[Bag. 5] Romansa Gayo dan Bordeaux : Ufuk Barat Indonesia

oleh

Novel Karya : Win Wan Nur*

Sore menjelang. Sang surya mulai bergerak turun, menuju peraduan. Sinar yang tadinya begitu panas menyengat, membakar kulit dan mengubah warna putihnya menjadi merah jambu atau coklat, sekarang terasa lebih nyaman, hangat dan bersahabat.

Angin sepoi-sepoi bertiup lembut membawa suasana sejuk dan segar, kontras dengan warna kekuningan daun-daun pepohonan di tepi laut di depan Hamdan Restaurant.

Dari balik pepohonan yang sebagian besar daunnya mulai layu dan rantingnya mengering akibat hujan yang enggan turun berbulan-bulan, membuat sisi selatan Pulau Seulako tampak semakin buram.

Sang surya sebentar lagi menghilang. Seluruh wilayah negara Repuplik Indonesia akan diselimuti gelapnya malam. Meski syahdunya perubahan warna langit dalam suasana peralihan siang menuju malam tetap terasa, tapi pemandangan tenggelamnya matahari tak dapat dilihat dari Iboih.

Sangat disayangkan…

Dalam suasana temaram perubahan sore menuju malam, Win berjalan melintasi jalan setapak dari beton menuju Hamdan Restaurant. Sore ini dia memakai kemeja flanel kotak-kotak dengan warna dasar merah yang seluruh kancingnya dibiarkan terbuka sehingga memperlihatkan dalaman kaos oblong putih.

Bawahannya celana kargo warna khaki dan sandal gunung merk Alpina. Gaya berpakaian serta bentuk wajah dan rambut gondrongnya, mirip tokoh Chavez y Chavez di film Young Guns II yang diperankan oleh aktor berdarah Filipina, Lou Diamond Phillips.

“Eh, udah datang, Dek?” sapa Rahma dengan ramah, ketika melihat Win masuk melewati meja di depannya. Dari nada suaranya, terbaca jelas kalau sikap ramah yang ditunjukkannya memang tulus.

“Iya, Kak,” sahut Win tak kalah ramah. Dia memang menghormati Rahma.

– Mau minum apa?
-Yang biasa aja, Kak.
– Teh setengah panas?

Win menganggguk.

Di Aceh, ‘teh setengah panas’ berarti teh manis hangat yang disajikan dalam gelas besar.

“Makannya?” tanya Rahma lagi.
“Nanti aja, Kak.” tolak Win sopan.

Rahma memang sudah mengenal Win dengan sangat baik. Tiga tahun lalu ketika Win pertama kali datang ke Iboih, dia menginap di salah satu bungalow milik Rahma.

Sejak saat itu, Hamdan Restaurant menjadi tempat langganannya. Selama masih ada bungalow kosong di tempat Rahma, Win tidak akan menginap di tempat lain. Karena itulah Rahma sudah paham selera anak muda asal Banda Aceh tersebut.

Win juga sangat mengenal Rahma, dia sangat respek kepada perempuan ini, selain baik, dalam pandangan Win, meski usia Rahma sudah tidak lagi muda, tapi gurat kecantikan masih terlihat jelas di wajahnya.

Kecantikan yang dia miliki bukan jenis kecantikan seperti yang dimiliki perempuan Sunda, Solo atau Jogja yang kenes, halus dan penuh kelembutan. Rahma memiliki kecantikan khas perempuan Aceh dengan gurat-gurat wajah tegas dan sinar mata yang memancarkan sikap kuat memegang prinsip…karakter yang bagi sebagian kalangan mengesankan sikap sedikit angkuh.

Sebagaimana layaknya rata-rata perempuan Aceh, sikap dan pembawaan Rahma sangat sopan dan bersahaja. Begitu pula gaya berpakaiannya. Tak pernah sekalipun Win melihat Rahma mengenakan pakaian yang menampakkan betisnya.

