Janji Allah Itu Pasti

oleh

Oleh : Agung Pangeran Bungsu M.Sos*

Kebaikan tidaklah selalu berupa materi dengan nominal-nominal tertentu layaknya dalam sebuah proses transaksional. Lebih dari itu semua kebaikan memiliki arti mendalam melebihi nilai-nilai tertentu dalam pandangan individu. Jumlahnya tidak melulu dapat diukur dengan neraca maupun timbangan.

Dalam memahami konteks kebaikan maka nalar manusia semata tidak cukup bahkan tidak mampu mendefenisikan arti dari sebuah kebaikan.

Ada yang hanya mampu menebar kebaikan lewat senyuman, menebarkan salam pada sesama ada yang diberikan kelebihan lewat harta lantas menebar kebaikan dengan kelebihan hartanya. Namun yang pasti kebaikan bukanlah sebatas angka yang berujung sebagai pembeda pada yang lebih berada.

Publik sempat dihebohkan dengan musibah meninggalnya anak dari tokoh nasional gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil beberapa bulan silam. Media lokal, nasional bahkan internasional ikut memberitakakan betapa kesedihan yang dialami oleh keluarga.

Tidak dapat dipungkiri bahwasanya kebaikan adalah jawaban dari pertanyaan yang tidak dapat dipisakan dengan begitu saja dari mendiang anak sulung Ridwan Kamil. Apa amalan kunci yang biasa dia lakukan semasa hidupnya, wallahu a’lam. Siapa sangka undangan khusus bagi keluarga Ridwan Kamil dari kerajaan Arab Saudi untuk melaksanakan haji pada tahun ini.

Berbanding terbalik dengan kasus yang masih segar dalam ingatan para pembaca yaitu kasus pembunuhan berencana pada almarhum Yoshua oleh atasannya sendiri. Siapa sangka Jenderal polisi dengan kehebatan, kegagahan bahkan kedudukannya sendiri yang menghancurkan karir dan kebahagiaan keluarga dan masa depannya.

Begitu pula pertanyaan yang terlintas pada peristiwa ini? apa saja kebathilan yang telah dilakukan selama berkuasa, wallahu a’lam. Apapun alasannya semua telah terjadi. Nyawa yang telah pergi tidak dapat tergantikan lagi. Entah apa yang ada di benaknya hingga tega menghabisi nyawa seseorang dengan mudahnya.

Lantas bagaimanakah cara kita memandang kedua peristiwa diatas. Tentunya kebaikan dan kejahatan tidak akan pernah tertukar? Dalam Al-Quran Allah ta’ala berfirman

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلامٍ لِلْعَبِيدِ
Barang siapa yang mengerjakan amal yang saleh, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-(Nya).(Fushshilat 46)

Dalam tafsir Al-Azhar karangan Buya Hamka Jilid-8 dijelaskan tentang ayat diatas “Mana yang telah engkau ketahui dengan yakin, sesudah engkau lihat contoh teladan yang baik dengan sanak saudaramu, kerjakanlah itu. Amal yang baik, hasil dari usaha sendiri, hasil dari pengalaman dan percobaan sendiri, keuntungannya bukan buat orang lain, melainkan buat diri sendiri.

Dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka dosanya atas dirinya. Disini jelaslah bahwa kita sudah dipersilahkan memilh, jika kita mau yang baik, yang untung ialah kita. Berbuat jahat yang rugi kita juga, tidak pula orang lain. Sebab itu timbanglah dan halusilah baik-baik. Sebab, sekali-kali tidaklah Tuhan engkau akan berlaku zalim (aniaya) kepada hamba-hamba-Nya.

Maka laku perangai kitalah, sesudah dipertimbangkan dengan akal yang jernih dan budipekerti yang luhur yang akan menentukan nasib kita, buruknya dan baiknya. Janganlah Tuhan disesali. Sebab sejak semula nasihat dari Tuhan sudah sangat cukup.”

Tidak ada nasihat yang lebih mulia selain dengan menasihati diri untuk memperbanyak mengingat kematian. Para pujangga menyebutkan bahwa dunia adalah panggung sandiwara yang sejatiya setiap orang sedang memainkan perannya masing-masing dengan cara dan gayanya sendiri.

Tetaplah kebaikan semasa hidup yang akan diingat oleh para penonton dan tentunya setiap aktor akan menemui janjinya pada Ilahi Rabbi yaitu Allah ta’ala. Wallahu a’lam bish shawab. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.