Oleh : Zulfikar Ahmad Aman Dio*
Film Rango produksi Paramount Picture 1931 yang lokasi pengambilan gam-barnya di Blang Rakal ( https://t.ly/o2f9v ), ternyata menduduki peringkat 10 film ter-baik pada masa itu ( https://s.id/1Rq9M ).
Popularitas Film Rango membuat Blang Rakal makin terkenal, terutama Buyung yang bergelar Datuk Raja Sutan dan cucunya (bukan anak Datuk) yang turut berperan penting dalam film tersebut.
Popularitas Blang Rakal melalui film Rango menjadi magnet pariwisata sekitar tahun 1930-an. Para pejabat dan wisatawan silih berganti mengunjungi Blang Rakal. Termasuk dua orang wartawan senior yang saat itu datang khusus mewawancarai Buyung, Datuk Raja Surtan.
Rangkuman hasil wawancara H.C. Zengraafft (Pemred Java Bode) dan wartawan Deli Courant sebagai berikut :
Perjalanan ke Blang Rakal dimulai dari depan pantung Heinzenknecht, Insinyur sesun-guhnya dalam pembangunan jalan Gayo. Patung ini di depan pendopo Bupati Bireuen menghadap ke Arah Gayo dan sebagai titik nol Jalan Gayo.
Di Tahun 1920-an jalan Gayo merupakan salah satu jalan yang dibangun dengan teknik terbaik pada masa itu, jalan dengan biaya pembangunan paling mahal (per/km) dan memiliki jembatan berpilar paling panjang di Indonesia (Jembatan Teupin Mane).
Salah satu spesifikasi teknis jalan Gayo kemiringan dijaga 4 derajat, meski di beberapa titik syarat ini diabaikan seperti di Enang-enang.

Pengguna jalan Gayo pada masa itu didominasi oleh perusahaan angkutan milik pengusaha Tiong-hoa dan Gayo ( https://s.id/1ROZq ). Hanya sopir-sopir yang berpengalaman dan cekatan yang bisa melalui jalan ini.
Batas antara Gayo dengan Bireuen terasa pada perbedaan suhu yang semakin dingin dan karakteristik hutannya.
Begitu melewati perbatasan seakan memasuki taman yang sangat luas dengan hamparan blang yang sangat berbeda dengan hutan sebelumnya yang ditumbuhi batang kayu besar yang rimbun (Zengraafft, 1935).
Pada masa itu dikalangan akademisi masih diperdebatkan apakah “Blang” (padang alang-alang) merupakan ekosistem tersendiri atau merupakan hasil penebangan kayu dimasa lampau.

Sejak tahun 1917, wisatawan yang berkunjung ke Gayo didominasi oleh wisata berburu dengan destinasinya Blang Rakal. Pemandu wisata yang terkenal saat itu adalah Datuk Raja Sutan. Menurut catatan cucu Datuk Raja Sutan, sejak 1917 – 1935 Datuk Raja Sutan sudah merobohkan 331 harimau dan 18 gajah.
Keistimewaan lain yang dirasakan oleh pengunjung yang datang ke Blang Rakal adalah kopi dan kue bawang yang sangat lezat. menurut Zengraaft, mulai dari Selat Sunda hingga ke Ulele tidak dapat ditemukan kopi tubruk se lezat kopi Blang Rakal buatan istri Datuk Raja Sutan.

Selama menjelajahi hutan Gayo di kawasan Blang Rakal, Datuk Raja Sutan pernah bertemu dengan Orang Pendek yang dalam bahasa Gayo Disebut Manti dan bahasa Aceh Manteu.
Berdasarkan beberapa literatur, Sultan Aceh Aceh pernah menangkap Mantheu di Kemukiman XXII dan dibawa ke Banda Aceh untuk didalami informasinya, namun sayangnya, sepasang Man-theu tersebut lebih memilih mogok makan hingga mati dari pada membuka suara.

Berdasarkan apa yang pernah ditemukan oleh Datuk, Manti dengan tinggi sekitar 1,3 m, memiliki telapak kaki yang mengarah ke kiri dan kanan dengan jempol kaki yang lebih besar dari jempol kaki normal. Datuk yakin Manti adalah manusia.
Sejumlah peneliti Manti pada masa itu mengum-pulkan berbagai informasi tentang keberadaan manti dan salah satu manti pernah dibawa ke La-boratorium Biologi di Bogor.
*Pemerhati Sosial Budaya dan Sejarah