Win sering bertanya-tanya dalam hati, mengapa Rahma yang secantik dan sebaik itu belum menikah juga, di umurnya yang sudah kepala tiga?

Win sempat menduga-duga, apa mungkin di masa mudanya Rahma pernah patah hati? Atau laki-laki di daerah ini segan melamarnya akibat independensinya? Atau karena Rahma sudah keburu dicap jelek karena kegiatannya melayani turis asing yang dikenal dengan kebebasan perilakunya?

Entahlah. Win sendiri tidak pernah bertanya langsung pada Rahma.

Melihat Rahma, Win seperti melihat sosok seorang perempuan muda yang sangat dekat dengannya dan meninggalkan kesan mendalam bagi dirinya semasa kecil, ketika dia tinggal di Tiro, Pidie. Win memanggilnya dengan sebutan Kak Inong. 20 tahun lalu saat mereka terakhir mereka bertemu, umur Win baru menjelang lima tahun, sementara Kak Inong berumur sekitar lima belas tahun.

Rahma bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah tangga. Dia melongok ke bawah dan memberi instruksi kepada Maneh di dapur, lalu kembali duduk di balik meja.
Win mengambil satu kursi kosong, kursi plastik murah berwarna hijau seperti kebanyakan kursi dalam restoran. Dia menuju ke bagian restoran yang menghadap ke arah Selat Rubiah.

Sambil berjalan menenteng kursi, dia melemparkan senyum pada Gianna, perempuan Italia yang sudah sering berjumpa.
Berbeda dengan siang tadi yang relatif sepi, menjelang malam ini pengunjung Hamdan Restaurant, cukup ramai.

Selain Gianna dan Jack, di ruangan ini juga ada seorang seorang Jerman berambut pirang yang sudah sering Win lihat, tapi tak dia ingat namanya. Lalu ada Travis, seorang laki-laki muda asal Amerika berambut pirang dan bertelanjang dada, memperlihatkan otot lengan dan perut six packs yang terbungkus kulit tubuh kecoklatan.

Sejak tiba di sini beberapa minggu lalu, Travis selalu berjemur di bawah terik matahari. Setiap hari tanpa kecuali.

Di depan Travis duduk dua anak muda asal Swedia berusia akhir belasan atau awal 20-an yang baru tiba malam sebelumnya. Seperti Travis, dua pemuda Swedia ini juga berambut pirang. Mereka bernama Hakan dan Thomas yang baru tiba kemarin malam.

Hakan berambut lebat sedangkan Thomas memotong tipis rambutnya kurang dari satu senti dan menyisakan dua pilin rambut yang dijalin berbentuk ekor tikus, tepat di bawah pusar kepala, dibiarkan tumbuh panjang sampai ke leher.

Bersama Travis, kedua orang Swedia yang baru datang ini duduk di bagian utara restoran sejajar dengan tempat Win duduk. Win melihat mereka berdua sedang berbincang atau lebih tepatnya sedang digurui oleh si Amerika yang merasa sebagai senior di tempat ini.

Keduanya mendengarkan cerita Travis dengan penuh perhatian, seperti dua orang murid baru yang mendengarkan penjelasan ketua geng kelas dengan perasaan segan.

Mereka semua membalas senyuman Win dengan senyuman wajar dan cenderung basa-basi, kecuali Gianna yang membalasnya dengan lirikan nakal dan senyum menggoda.

Sejak Win tiba di Iboih dua hari lalu, sudah beberapa kali perempuan Italia ini bertingkah seperti itu. Win merespon sikap Gianna dengan cengiran serba salah yang terkesan kaku.

Tiba di tempat yang dia inginkan, Win langsung menaruh kursi dan duduk sambil menatap ke depan.

Belum lama Win duduk, Gianna datang menghampiri sambil menenteng Bir Bintang botol besar. Dia menyapa Win dengan diiringi tepukan kecil di bahu, “hai!”

Win menoleh.

“Hai,” balas Win dengan senyum kecut.

