Oleh : Fauzan Azima*
Waktu kami kuliah dulu, dosen Ilmu Sosiologi, Pak Cipto biasa kami menyebutnya. Beliau anggota TNI aktif. Kerap membawa pistol saat mengajar. Kami sebagai mahasiswa senang dengan caranya menjelaskan pelajaran. Banyak pengetahuan baru yang kami dapat dari ceritanya.
Beliau menceritakan, di Indramayu, Jawa Barat, pada musim panen padi masyarakat beramai-ramai naik truck pergi ke KUA untuk menikah. Sebaliknya pada musim paceklik, mereka kembali bergerombolan naik truck ke Kantor Urusan Agama untuk bercerai.
Rupanya soal kawin cerai sudah menjadi tradisi di sana. Bahkan perempuan yang sering kawin cerai paling dicari laki-laki. Maharnya pun semakin tinggi. Istilah populer di daerah itu untuk menaikkan derajatnya “Jelek-jelek begini sudah lima kali jadi janda.”
Sebab utama kebiasaan itu lahir karena daerah tersebut miskin. Sebagian besar penduduknya buruh tani. Supaya tidak menjadi beban di saat ekonomi sulit, mereka bersepakat memilih berpisah.
Kultur itu terjadi di negeri orang. Jaraknya seribu kilometer lebih dari kampung kita. Tapi pada suatu saat tidak menutup kemungkinan sebab himpitan ekonomi, di kampung kita juga akan terjadi bangga berkali-kali menjadi janda dan mungkin akan membangun istilah, “Janda semakin di depan.”
Kemerosotan ekonomi di kampung kita bisa diistilahkan sebagai kemiskinan struktural akibat mental korup pejabatnya. Sehingga akses masyarakat terhambat terhadap sumber daya dan pembangunan, seperti pendidikan, kesehatan, maupun lapangan pekerjaan.
Kita di sini bukan turunan pemalas. Bahkan kalau kita masuk kampung pada pagi hari, jarang menemukan masyarakat. Mereka sebagian besar pergi ke kebun.
Indikasi mental korup sudah sangat nyata. Beberapa pejabat penting sudah ditahan tersangkut rasuah. Belum lagi beberapa pejabat sudah dimintai keterangan di Mapolda, Kejati dan Kejari. Desas desusnya, pejabat yang terperiksa lebih dari 40 orang. Kalau sejumlah itu pejabat ditangkap, tentu menjadi sejarah baru di kampung kita.
Saya sedang tidak memikirkan diri sendiri. Saya mengkhawatirkan masa depan Gayo. Tidak perlu ilmu khusus meramalkan kesuraman masa depan Gayo. Indikatornya sangat mudah difahami.
Pertama; semakin banyaknya kebodohan dalam masyarakat. Kedua, Gayo krisis tokoh; tokoh politik, tokoh birokrat dan tokoh pengusaha. Ketiga, Sumber Daya Alam telah banyak berpindah tangan. Dan ke-empat, penutur bahasa Gayo kurang dari sejuta orang.
Ke-empat hal tersebut di atas menjadi dasar Gayo akan punah. Belum lagi soal batas wilayah Gayo semakin tergerus. Pada tahun lalu, Aceh Tengah kehilangan 0,7 persen wilayahnya.
Jelas bahwa ketidakcakapan pejabat dan bermental korup menyebabkan urang Gayo hilang dari atas bumi ini. Mereka secara langsung dan tidak langsung menghapus peta Gayo dari muka bumi ini. Begitupun kita tidak boleh putus asa. Selalu berdoa dan berikhtiar agar Gayo tidak menjadi susunan huruf: qaf-ya-mim-alif-ta (kiamat).
Mari sejak dini bekerja sama agar anak negeri ini tidak beramai-ramai naik truck ke KUA saat musim panen tiba untuk nikah dan kembali naik truck untuk bercerai dengan bergerombol saat musim paceklik melalui pemberdayaan bangkit dari kubangan kebodohan dan kemiskinan.
(Mendale, Agustus 31, 2023)