Bukan Keunggulan dan Kemurnian Ras, Peradaban Maju Karena Kemampuan Kerjasama

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Peradaban manusia sudah sedemikian majunya sekarang. Saya yang sekarang kerap melakukan video call dengan anak dan istri di Bali, kadang tersenyum sendiri ketika membayangkan masa kecil saya di awal tahun 80-an saat saya seusia si bungsu, Nami.

Ketika itu saya tinggal di Patok 80, kampung Fajar Harapan, terletak antara Bandar Lampahan dan Simpang Balik, kecamatan Timang Gajah yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Bener Meriah.

Saat itu, meski tiangnya ada yang menyalurkan listrik dari Bireuen ke Takengen. Kampung kami itu belum dialiri listrik. Keluarga saya, satu-satunya yang memiliki televisi di kampung ini. Televisi hitam putih 17 inchi yang dinyalakan dengan arus aki atau generator. Orang sekampung, tiap malam datang menonton ke rumah kami, melewati jalanan gelap dengan penerangan obor dari bambu yang diisi minyak tanah dan diberi sumbu. Lalu duduk di terpal kanvas untuk menutupi lantai tanah rumah kami.

Pada waktu itu, tiap bangun tidur, bulu dan bagian dalam hidung saya selalu hitam pekat penuh jelaga akibat asap lampu teplok minyak tanah yang menjadi lampu penerang tidur.

Di sekolah, ketika masuk pelajaran tentang kebersihan badan. Kami diajarkan untuk menyikat gigi menggunakan rumput tetusuk, arang atau pecahan bata merah yang digiling halus.

Di masa itu, jelas saya sama sekali tidak bisa membayangkan dalam bayangan saya yang paling liar sekalipun kalau, ketika saya punya anak yang usianya sepantaran dengan saya pada saat itu. Keadaan sudah berubah seekstrim ini akibat perkembangan teknologi.

Tapi meski begitu, bukan tidak ada masyarakat di dunia yang hidup seperti kehidupan saya pada awal tahun 80-an silam. Sampai saat ini kita masih bisa menyaksikan variasi kesenjangan peradaban.

Mulai dari yang paling maju yang menguasai teknologi informasi, elektronika bahkan ruang angkasa, sampai yang paling terbelakang, yang bahkan tak mengenal panah dan logam, sebagaimana orang-orang di Pulau Sentinel yang tak jauh dari Sabang, yang sampai hari ini masih bertahan hidup dengan alat dari batu.

Bahkan di negara beradab sendiri, kita bisa melihat berbagai kesenjangan. Inggris masuk ke abad industri pada abad ke-18, dan Indonesia baru pada abad ke-20. Amerika masuk ke abad luar angkasa pada abad ke-20, sementara kita, untuk saat ini masih dalam tahap mengkhayal.

Dari dulu manusia mencoba menjelaskan, kenapa perbedaan yang begitu senjang bisa terjadi. Awalnya, di masa lalu, manusia mencoba menjelaskan teori ini dengan teori RAS, teori ini sempat dipercaya orang dalam waktu yang lama sekali. Jaman dahulu, sistem kasta di India, salah satunya didasari oleh teori ini.

Teori ini kerap berujung tragedi, yang paling terkenal adalah pembantaian oleh Partai Nazi yang mengagungkan ras Arya sebagai ras manusia paling unggul, sehingga ditakdirkan untuk menguasai ras lain yang lebih rendah darinya.

Korban terbesar dari Nazi adalah Yahudi, meski Nazi juga sebenarnya menyasar ras lain non bule, tapi mereka keburu kalah oleh Amerika dan sekutunya. Sehingga, setelah Yahudi, mereka belum sempat membantai ras lain.

Tapi, Jared Diamond seorang geografis, ahli sejarah dan ahli burung asal Amerika sekaligus penulis beberapa buku, salah satunya Guns Germs and Steel yang meraih Pulitzer, membantah dengan telak teori itu. Dia menemukan, orang Papua, yang dengan keliru disangka oleh orang-orang yang berasal dari peradaban maju sebagai manusia dengan kecerdasan lebih rendah dibandingkan manusia dengan peradaban modern, menurut Jared Diamond, justru sebenarnya jauh lebih cerdas dibanding kita yang lahir dan tumbuh besar di kota.

