TAKENGON-LintasGAYO.co : Seorang anggota DPRK Aceh Tengah, Khairul Ahadian diragukan kapasitasnya sebagai anggota DPR Aceh Tengah sebab Khairul Ahdian telah keliru atas pernyataan dirinya menyatakan “Tambang Tidak Mungkin ditolak, Aceh Itu istimewa harus buat regulasi” di salah satu media online.
“Khairul Ahdian itu keliru dan harus banyak membaca untuk mengupgrade pengetahuan dirinya, sebab pernyataannya tidak berdasar. Padahal Mahkamah Agung telah membatalkan Izin PT EMM di Beutong Ateuh Banggalang yang saat itu PT.EMM telah mendapatkan perizinan IUP OP dari Kementerian ESDM,yang beroperasi di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah Provinsi Aceh,” sebut Maharadi Aktivis Tolak Tambang Di Gayo.
Menurut Maharadi, Khairul Ahadian disinyalir merupakan gambaran diri yang pesimistik, berpangku tangan dan menujukan bukti bahwa selama proses pengurusan izin tambang dan demonstrasi berbagai kelompok masyarakat, dirinya tak berupaya melakukan penolakan.
Disampaikan lagi, tambang emas di Abong Linge kini telah diakuisi oleh Emiten tambang mineral Grup Bakrie, PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) dari PT. Linge Mineral Resoureces (LMR) dengan nilai mencapai 1,77 Triliun Rupiah, dengan luas lahan 36.420 hektar.
“Dan saat ini izin pertambangan masih diberikan pada tahap izin eksplorasi dan Tahap proses penyusunan dokumen AMDAL. Harusnya Khairul Ahdian Bersama lembaganya ikut melakukan pengawasan bersama pemerintah daerah terkait penerbitan AMDAL ini, bukan malah bersikap pesimis,” tegas Maharadi, Rabu 12 Januari 2021.
Dikatakan lagi, Khairul Ahdian perlu memahami, luasan izin 36.420 haktare di berikan kepada perusahaan tambang itu akan berdampak serius terhadap lingkungan hidup, cagar budaya kerajaan Linge dan sosial budaya.
“Penambangan juga akan berdampak terhadap wilayah Kelola masyarakat linge, terdiri dari 1.640 ha lahan sawah,450 ha ladang dan 2.975 perkebunan,” kata Maharadi.
Lanjutnya, sesuai dengan Qanun Tata Ruang Aceh Tengah No 2 tahun 2016, empat desa yang berlangsung dengan tambang merupakan wilayah pemanfaatan daerah irigasi seluas 395 hektar.
Dalam Qanun itu juga ditetapkan Kecamatan Linge murapakan kawasan pengendalian daya rusak air meliputi Krueng Jambo Aye dengan panjang 8.816,10 Meter yang terletak di kecamatan Linge.
“Itu artinya, Kampung Reje Payung, Delung Sekinel, Kute Reje dan Owaq juga merupakan kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) dan sistem penyediaan jalur dan ruang evakuasi bencana. Keempat desa tersebut memiliki jumlah penduduk sekitar 2.373 jiwa, sekitar 1.115 merupakan perempuan,” sebut Maharadi.
“Artinya penambang emas di Linge dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem yang berpengaruh sangat luas mulai dari kehilangan biodiveritas, tangkapan air, situs budaya, sejarah dan penurunan produksi pertanian. Masyarakat sepanjang sungai Kreung Jambo Aye bergantung hidupnya terhadap sungai tersebut, sebab proyek penambangan emas itu murupakan Hulu sungai Jambo Aye,” tambahnya.
“Kalau boleh saya ajari beliau (Khairul Ahadian), pakai alasan itu untuk menolak tambang, gunakan hak anda untuk melakukan gugatan seperti apa yang telah digugatkan terhadap Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesia dan PT. Emas Mineral Murni (PT. EMM) oleh WALHI dan masyarakat Beutong Ateuh Banggalang beberapa waktu lalu,” lanjut Maharadi.
Menurut Maharadi, pernyataan Khairul yang menyatakan tambang tak dapat di tolak sangat berbahaya, terlebih pernyataan itu keluar dari mulut seorang anggota DPRK yang sejatinya perwakilan dari aspirasi rakyat. “Lebih-lebih pernyataan itu dilontarkan di media, harusnya dia hati-hati,” sebut Maharadi.
Dilanjutkan, Khairul Ahadian juga harus memahami dimana wilayah yang mungkin terkena dampak dari kehadiran perusahaan tambang ini, mulai dari kawasan hutan Leuser yang harusnya dilindungi.
“Kemudian, pemukiman masyarakat yang sudah menetap di daerah itu sebelum Republik Indonesia ini berdiri pada 17 Agustus 1945 silam. Lebih lagi, daerah Linge identik dengan jati diri dan kampung asal dari Urang Gayo,” tegas Maharadi.
Ia menilai, Khairul Ahadian juga memakai jurus buang badan, dimana seolah-olah lembaga DPRK 100% tidak memiliki kemampuan dan hak untuk mengupayakan penolakan tambang dengan melempar bola pada Pemerintahan di tingkat Provinsi. “Ini seolah-olah, Pemkab tak mau tau dan tak ikut campur masalah ini. Ini salah besar,” ungkap Maharadi.
[Darmawan]