Oleh: Salman Yoga S*
Tujuan berkesenian menurut konsep Addienul Islam pada hakekatnya tidak terlepas dari tujuan penciptaan manusia sebagai khalifatullah fil ardhi, yang salah satunya menanggung amanat untuk memelihara kehidupan dunia demi makna yang lebih tinggi, yakni ibadah.
Berkesenian yang benar, adalah memelihara dan memperindah alam, demi pemahamannya terhadap keberadaan Allah Ta’ala.
Bukan merusak alam, sehingga justru merugikan kehidupan manusia sendiri, kesenian yang melulu bermakna jasmaniah, dan hanya membuat manusia berkutat sebagai makhluk duniawi semata-mata, merusak martabat diri dan alam. Jelas bukan kesenian yang bersifat islami.13
Agama Islam sendiri sebagai konsep disusun atas dasar tiga komponen utama, yakni (1) komponen batiniah yang merupakan esensi ketauhidan, (2) komponen simbolik, yang merupakan bentuk ibadah yang bersifat ritual, (3) komponen mu’amalah, yang merupakan ekspresi dari Dienul Islam.
Ketiganya merupakan kesatuan mutlak yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan muslim, baik individual maupun sosial. Ketiganya juga sebenarnya merujuk adanya tata jenjang dalam kebudayaan Islam yang harus disusun.
Isma’il Al Faruqi menyatakan bahwa inti dari peradaban dan kebudayaan Islam adalah Tauhid, suatu pengakuan bahwa Allah Maha Esa, Maha Pencipta dan pusat dari seluruh kehidupan yang hendak dikembangkan manusia.
Dalam pandangan Tauhid kebudayaan adalah proses menuju kebenaran Allah Ta’ala. Di sinilah letak dari dinamisasi kebudayaan, karena dalam kebudayaan manusia menjadi dan meng-ada.
Tanpa terkecuali, setiap orang selalu berada dalam kebudayaan, dalam wilayah inilah manusia mengaktualisasikan dirinya secara total, sehingga kualitas kebudayaan sepenuhnya merupakan pencerminan dari nilai-nilai kebenaran yang dianutnya.
Dalam konsep Islam, kebudayaan bermakna dinamis, dalam arti ia merupakan proses meruhaninya manusia. Apapun yang menjadi urusannya di dunia tidak terhenti pada kepentingan dunia, tetapi akan selalu bermakna ibadah sebagaimana yang disinggung-Nya dalam surat Adz Dzariyat ayat 56 (Tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Ku).
Dari sejarah kebudayaan dan peradaban, Islam sebagai agama besar di dunia telah menjadi mata air jernih dari sejumlah karya seni manusia yang besar. Islam telah mempengaruhi banyak karya seni arsitektur yang luar biasa indahnya seperti Taj Mahal di India, Istana Alhambra di Granada Spanyol, Masjid di Isfahan, Makam Timur di Samarkand serta sejumlah karya besar di dalam kerajinan logam, kaca, keramik, lukisan dan permadani.
Selain seni arsitektur dan bangunan di atas, jenis kesenian yang amat digemari dan mendominasi sejak masa hidup Rasulullah Saw adalah sastra berupa syair-syair. Sejumlah karya sastra berupa syair-syair tersebut telah pula berperan dalam membangkitkan semangat fisabilillah umat dalam beberapa perang melawan kaum musrikin.
Ia pula telah menjadi catatan sejarah dalam pergolakan perang Badar. Sebagaimana nukilan syair Hasan bin Tsabit tentang perang Badar di bawah ini:
1Ceritakan kisah yang tidak ada aib di dalamnya
Dengan jujur, dan tidak dengan bohong
Kisah tentang apa yang diperbuat Allah untuk kita
Terhadap orang-orang musrikin di Badar pada pagi hari
Kita hadapi mereka dengan orang-orang
Seperti singa-singa belantara yang masih muda, dan sudah tua
Di hadapan Muhammad, mereka mendukung beliau
Dalam menghadapi musuh-musuh di medan perang
Mereka memegang pedang-pedang yang tajam.14
Lebih dari itu, Rasulullah diriwayatkan pernah memberikan penghargaan tinggi terhadap karya sastra yang bagus dan seniman yang mengabdikan dirinya untuk kebenaran. Dari zaman pertengahan kita mengenal karya sastra yang ditulis orang Islam dan memiliki nilai tinggi seperti Mastnawi dari Jalaluddin Ar Rumi, Rubaiyat dari Omar Khaiyyam, Asrari Khudi dari Muhammad Iqbal dan lain sebagainya.15
Syaikh Madun Rasyid dalam bukunya yang berjudul Wadhaya Al-Lahwi wa At-Tarfih mengutip pendapat Doktor Najib Al-Kailani menggambarkan kedudukan, peran dan perjalanan syair dari zaman ke-zaman sebagai berikut:
Syair karya orang-orang jahiliyah cenderung mengangkat topik tentang kehormatan, keturunan, dan harga diri. Syair mereka juga membanggakan tuhan-tuhan yang palsu dan nilai-nilai lalim yang hanya melahirkan kerusakan, dan kehancuran. Ketika Islam datang, syair masih dalam keadaan seperti itu. Kemudian Islam mengakui syair yang sesuai dengan nilai-nilai keutamaan, dan mengingkari yang sebaliknya.16
Pendapat Najib Al-Kailani tersebut membuktikan bahwa penggunaan dan pemanfaatan kesenian terutama syair sebagai media untuk menyampaikan pesan, telah berkembang sejak pra Islam. Selanjutnya ketika Islam hadir hal tersebut terus berkembang dan menjadi bagian dari sarana penyebarluasan ajaran dan pemahaman tentang agama Islam.