Berdasarkan sebuah penelitian ditemukan, bahwa manusia yang hidup di negara maju, ternyata sama sekali tak lebih pintar dibanding orang yang lahir dan besar di pedalaman Papua. Menurut penelitian itu, kalau ada dua orang, satu dari Amerika dan satu dari Papua, diberi pendidikan yang sama, besar kemungkinan yang berasal dari Papua akan lebih unggul dari dari Amerika. Sebab, karena terbiasa hidup di alam liar membuat orang pedalaman Papua lebih kreatif dan mampu berpikir cepat.

Kemudian, dibandingkan orang Amerika, secara genetis orang Papua juga lebih unggul. Sebab di tempat mereka tinggal, dengan fasilitas kesehatan yang minim, hanya manusia-manusia dengan gen terbaik yang mampu bertahan hidup, sedangkan di Amerika, orang paling bodoh, bahkan yang memiliki keterbelakangan mental pun masih bisa hidup layak karena dibantu oleh departemen sosial.

Lalu, kalau orang Papua lebih pintar, mengapa Eropa dan Amerika jauh lebih maju daripada mereka?

Jawabannya adalah kerjasama.

Ternyata peradaban maju, bukanlah bertumpu pada kecerdasan dan keunggulan genetik dari sebuah bangsa, melainkan kemampuan bekerjasama saling mengisi dengan suku, etnis dan ras lain di dunia. Sebab, secerdas apapun seorang manusia, otaknya dan kapasitas mentalnya sangat terbatas. Kerjasama, melipatgandakan kemampuan ini sampai batas yang tak bisa dibayangkan.

Contoh, bagaimana manusia membuat pesawat terbang? Ini bukanlah karya satu manusia jenius yang mampu membuat 50 ton besi terbang. Tapi di sana terdapat kerjasama ribuan orang, mulai dari orang yang ahli tambang menambang logam, ahli metalurgi yang meleburnya, ahli aeronautika, ahli mesin, elektronik, biologi dan seterusnya. Semua saling mendukung untuk membuat pesawat bisa terbang. Mereka bahkan kadang saling tidak mengenal.

Sayap dibuat di China, mesin di Amerika, kursi kulitnya mungkin di Mojokerto dan seterusnya.

Kemampuan kerjasama inilah yang membedakan kita manusia dengan makhluk non manusia. Kemampuan kita bekerjasama dengan ribuan bahkan jutaan orang untuk membangun peradaban yang luar biasa sebagaimana kita nikmati saat ini.

Orang Papua di pedalaman, meski berdasarkan penelitian lebih cerdas dan lebih hebat dari orang Amerika, tapi karena alam dengan kondisi geografis yang sulit membuat mereka terisolasi, membuat mereka terhalang untuk bisa bekerjasama secara luas dan setara dengan saudara-saudaranya yang lain sesama manusia penghuni planet ini. Mereka tak mampu berbuat banyak untuk memajukan peradaban mereka.

Kenapa sebuah wilayah menjadi maju ketika akses jalan dibuka? Jawabannya karena akses jalan yang dibuka, membuat masyarakat di wilayah itu jadi mampu bekerjasama dengan jauh lebih banyak manusia dengan kemampuan dan keahlian yang lebih beragam, sehingga mereka tak lagi harus melakukan dan memikirkan segalanya sendirian.

Jadi sudahlah, tak usahlah mengagung-agungkan keturunan dan kemurnian ras. Apalagi kita orang Gayo ini tak sampai sejuta dengan kecerdasan rata-rata saja, sebagaimana suku-suku dan etnis lain di dunia.

Sehebat apapun suku kita, kita takkan kemana-mana dan tetap tertinggal dalam segala hal, kalau kita tak mampu bekerjasama dengan etnis, bangsa dan ras lain sesama manusia penghuni planet bumi ini.

Berhentilah menjadi petukel yang sesire mujorol mubungei diri.

Kalau ada orang yang mengaku tokoh, di sebuah stasiun penyiaran milik negara berkoar-koar menggembar-gemborkan kehebatan semu yang sama sekali tak ada isinya. Tak usah terlalu dianggap serius. Cukup tertawakan saja. Sebab tertawa itu menyehatkan. Jauh lebih menyehatkan dibandingkan bermain-main dengan hukum negara. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.