Tari Saman Sebagai Media Komunikasi dan Seni Islam (Bag. 3)

oleh

Oleh : Salman Yoga S*

Orang Arab masa lalu membuat gubahan sajak dalam syair seperti Mausyihat (syair bebas Andalusia) dan yang lainnya, artinya tidak masalah menerima gubahan yang baru pada syair kontemporer seperti puisi bebas asal sejalan dengan syariat.

Media informasi tidak lagi membutuhkan bahasa yang asal-asalan, karena masyarakat dididik dengan bahasa jurnalistik yang dibacanya setiap hari.

Dalam Islam syair adalah bagian dari ungkapan bahasa. Maka mutu baik tidaknya seperti mutu ungkapan bahasa lainnya. Allah SWT pernah mencela syair yang batil dan jelek serta memuji syair tentang keimanan dan kebenaran seperti yang difirmankan-Nya dalam surat Asy-Syuarā ayat 224 – 227.

Para penyair yang hanya mengolah kata tanpa bobot makna seperti dikecam ayat dalam surat Asy-Syuarā adalah para penyair pada masa Nabi Muhammad Saw. Sedang para penyair beriman dan saleh -yang mendapat pujian dari Allah SWT dalam surat dan ayat yang sama- adalah orang-orang yang memperbanyak zikir dan membaca Alquran.22

Zikir dan Alquran merupakan kekuatan yang mereka nilai lebih dahsyat dari syair. Jika para penyair sesat itu membacakan syairnya, mereka menjawab dengan syair yang bermuatan tauhid, pujian kepada Allah SWT, hikmah, nasehat leluhur, semangat asketik, sastra berkualitas, pujian kepada Rasul, sahabat dan orang-orang shaleh serta nilai-nilai yang tidak tercemar dosa dan aib.

Dalam logika Islam, seorang penyair dengan syair-syair karyanya harus berjalan dalam garis keimanan dan tuntutan yang tertera ayat-ayat surat Asy-Syuarā.

Pengungkapan syair tari Saman Gayo pada persalaman (pembuka) tercermin bagaimana ketauhitan dimaksud muncul dan menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Dalam pandangan beberapa kalangan pengungkapan isi syair-syair pada pembukaan tari Saman menginformasikan bahwa ajaran agama Islam yang ditransformasikan bukan lagi sekedar pengamalan amaliah biasa berupa kehidupan sosial keagamaan pada umumnya, tetapi lebih pada unsur-unsur ketauhidan yang biasanya diamalkan oleh para penganut faham ke-sufi-an. Petikan syair di bawah ini merupakan syair pembuka tari Saman yang dapat mencerminkan hal tersebut adalah:
Hmm laila la aho
Hmm laila la aho
Hoya-hoya, sarre e hala lem hahalla
Lahoya hele lem hehelle le enyan-enyan
Ho lam an laho

Laila la aho
Simale munengon kami berseni
Lahoya, sarre e hala lem hahalla
Lahoya hele lem hehelle
Le enyan-enyan
Ho lam an laho

Kalimat dasar dan awal syair tersebut diadaptasi dari kalimat tauhid “Laa Ilaha Illah” yang berarti “Tiada Tuhan selain Allah”. Dilantunkan dalam gerakan awal dalam posisi berlutut solah hendak akan bersujud.

Mistis dan religiusitas syair tersebut didahului dengan suara gumaman yang disebut dengan istilah regum secara bersama dari para penari yang berjumlah ganjil sehingga suara yang dihasilkan seperti menggema.

Suara gumaman atau regum pada mukadimah tari Saman ini oleh sebahagian bahkan oleh masyarakat umum dipahami hal tersebut sebagai pembacaan sebuah mantra atau bagian dari syarat untuk menampilkan tari Saman itu sendiri, meskipun sesungguhnya dalam kontek seni tarik suara dan sastra tradisonal maupun modern hal tersebut dapat dimaksudkan sebagai teknik pengolahan suara untuk menimbulkan verbalitas menjadi lebih dramatik seperti halnya beberapa puisi modern karya Sudtarji Chalsum Bahri.

Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr berangkali inilah yang dimaksud dengan ma’rifat syair.