“Melamunkan apa?” tanya Gianna dengan nada sedikit genit. Pengucapan bahasa Inggris dengan logat Italianya membuat ucapan apapun yang keluar dari mulutnya benar-benar seksi karena terdengar seperti suara orang bernyanyi atau orang yang sedang membaca puisi.

Gianna pindah ke depan, sedikit di sebelah kiri Win. Dengan memunggungi Selat Rubiah, dia duduk di atas dinding restoran yang tingginya tak lebih dari satu meter.

“Ah tidak, cuma menikmati suasana sunset aja. Ya, teringat masa lalu juga,” jawab Win sekenanya. Nada suaranya terdengar malas, meski tetap sopan.

Entah tidak merasa atau tidak peduli dengan respon malas-malasan dari pemuda ini, dia terlihat bersemangat melanjutkan pembicaraan.

“Teringat pacar ya?” selidik Gianna. Lirikan matanya semakin genit.

“Bukan, cuma teringat masa kecil saja,” jawab Win dengan tawa hambar. Matanya melirik ke arah Jack yang memandang ke arahnya dengan sorot mata mengancam. Jack memang tidak menyukai Win dan dia sama sekali tidak menyembunyikannya.

Kehadiran mahasiswa asal Banda Aceh ini membuatnya tidak lagi menjadi satu-satunya orang berkulit sawo matang di tempat ini. Tadinya, ketika dirinya adalah satu-satunya pribumi yang berstatus turis, Jack merasa dirinya berada di kelas yang lebih tinggi dari pribumi lain di tempat tersebut.

Jack mengagumi semua orang berkulit putih yang ada di sini. Apa saja yang orang-orang itu lakukan, terlihat hebat di matanya. Travis adalah idola utamanya. Di matanya, apapun yang dilakukan si Amerika tinggi besar berotot kenyal ini terlihat hebat.

Cara bicara, cara makan, merokok bahkan gestur tubuhnya terlihat luar biasa di mata Jack. Digerakkan alam bawah sadarnya, Jack meniru apapun gerak-gerik dan penampilan Travis.

Sudah lebih dari seminggu Win ada di sini. Awalnya Jack menduga Win sama seperti wisatawan lokal lainnya. Berlibur ke sini untuk minta foto dengan turis asing dan menatapnya dengan pandangan kagum. Tapi dia tidak menyangka pribumi yang satu ini berbeda.

Win sama sekali tidak memandangnya dengan rasa kagum. Parahnya Bahasa Inggris Win sangat bagus, lebih bagus darinya. Win bisa mengobrol sendiri dengan turis-turis asing yang ada di sini tanpa perlu meminta bantuannya.

Dan yang sama sekali tidak bisa dia terima, bukan hanya pada dirinya, bahkan kepada turis-turis yang berasal dari pelbagai negara yang ada di tempat ini pun Win bersikap biasa saja. Anak baru ini mengobrol dengan mereka seolah-olah orang-orang berkulit putih itu adalah teman sekampungnya. Jack tidak suka.

Pendeknya, sejak Win datang, Jack tak lagi merasa istimewa. Bahkan Rahma dan pembantunya yang menurut pandangan Jack segan kepadanya, sekarang sudah berubah. Sejak Win ada di sana, kedua orang ini seolah memandang rendah dirinya.

Dan yang paling dibenci Jack dari semuanya, Gianna secara terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Win. Jack cemburu.

Sialnya, meskipun dadanya bergemuruh oleh rasa cemburu, Jack tidak bisa menyampaikan perasaannya itu pada Gianna. Sebab dari awal ketika mereka bersepakat menjalin hubungan, perempuan Italia ini tegas-tegas mengatakan bahwa hubungan mereka cuma sekedar untuk senang-senang saja.

Gianna pun mempersilahkan Jack berpaling kepada perempuan lain yang lebih dia sukai. Pokoknya, antara mereka tidak boleh ada perasaan saling memiliki.

