Muchlis Gayo, Calon Ideal Bupati Aceh Tengah 2024

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Beberapa waktu yang lalu, sebuah media lokal menampilkan delapan profil tokoh pilihan warga yang dipandang pantas menjadi bupati Aceh Tengah pada Pemilu 2024 mendatang.

Nama-nama para tokoh tersebut sudah cukup dikenal di Aceh Tengah, mulai dari bupati incumbent, wakilnya, politisi, mantan pejabat sampai tokoh muda.

Kedelapan nama-nama itu adalah Karimansyah yang merupakan mantan SEKDA Aceh Tengah, lalu Alamsyah Mahmud Gayo yang berdomisili di Jakarta, Shabela dan wakilnya Firdaus, Muchsin Hasan, Bardan Sahidi, Alaidin Abu Abbas dan tokoh muda Zamzam Mubarak yang beroposisi pada pemerintahan Shabela Abubakar.

Nama-nama di atas rasanya memang cukup populer di Aceh Tengah, tapi menurut saya, selain kedelapan nama itu, ada satu nama penting yang luput dari amatan masyarakat, padahal saya pikir sebenarnya dialah yang paling pantas memimpin Aceh Tengah tahun 2024, Muchlis Gayo.

Kenapa Muchlis Gayo?

Meski kalau kita tanyakan pada orang yang pernah kenal atau bekerja dengannya, pasti ada saja suara sumbang yang diarahkan kepadanya. Demikian juga kedelapan nama di atas, kalau mau dicari salahnya, pasti ketemu juga.

Jadi di sini saya tidak akan membahas persepsi negatif segelintir orang pada sosok ini, tapi saya akan mengulas mengapa saya katakan Muchlis Gayo adalah sosok tepat untuk memimpin Aceh Tengah di periode mendatang.

Ada banyak alasan kenapa saya menilai sosok ini cocok untuk memimpin Aceh Tengah.

Alasan pertama adalah visi.

Selama ini, saya perhatikan, sejak Mustafa M. Tamy selesai menunaikan tugasnya sebagai bupati, kita tidak lagi melihat ada sosok bupati yang benar-benar punya visi tentang bagaimana Aceh Tengah ke depan yang tidak hanya terpaku pada Kopi sebagai sumber penghasilan utama, melainkan juga sektor jasa. Mulai dari Pendidikan, Kesehatan sampai pariwisata.

Sebagaimana galib diketahui di Aceh Tengah, Mukhlis Gayo adalah satu di antara kalau tidak bisa dikatakan satu-satunya pemodal asal Gayo yang berdomisili di luar daerah yang mau kembali ke daerah asal dan menginvestasikan uangnya untuk sektor-sektor penting yang menjadi masa depan sumber ekonomi Aceh Tengah.

Kita mulai dari sektor Pendidikan, Mukhlis Gayo mendirikan SMA 1001 dulu menjawab absennya sekolah swasta berkualitas di Gayo, kemudian mendirikan sekolah perawat dan untuk pariwisata mendirikan Hotel Linge Land.

Selain itu, usaha lain yang dibuka oleh Muchlis Gayo juga dilandasi semangat kemandirian Gayo adalah usaha batu bata, karena meski sebelumnya ada usaha batu bata di Ujung Temetas, tapi mayoritas batu bata yang jadi bahan baku utama bangunan di Aceh Tengah masih didatangkan dari luar daerah. Melihat kondisi ini Muchlis Gayo membuka usaha batu bata di genting. Usaha tersebut sampai sekarang masih beroperasi dan menghidupi 800 keluarga.

Satu hal lagi yang mungkin tak banyak disadari orang, alat transportasi paling efektif di Takengen saat ini, becak.

Bagi yang besar di Takengen pada masa 80-an dan 90-an, tentu masih ingat kalau dulu, yang dinamakan becak di Takengen adalah becak barang yang didayung, tidak ada namanya becak pengangkut orang.

Mungkin tak banyak yang sadar, fenomena menjamurnya becak motor saat ini berawal dari inisiatif Muchlis Gayo yang membeli becak sebanyak 4 unit dari Belang Kejeren, yang mana inisiatifnya ini kemudian menjadi contoh dan diikuti banyak orang.

Terus terang, sejauh ini saya belum melihat para pemilik modal asal Gayo yang berada di luar daerah yang pernah melakukan seperti yang dilakukan oleh Muchlis Gayo.

Disamping usaha yang bersifat bisnis dan meski ideal tapi juga menghasilkan keuntungan ini, Muchlis Gayo tanpa disadari banyak orang juga secara diam-diam dengan uang pribadi tanpa mencari keuntungan, menstimulasi masyarakat Aceh Tengah untuk berkerja mandiri.

Ini bisa dilihat dari aksi Muchlis Gayo untuk mendorong rekaman lagu Gayo dan produksi VCD dengan memberikan alat shooting senilai 7 juta kpada juru foto Amin Belang Kolak I, berkat stimulus ini, belakangan -orang mulai mencontoh dan sekarang usaha inipun diikuti banyak orang dan tumbuh seperti jamur di musim hujan.

Muchlis Gayo juga pernah mengirimkan 17 orang sarjana untuk magang di koperasi-koperasi di Pulau Jawa selama 3 bulan, dan itu semua dibiayai dengan dana yang keluar dari kantong Muchlis Gayo sendiri, dengan harapan bahwa para sarjana itu akan kembali ke Aceh Tengah untuk mengembangkan koperasi. Mempelopori pendirian Dekopin Aceh Tengah yang pertama di propinsi Aceh.