Hal tersebut dikuat lagi oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani yang menyatakan bahwa “…karena nyanyian biasanya berbentuk syair (lirik). Syair itu tidaklah haram secara mutlak. Karena Nabi Saw. sendiri menyatakan. Artinya:
“Sesungguhnya di antara syair ada yang mengandung hikmah”. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan disebutkan takhrijnya dalam Ash-Shahihah (no. 2851). Rasulullah Saw juga mengungkapkan syair. Disebutkan takhrijnya dalam Ash-Shahihah (2058), lihat pula komentar terhadapnya dalam buku Shahih Al-Adab Al-Mufrad, yang antara lain menyebutkan Rasulullah Saw pernah bersabda ketika beliau ditanya tentang syair: Artinya: “Syair adalah ucapan: yang baik di antaranya adalah ucapan baik, dan yang buruk di antaranya adalah ucapan buruk”.17
Sastra Islam adalah salah satu bentuk -dari sekian bentuk- dakwah Islam, dengan menggunakan ungkapan-ungkapan autentik yang sesuai dengan tujuan-tujuan luhur Islam serta menjauhi berbagai teori dan aliran sastra asing di seluruh penjuru dunia. Sastra Islam adalah seni ekspresi bahasa tingkat tinggi tentang manusia, kehidupan alam semesta dalam bingkai konsep Islam.
Disamping gambaran tugas di atas, para pekerja seni sastra Islam juga mengemban misi menampilkan keagungan Islam dalam matra kebenaran, kebaikan dan keindahan. Karena kebenaran adalah tujuannya, kebaikan adalah jalannya dan keindahan adalah tempat lahirnya getaran emosional.18
Kesenian dengan syair sebagai bagian terpenting di dalamnya, sebagai media Dakwah Islam yang berisi penyampaian pesan-pesan keagamaan yang terdapat dalam syair-syar sastra lisan dalam masyakat Gayo.
Hal ini lebih didasarkan atas; karena seni dalam lingkup media komunikasi dan hiburan mempunyai kaedah tersendiri, tidak menggurui tetapi dapat menyentuh hati nurani dan logika, etika seni dalam kaitan ini mencerminkan keimanan yang berdasarkan tauhid, tata aturan hukum Islam dan akhlak yang islami, dan ditambah pula dengan pesan-pesan yang memberikan dorongan kepada umat untuk selalu meningkatkan perwujudan akhlak mulia.
Namun demikian jika seni digunakan sebagai media komunikasi keagamaan maka seni pun harus mengacu pada prinsip etika seni Islam, tentu dengan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip seni itu sendiri.
Hal tersebut karena Alquran mengajarkan bahwa ketika ia menggunakan sastra manusia itu, kendatipun disana ada rahasia Ilahiyah yang tak mampu tersingkapkan oleh manusia secara tuntas kerana berada di luar jangkauannya.19
Karena selain seni bertujuan menimbulkan kesenangan yang bersifat estetik dan menurut konsepsi Islam harus dipadukan dengan etika. Tertariknya manusia kepada keindahan, dimanfaatkan oleh seniman agar karyanya mendapat respons oleh masyarakat selaku penikmat sekaligus audiens. Seni mengandung daya tarik dan karenanya dimanfaatkan untuk mendapat respons positif.20
Demikian, proses transfer of felling (pengalihan persaan) dalam hal ini termasuk juga pengalihan pesan dari komunikator kepada komunikan dan mengaitkannya dengan inti dari proses sebuah Dakwah Islam yaitu; pengalihan pesan dakwah kapada penerima dakwah, setiap jenis kesenian dapat menjadi media yang baik untuk mencapai keberhasilan pengalihan pesan.
