karakter Pang sebagai identitasnya.

Tidak ada referensi makna tertulis dari kata “Pang”. Kata Pang hanya ditambalkan pada nama sebutan atau lebih kepada nama samaran atau sandi.

Kata atau perasin pang dipopulerkan oleh Tengku Ilyas Leubee. Komandan Barisan Gurilla Rakyat (Bagura) menghormati rekan seperjuangannya pada Agresi Belanda kedua tahun 1948.

Seperti yang direkam dalam buku AK Yakobi dalam bukunya Aceh Daerah Modal bahwa para Pang menjadi barisan terdepan melawan agresi Belanda.

Agresi itu menjadi dasar terbentuknya pemerintah darurat di Sumatera yang dipimpin Safruddin Prawiranegara. Satu-satunya alat propaganda pada waktu adalah Radio Rimba Raya di Bener Meriah.

Demikian juga Mohammad Hasan Gayo juga menulis buku berjudul Perang Gayo-Alas melawan kolonial Belanda juga banyak menulis perlawanan Pang terhadap penjajah Belanda.

Sebagian para Pang masih melanjutkan gerilya pada masa DI/TII tahun 1953-1961. Di antaranya Pang Alim dan Pang Burik. Barangkali karena faktor usia dan idiologi meski masih ada pang yang masih hidup, tetapi tidak ikut dalam perang RI-GAM.

Pang Akub, Pang Ben, Pang Cik dan Pang Latih masih hidup pada masa pemberontakan DI/TII . Tapi mereka tidak ikut memberontak karena kehilangan kekeramatannya.

Kata pang ditambalkan dengan kata yang mudah diingat dan satu kata. Jadi orang tua kita di Gayo dari dulu memilih kata atau diksi yang mudah difahami. Pang Sidem misalnya. Sehingga Aman Dimot tidak disematkan kata pang karena terlalu panjang.

Setelah kata Pang akan hilang dan orang hampir melupakannya. Terjadilah proyek Krueng Kerto yang akan menggusur salah seorang Pang, yang bernama Pang Kilet. Disitulah nama Pang mulai kembali disebut. Itulah salah satu cara Tuhan untuk melestarikan kata Pang dengan segala karakternya.

Ahli waris jangan berhenti berjuang agar makam tersebut tidak dipindahkan. Tentu saja kita juga berharap kepada pemerintah, terutama Bapak PJ Bupati Bener Meriah untuk menjadikan makam Pang Kilet sebagai cagar budaya.

Mudah-mudahan dalam diskusi ini kita sefrekwensi untuk menyelamatkan makam Pang Kilet beserta orang Gayo lainnya. Apalagi daerah tersebut secara bahasa masuk wilayah Gayo.

Pelajaran apa dibalik peristiwa rencana penggusuran makam ini? Dalam kajian rasa; itulah cara orang tua untuk membesarkan nama Gayo, yang sepatutnya memiliki karakter Pang sebagai berikut;

1. Orang yang pernah berperang,
2. Mempunyai empat sifat Nabi,
3. Sakti,
4. Muresie (Rahasia),
5. Pantang menyerah,
6. Punya prinsif kearifan lokal,
7. Tidak ingin diistimewakan dengan ungkapan “Terlambat tidak ditunggu, hilang tidak dicari.”

Demikian paparan ini saya sampaikan dalam diskusi Sabtuan dengan tema, “Rekonstruksi Karakter Pang Masyarakat Gayo.” Semoga dengan menerapkan karakter Pang orang Gayo menjadi lestari.

(Makalah ini disampaikan dalam diskusi Sabtuan, 30 September 2023 di Seladang Cafe, Bener Meriah).

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.