Selain itu, setelah saya telusuri, ternyata ada banyak mesjid yang dibangun dan dibantu pembangunannya oleh Muchlis Gayo.

Baik itu dengan uang yang keluar dari kantongnya sendiri, berkisar antara 10 sd 75 % dari total anggaran pembangunan, maupun yang dibangun dengan 100% dana Banpres hasil lobinya di pusat.

Mesjid-mesjid ini menyebar di seluruh Kabupaten Aceh Tengah sebelum dimekarkan dengan Bener Meriah.

Apa yang ingin saya sampaikan dengan “mengungkit” segala hal yang dilakukan oleh Muchlis Gayo ini adalah untuk menunjukkan, bagaimana seorang Muchlis Gayo dengan kemampuan pribadi dan uangnya sendiri telah berbuat begitu banyak dan begitu visioner untuk Aceh Tengah. Yang mana tentu saja sangat terbatas dan kurang efektif.

Saya membayangkan, bagaimana luar biasanya seandainya ide-ide dan visinya ini didukung oleh anggaran negara berupa APBK Aceh Tengah dan didukung oleh tim kerja para ASN di lingkungan Pemkab Aceh Tengah yang sebenarnya sangat banyak memiliki kemampuan mumpuni, tapi kurang dipercaya dan tidak ditempatkan pada posisi yang sesuai keahlian yang bisa mengoptimalkan potensinya.

Kemudian yang tak kalah penting, pengalaman Muchlis Gayo sebagai pegawai pusat dan daerah membuatnya memiliki keunggulan yang susah didapat pada tokoh-tokoh Gayo termasuk delapan orang tokoh yang digadang-gadang oleh sebuah media berada di garis terdepan pacuan menuju bupati Aceh Tengah 2024.

Dengan pengalaman ini, Muchlis Gayo jelas tidak gagap untuk melakukan lobi-lobi ke pusat, sekaligus juga sangat paham kondisi dan karakter masyarakat Aceh Tengah, karena dia memang berdomisili di Aceh Tengah.
Apalagi kalau melihat latar belakangnya, saat masih di Jakarta disamping pegawai kantor presiden juga sebagai Dosen Anthropologi Budaya, Pancasila dan IBD dengan pangkat akdemik Lektor, otomatis dia memiliki pemahaman yang kuat tentang kondisi Aceh Tengah yang plural multi etnis, bagaimana cara mengelolanya.

Selanjutnya, Muchlis Gayo meski secara kronologis usia sudah cukup matang, tapi secara karakter sosok ini saya pikir cukup progresif.

Berbeda dengan rata-rata para pejabat dan mantan pejabat yang ada di Gayo yang anti kritik. Muchlis Gayo yang saya tahu sangat terbuka terhadap kritik dan masukan.

Contohnya saya alami sendiri terkait ulang tahun Kute Takengen.

Saya adalah salah seorang yang paling vokal mempertanyakan keabsahan tanggal, bulan dan tahun kelahiran Kute Takengen yang dulu diusulkan oleh Muchlis Gayo dalam kapasitasnya sebagai Kadis Pariwisata.

Tapi ketika kami bertemu muka dan saya secara berterus terang mempertanyakan dasarnya, Muchlis Gayo dengan besar hati mengatakan kalau dulu penetapan hari jadi Kute Takengen itu, sangat terbuka untuk dikoreksi karena tujuan utama penetapan itu adalah untuk membuat satu hari yang bisa dijadikan sebagai perayaan, pesta rakyat untuk menunjang kegiatan pariwisata. Nanti, ketika ada dasar yang lebih logis dan punya landasan, hari ulangtahun itu bisa diganti sebagaimana yang terjadi pada kota Medan.

Kemudian kedua, saya juga dulu memprotes keras pembuatan Grafiti Gayo Highland yang menurut saya kebarat-baratan, unung-unung Hollywood, karena menurut saya lebih pas dibuat Tanoh Gayo, dan kemudian kita ketahui Bersama, di bawah tulisan Grafiti itu ditambahkan “Tanoh Gayo” bernuansa merah putih dan kemudian ini terbukti menjadi pemandangan ikonik Kute Takengen yang kemudian ditiru oleh Kuta Cane.

Kebesaran hati dalam menerima kritik seperti ini saat ini adalah hal yang sangat langka kita temui di antara tokoh-tokoh di Gayo, termasuk di antara calon-calon potensial yang akan bertarung dalam kontestasi pemilihan bupati Aceh Tengah dan Bener Meriah di tahun 2024 mendatang. Tidak peduli apakah sang tokoh berusia muda atau tua.

Kebanyakan calon yang ada bermental, “ aku si paling” yang membuatnya merasa masukan dari luar adalah sebuah pelecehan.

Tipe pemimpin model begini jelas tak bisa diharapkan untuk membawa kemajuan bagi Gayo.

Sayangnya, sampai saat ini saya lihat hal-hal seperti ini kurang sekali tersampaikan ke masyarakat.

Masyarakat pemilih di Aceh Tengah justru dibuat silau dengan polesan citra tokoh-tokoh yang digadang-gadang sebagai calon bupati.

Masyarakat dibuat terkagum-kagum pada kulit, tanpa diedukasi tentang pentingnya kualitas isi. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.