Karena pengalihan perasaan dalam kesenian adalah juga peralihan nilai dan peralihan pesan, baik itu nilai estetika sebuah kesenian maupun pesan yang terangkum di dalamnya, baik berupa norma-norma dari sistem budaya, ajaran agama, pengetahuan dan lain sebagainya.
Dengan demikian komunikasi Islam dalam seni juga berisi ajaran-ajaran dari agama Islam. Adapun kekuatan penyampaian informasi melalui seni secara sederhana dapat dilihat dari peran kesenian tersebut baik sebagai media, ekspresi, hiburan dengan segala pesan-pesan agama dan budaya yang di dalamnya, secara langsung telah mempengaruhi para penikmat kesenian tersebut, pemahaman dan proses transper nilai.
Unsur pesan lainnya adalah audien, yaitu orang yang menjadi sasaran atau objek komunikasi yang menerima suatu misi dakwah. Semua pandangan diarahkan kepada orang yang tidak ahli disertai dengan cara dan metode yang memungkinkan materi atau misi dakwah itu dapat diterima, tentu dengan menyesuaikan dengan kondisinya agar diketahui secara persis ketepatan situasi dan kondisi pribadi maupun lingkungan,21 karena dalam komunikasi Islam sendiri ada beberapa kemungkinan sebagaimana interaksi komunikasi pada umumya, diterima atau ditolak.
Diterima tanpa diikuti perbuatan, diterima hanya sebatas pengetahuan atau diterima sebagai hikmah dan pengetahuan sekaligus diamalkan.
Pesan komunikasi ditolak sebagai akibat kurangnya pengertian terhadap kejiwaan orang yang menjadi objek komunikasi. Sebab dakwah merupakan proses yang mempunyai dua arah, yang didasarkan kepada upaya mengetahui kejiwaan manusia dan kesiapannya menerima isi pesan itu sendiri.
Maka dari itulah mengetahui orang yang menjadi objek komunikasi merupakan inti hikmah dalam berdakwah kepada Allah SWT. Tidak mengherankan jika cara dan topik pesan harus selalu berubah-ubah setelah mengetahui karakter objek penerima dakwah. Maka kitapun akan mengupas sikap-sikap aplikatif dari sirah Nabi Saw. yang menonjolkan cara memilih yang baik dalam pelaksanaan dakwah dengan berbagai sisi positifnya.
Dalam ajaran Islam melakukan dakwah wajib bagi siapa saja tanpa memandang profesi. Dalam hal ini seni yang diperankan oleh para seniman muslim masih dalam jalur Islam maka otomatis ekspresinya akan merangsang gairah dakwah baik bagi dirinya sendiri maupun masyarakat.
Hal ini berarti juga bahwa pendekatan dakwah bisa dilakukan dengan berbagai cara, sebab dakwah merupakan lapangan bagi muslim kaffah. Disinilah letak fungsi kesenian sebagai salah satu media komunikasi, yakni melakukan transfer pesan amar ma`ruf nahi munkar.
Khusus bagi pelaku seni, secara esensi berupaya melahirkan suatu yang terbaik bagi masyarakat. Menyeru dan mengajak kepada hal yang secara umum dapat bermanfaat bagi kehidupan sosial.
Adapun bentuk keseniannya sendiri tidak dilarang untuk mengembangkannya, yang terpenting adalah tujuan, subtansi dan fungsinya.
Orang Arab dulu membuat gubahan sajak dalam syair seperti Mausyihat (syair bebas Andalusia) dan yang lainnya. Untuk itu tidak masalah menerima gubahan yang baru pada syair kontemporer seperti puisi bebas, jika dijamin sejalan dengan syariat. Media informasi tidak lagi membutuhkan bahasa yang asal-asalan, karena masyarakat dididik dengan bahasa jurnalistik yang dibacanya setiap hari.
Baca Juga : Tari Saman Sebagai Media Komunikasi dan Seni Islam (Bag. 1)
*Dipetik dari buku “Para Penabuh Tubuh, Sehimpun Tulisan Perihal Saman Gayo”. Editor: Michael HB & Dede Pramayoza. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sekretariat Derektorat Jendral Kebudayaan RI, Lintang Pustaka Utama Yogyakarta, 2019. Halaman 150-173.