Karena itu, satu-satunya yang bisa Jack lakukan untuk melindungi kepentingannya adalah menunjukkan sikap mengancam kepada Win. Pesannya jelas, jangan mencoba bermain gila dengan perempuan yang sudah ada dalam genggamannya. Maka setiap kali dia merasa Win mulai akrab dengan Gianna, lebih dari seharusnya, dia segera beraksi.

Sejauh ini Jack merasa ancamannya cukup dimengerti. Dalam pandangannya, Win cukup tahu diri untuk tidak mencoba-coba merebut perempuan Italia separuh baya yang dianggapnya sudah jadi miliknya ini. Anak muda itu selalu menjaga jarak dengan Gianna.

Sementara itu, sorot mata yang diarahkan Jack kepadanya dipahami dengan persepsi yang jauh berbeda oleh Win. Sorot mata itu mengingatkannya pada kejadian di masa kecil, saat dia masih duduk di bangku SD. Ketika itu dia sedang dalam perjalanan pulang sekolah melintasi tempat pembuangan sampah.

Win berpapasan dengan seekor anjing kampung kurus yang baru menemukan bungkusan daun pisang berisi sisa makanan basi yang baunya menyengat.

Mungkin karena sudah tidak makan beberapa hari, si anjing kampung menyantap sisa makanan basi itu dengan sangat lahap. Tapi waktu melihat Win melintas di dekatnya, binatang kelaparan ini menyangka Win akan merebut sarapan pagi yang sedang dia nikmati. Secara refleks anjing kampung ini menunjukkan reaksi mengancam.

Matanya melotot sambil memamerkan gigi-giginya yang tajam dengan moncong belepotan makanan basi bercampur kotoran.

Meski saat itu dirinya masih kecil, Win sangat paham kalau anjing kampung yang sedang kelaparan itu pasti merasa makhluk apapun tentu menyukai dan ingin menguasai makanan basi bercampur kotoran yang sedang dia santap.

Takkan pernah terbayangkan di benak si anjing tentang adanya kemungkinan bahwa orang lain justru merasa jijik melihat makanan yang menurutnya sangat nikmat itu. Win tahu kalau anjing itu tidak mungkin diberi pemahaman bahwa dirinya tak berselera melihat, apalagi merebut makanan basi bercampur kotoran yang sedang disantap sang anjing dengan lahap. Win memilih menghindar.

Sampai bertahun-tahun kemudian, memori tersebut masih tertanam melekat di kepala Win dan kadang muncul begitu saja tanpa diminta. Kalau sudah begitu perutnya biasanya langsung mual secara tiba-tiba.

Tatapan mata mengancam dari Jack, mengembalikan memori itu.
“Oh, dulu masa kecil kamu tinggal di tempat seperti ini?” Gianna terus bertanya dengan nada menyelidik. Membuyarkan bayangan di kepala Win, meski mual di perutnya masih belum hilang.

“Bukan, dulu yang seperti ini cuma aku baca di buku. Di tempat aku lahir tidak ada laut,” sahut Win dengan nada yang dijaga agar tidak terdengar sinis dan membuat tersinggung lawan bicaranya. Sebaliknya jangan sampai terdengar antusias sehingga Gianna betah di sana.

– Lho, tapi kamu bilang kamu dari Banda Aceh, kan?
– Iya, sekarang aku tinggal di Banda Aceh, tapi aku lahir dan besar di Gayo.
– Gayo? Di daerah mana itu?
– Masih di wilayah Aceh juga, tapi di bagian tengah. Daerah pegunungan. Di sana nggak ada laut.
– Ooo…

Win menjawab semua pertanyaan Gianna dengan nada datar sambil tetap menatap ke arah laut. Tampaknya ini berhasil membuat Gianna paham, kalau pemuda ini sedang tak mau diganggu. Dia tak lagi memperpanjang pertanyaan dan berbalik berjalan ke arah Jack, si gondrong kekar.

Win kembali duduk dengan sikap santai, menikmati perubahan suasana alam dari sore ke malam dengan tenang.
***

Baca juga :

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.