“Pada akhirnya satu-satunya hal mendasar yang dimiliki logika dan juga syair, sebagaimana faham tradisional, adalah gnosis (ma’rifah) yang terletak pada inti tradisi Timur. Karena realitas merupakan sumber hal dari yang logis dan sekaligus sebagai hal yang puitis, maka gnosais atau metafisika tradisional yang mengandung pengetahuan tentang realitas, tidak boleh tidak menjadi dasar bersama yang memungkinkan logika dan syair bertemu dan menjadi sarana dan media dalam menyampaikan kebenaran”.23

Sebagaimana juga pandangan Bambang Sugiharto bahwa pada tahap penjiwaan terdalam atas realitas, seni pada akhirnya adalah komunikasi pengalaman batin ruh sang seniman pada semua ruh manusia lain, komunukasi misteri kehidupan yang terdalam, komunikasi tentang sang Maha Ruh (Tuhan) dibalik segala kejadian. 24

Tari Saman dan Kesenian Gayo Bernafaskan Islam

Sejak masuk dan berkembangnya agama Islam pada abad ke 11 Masehi, atau bahkan beberapa abad sebelumnya ke tanah Gayo dan Aceh, bisa dikatakan sejak itu pula pola dan dinamika kehidupan masyarakatnya diwarnai oleh ajaran agama Islam.

Mulai dari sistem keperintahan perilaku hidup dalam keseharian sampai kepada pengekspresian jiwa melalui media kesenian, terlebih bentuk-bentuk pengungkapan berupa syair-syair.

Dunia kesenian banyak berperan dalam mentransformasikan sejarah dan peradaban masyarakat secara umum. Banyak literatur tentang perjalanan Aceh sampai saat ini kerap menjadikan media kesenian berupa manuskrip-manuskrip dan sastra lisan sebagai bahan rujukan.

Kesenian Didong, yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sebagai sastra lisan yang cukup mempunyai social interst dengan unsur utamanya adalah berupa syair-syair. Berbeda dengan tari Saman dengan unsur utamanya berupa gerakan tari yang kompak dan dinamis dengan syair-syair sebagai unsur kedua.

Pada titik ini, kesenian tradisional dalam masyakat Gayo amatlah berperan di luar esensinya sendiri sebagai sebuah kesenian yang umumnya hanya dipahami dengan fungsi tunggal sebagai media hiburan semata.

Kesenian Gayo pada umumnya juga bukan sekedar seni yang lahir dan diekspresikan begitu saja. Ia merupakan simbol sekaligus karakter dari masyarakatnya.

Dalam pandangan Sumaryono kesenian merupakan kompenen dari kesatuan budaya yang dapat dilihat dan dibaca dari peran dan fungsinya sebagai bagian dari struktur sosial yang mempersentasikan nilai-nilai budaya dan spirit komunal.25

Hampir secara keseluruhan seni budaya Gayo mengandung nilai-nilai pesan keislaman secara keagamaan dan sebagai media komunikasi yang berisi informasi dan pesan-pesan. Hal tersebut dapat kita temukan mulai dari tarian sampai musik dan syair-syair lagu. Tarian-tarian umumnya sangat dinamik dan energik, diperankan dengan nuansa romatism dan herois.

Dalam sejarah dan khasanah budaya, kesenian bukan saja menjadi media dalam pengekspresian diri dan kehalusan jiwa. Ia telah berperan sebagai suatu yang mempunyai nilai lebih dari sekedar sebuah kesenian yang memiliki pesan moral luhur.

Ada proses dan muatan nilai yang juga ikut diusungnya. Kesenian menjadi sesuatu yang dapat menyampaikan, melarang, menganjurkan, membantah, merekam bahkan mengkritisi suatu realitas sosial masyarakat yang dianggap tidak ideal dalam konteks budaya lokal dan agama.

Baca Juga : Tari Saman Sebagai Media Komunikasi dan Seni Islam (Bag. 2)

*Dipetik dari buku “Para Penabuh Tubuh, Sehimpun Tulisan Perihal Saman Gayo”. Editor: Michael HB & Dede Pramayoza. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sekretariat Derektorat Jendral Kebudayaan RI, Lintang Pustaka Utama Yogyakarta, 2019. Halaman 150-173.

*Salman Yoga S adalah pelaku seni dan budaya. Pimpinan Lembaga The Gayo Institute (TGI), Komunitas Teater Reje Linge, Redaktur Sastra & Budaya LintasGAYO.co serta aktif disejumlah komunitas-organisasi gerakan kebudayaan lainnya. Selain itu ia juga adalah akademisi, mengajar di program S1 dan Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.