Oleh : Fauzan Azima*
PADA zaman dahulu kala, di negeri kita ada seorang raja bernama Malim dan permaisurinya bernama Suri. Mereka dikaruniai seorang putri cantik jelita dan berakhlak mulia. Mereka memberinya nama Peteri Bensu.
Layaknya seorang raja, Malim juga punya pembantu. Kebetulan si pembantu, bernama Temulukwati memiliki seorang putri yang wajahnya pas-pasan, kalau tidak mau dikatakan jelek. Gadis itu bernama Tentung Kapur.
Peteri Bensu dan Tentung Kapur besar bersama di istana itu. Mereka bermain bersama layaknya anak-anak lain. Permaisuri raja sering minta tolong kepada kedua gadis itu untuk mengambil air di sumur yang tidak terlalu jauh dari istana.
Syahdan, pada suatu hari, Ibu Suri minta tolong kepada Tentung Kapur untuk mengambil air hanya seorang diri, tanpa ditemani Peteri Bungsu. Setiap kali diminta pergi ke sumur, Tentung Kapur selalu berulah. Selalu saja kendi yang dibawanya pecah. Ternyara Tentung Kapur kesal. Dia mengeluh karena menganggap dirinya tidak layak mengambil air.
Tapi semua ini berawal dari Tentung Kapur yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya tidak lebih cantik dari Peteri Bensu yang cantik jelita. Sifat irinya semakin memuncak ketika pemuda tampan bernama Bujang Pane bertandang ke istana dan jatuh cinta kepada Peteri Bensu.
Tentung Kapur juga jatuh hati kepada Bujang Pane. Setelah mengetahui Bujang Pane mencintai Peteri Bensu, Tentung Kapur terbakar api cemburu. Tingkah lakunya semakin menjadi-jadi. Entah berapa ratus kendi yang sudah dia pecahkan.
Peteri Bensu pun ingin mencari tahu alasan temannya itu berubah. Peteri Bensu lantas mengintip dari atas pohon Gele. Dari atas pohon itu Peteri Bensu memperhatikan tingkah laku Tentung Kapur yang selalu memecahkan kendi-kendi tempat air.
Namun Tentung Kapur tidak lagi marah setelah melihat wajahnya yang cantik usai mengambil air dari sumur, Tentung Kapur melihat pantulan wajah di dalam kendi. Bayangan yang dia inginkan. Hatinya berbunga-bunga dan dia bergegas ingin pulang ke istana.
“Inur inur, beta ke keta belangiku, nguk akuni penangoni waih (Aduh duh, ternyata begitu cantiknya aku, mengapa aku ditugaskan mengambil air,” senandung Tentung Kapur dengan riang.
Peteri Bensu hanya tersenyum mendengar senandung Tentung Kapur karena yang dilihat adalah bayangan Peteri Bensu, bukan dirinya. Di istana orang-orang mencibirnya Tentung Kapur sebagai “cempanir’ atau orang yang bersifat licik
Akhirnya Tentung Kapur tahu juga dari orang-orang di sekitarnya bahwa bayangan di sumur itu adalah pantulan wajah Peteri Bensu alih-alih wajahnya. Dia semakin kesal dan mengamuk serta memecahkan kendi-kendi di sekitarnya.
Di era modern ini, Tentung Kapur bereinkarnasi menjadi Si Bandit. Secara roh mereka tidak hidup lagi dengan rupa berbeda. Tapi secara sifat dan perbuatan kurang lebih sama.
Mungkin anak-anak muda tidak tahu lagi cerita yang sarat dengan hikmah ini. Oleh sebab itu, orang-orang tua di Gayo sering beramanah, “enti lagu Tentung Kapur (jangan bersifat seperti Tentung Kapur).”
Artinya orang tua itu sedang berkata, “Jangan merusak negeri ini dengan kelicikan melalui memanfaatkan jabatan. Jangan membuat pemerintahan rusak, dan jangan memanfaatkan orang lain untuk kepentingan diri sendiri, serta jangan menjadi orang tidak pandai bersyukur.”
(Mendale, September 28, 2023)