Asal Usul “Tube”

oleh

Oleh : Dinika Yusuf*

Soal cerita suami saya seperti “swalayan berjalan.” Ia punya segudang pengalaman yang tidak sempat ditulisnya. Saya mohon izin kepadanya untuk menyusunnya dalam bentuk tulisan versi saya.

Suami menyarankan, sebaiknya dalam menulis harus ada spesialisasi, meskipun kita serba bisa dalam semua bidang agar tulisan berkarakter. Selanjutnya saya “mendakwakan” diri untuk mengkhususkan menulis kisah-kisah “misteri” di luar nalar manusia.

Kali ini saya merangkum cerita suami tentang asal usul “tube” atau “racun” atau “mutube” yang merupakan istilah praktik ilmu hitam dengan tujuan untuk mencelakai orang lain; baik atas dasar kedengkian maupun suruhan orang lain.

Sudah menjadi pengetahuan bersama, orang yang terkena “tube” bisa menderita sakit. Sasaran dan korban orang mutube adalah orang-orang yang lemah. Seperti anak-anak dan orang dewasa yang tidak bisa berfikir secara paralel serta orang-orang lemah dari sisi pengetahuan agama.

Di kampung sering kita melihat tiba-tiba mulut anak-anak bengkak dan selingkar matanya hitam serta berhalusinasi karena suhu badannya terlalu tinggi. Namun begitu kita tidak boleh menuduh tanpa bukti bahwa penyakit itu akibat ulah orang “mutube” di sekitar kita.

Baru-baru ini di Kampung yang tidak pantas saya sebut namanya, satu keluarga terpaksa pindah hanya karena ungkapan “mutube”. Ceritanya seorang anak kelas 3 SD bermain ke rumah tetangganya.

“Benarkah Bapak mutube?” tanya anak itu.

“Siapa yang bilang” tanya tetangganya.

“Bapak saya” kata anak itu.

Tanpa fikir panjang, tetangganya melaporkan kepada polisi dan akhirnya orang tua anak itu didenda dengan sejumlah uang dan khawatir terjadi hal yang tidak baik di kemudian hari terpaksa seluruh keluarga anak kecil itu pindah dari kampungnya.

Banyak pelajaran atau hikmah yang bisa kita petik dari peristiwa di atas. Di antaranya, sebelum kita mengeluarkan kata-kata hendaknya difikirkan dulu dampaknya, kemudian apakah soal yang demikian tidak bisa diselesaikan di tingkat kampung saja? Saya tidak ingin membahasnya terlalu jauh karena itu sudah masuk ranah hukum atau adat di kampung.

Sebagaimana pembaca, saya penasaran, bagaimana tube bisa ada? Berdasarkan cerita masyarakat kepada suami yang pernah tinggal di pinggir hutan, menurutnya, ada kepercayaan semakin banyak mencelakai orang, semakin baik bagi dirinya dan hasil panen sawahnya akan melimpah, serta keyakinan itu diturunkan kepada anak cucunya.

Masih menurut cerita masyarakat kepada suami bahwa “tube” itu ada dengan meritualkan bayi yang baru saja meninggal. Sehingga orang-orang tua di kampung kalau ada bayi yang meninggal akan mencampur tanah kuburannya dengan pecahan kaca dan ada juga yang dijaga selama 44 hari agar tidak digali oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Orang yang berhasil mendapatkan bayi itu akan membawanya ke pinggiran hutan, berbatas dengan kebun masyarakat, yang merupakan tempat kesukaan jin dan hantu. Lalu orang itu menyalakan api unggun dan memanggang bayi itu dengan posisi kepala ke bawah.

Kemudian orang itu pun menari dalam keadaan telanjang bulat tanpa sehelai benangpun melekat di badannya sambil mengitari api unggun yang memanggang bayi itu dengan merapalkan mantra-mantra tertentu sampai bayi itu tertawa. Kemudian orang itu menampung minyak yang keluar dari tubuh bayi tersebut yang dijadikan “tube.”

Cerita ekstrem di atas terjadi akibat sikap keputusasaan pelaku karena himpitan ekonomi dan dikucilkan oleh masyarakat. Sehingga orang itu berbuat nekad dan tidak berfikir telah menabung dosa besar karena menyekutukan Allah atau syirik.

Tentu saja tidak fair kalau kita hanya menyalahkan orang “mutube” tanpa memberi solusi, yaitu dengan pendekatan budaya berdasarkan agama Islam yang kita anut, termasuk pemberdayaan ekonomi karena berdasarkan Sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Na’im: “Kemiskinan itu dekat kepada kekufuran.”

(Teritit, 30 Juni 2022)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.