Masa Depan Anak Karena Perceraian Orang Tua

oleh

Oleh : Dr. Jamhuri Ungel, MA*

Perbuatan cerai atau putusnya perkawinan baik dengan sebab talak (suami menceraikan istri) atau karena fasakh (istri minta diceraika), baik itu perceraian yang terjadi di depan Mahkamah atau juga terjadinya percerai di luar Mahkamah karena waktu menikah tidak dicatat.

Semua proses itu berakibat pada masing-masing yang terlibat dalam ikatan perkawinan terlebih kepada anak-anak.

Diantara akibat putusnya perkawinan adalah keluarnya istri dari rumah suami, karena dalam pemahaman ulama fikih katika istri tinggal atau mengikat perkawinan dengan aqad maka sejak itu suami berkewajiban memberi nafkah berupa makanan dan pakaian kepada istri ditambah lagi dengan tempat tinggal, dan sejak itu pulalah istri tidak lagi mempunyai ikatan tanggung jawab dengan orang tua atau walinya.

Ulama mewajibkan suami memenuhi kebutuhan istri sesuai dengan kesanggupan dan juga dengan mempertimbangkan kebutuhan istri, ini dipahami dari kata ma’ruf yang ada di dalam al-Qur’an.

Baca Juga : Anak dan Perceraian Orang Tua

Kewajiban suami ini berlangsung selama dalam ikatan perkawinan, selama ini juga istri tidak lagi bebas berbuat untuk memenuhi kebutuhan dirinya apa lagi untuk memenuhi kebutuhan orang lain.

Padahal bila kita baca dalil-dali nash terlebih al-Qur’an tidak ada pernyataan yang tegas kalau nafkah itu harus dari hasil kerja suami, dan juga tidak ada larangan yang tegas kalau nafkah itu tidak boleh berasal dari harta istri. Dalil yang digunakan ulama tentang kewajiban nafkah suami kepada istri dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233.

“…Wa ‘alal mauludi lahu rizquhunna wa kiswa tuhunna bil ma’ruf” (Art. Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para istri dengan ma’ruf)

Sebenarnya ayat ini ditujukan kepada para istri yang telah cerai dari suami dan masih menyusui anak, karena untuk kebutuhan anak maka suami berkewajiban memberikan nafkah kepada istri, apa bila istri tidak mau menyusui anak maka suami tidal lagi berkewajiban memberi nafkah, dan nafkah akan dialihkan menjadi upah mereka yang menggantikan menyusui anak.

Semenjak selesainya menyusui anak dalam waktu maksimal dua tahun atau boleh juga tidak sampai duan tahun, maka hubungan istri dengan dengan ayah si anak berakhir dan kalau mau dilanjutnya hubungan tetap melalui anak.

Artinya bila istri mengasuh dan merawat anak setelah menyusui setelah perceraian maka istri akan mendapatkan nafkah ayah si anak dan bila tidak engasuh dan merawat anak maka hubungan akan berakhir dan istri akan hidup sendiri.

Dalam kondisi putusnya hubungan antara suami dan istri maka pendapat Abu Hanifah tentang syafaqah yaitu rasa kasihan terhadap nasip anak menjadi sangat penting.

Untuk menyikapi rasa kasihan ini Abu Hanifah mengatakan bahwa pemeliharaan anak sampai ia dewasa lebih baik diserahkan kepada ibu dan bila ibu tidak ada maka lebih baik dilanjutkan pengasuhannya oleh keluarga ibu, pertimbangan ini didekati dari kedekatan ibu dengan anak dan kedekatan keluarga ibu dengan anak disbanding dengan kedekatan bapak dan keluarga bapak dengan anak.

Berbeda halnya dengan mazhab Syafi’i, mereka berpendapat bahwa untuk kepentingan masa depan anak setelah perceraian orang tua maka sebaiknya perawatan dan pemeliharaan didiskusikan dengan baik, apakah anak itu dipelihara atau dirawat oleh ibu atau ayah.

Ulama fiqih ahli hukum keluarga Abu Zahrah memberi penjelasan bahwa arti mendiskusikan kepentingan masa depan anak adalah menanamkan harapan orang tua kepada anak.

Bila orang tua berharap anaknya satu saat akan menjadi orang yang bersikap lemah lembut atau berharap anak bisa menjadi guru, perawat kesehatan atau seorang dokter maka hendaklah anak dirawat dan diperlihara oleh ibu dan apabila orang tua berharap anaknya akan menjadi arsitek, tentara, polisi pilot dan lain-lainnya yang memerlukan ketegasan maka anak sebaiknya dirawa dan dipelihara oleh bapak.

Dari apa yang telah diuraikan di atas dapat dipedomani bahwasanya bagi anak tidak ada kehilangan orang tua kendati kedua orang tuanya sudah bercerai, untuk kebutuhan si anak semenjak anak itu dalam masa susuan harus didiskusikan antara ayah dan istrinya.

Kalau ibu mau menyusui anaknya sampai dua tahun sangat dianjurkan oleh Allah dan bila dengan kenyusui tersebut membuat ibu merasa kesusahan maka istri boleh berdiskusi dengan ayah dan kalua ibu merasa keberatan untuk menyusui anaknya maka ayah mencari solusi yang lain dengan cara mencari ibu susuan.

Demikian juga berkaitan dengan kebutuhan anak selanjutnya, walaupun orang tua sudah bercerai maka kepentingan anak selalu lebih utama, tentu kalau ibu yang merawat dan memelihara maka ayah tetap berkewajiban memberi nafkah kepada anak dan memberi biaya perawatan kepada istri sebagai ibu dari anak-anak dan bila bapak yang merawat maka dengan sendirinya nafkah menyau dalam nafkah terhadap diri seorang ayah.

*Ketua Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.