[Bag. 3] Romansa Gayo dan Bordeaux : Ufuk Barat Indonesia

oleh

Novel Karya : Win Wan Nur*

Hari itu, pukul 01.00 siang. Matahari bersinar terik. Dari dalam bungalow yang terletak tepat di tepi bagian timur jalan setapak rabat beton, beberapa puluh meter dari pintu masuk Hamdan Restaurant terdengar suara berisik bunyi derit papan yang ditingkahi erangan dan deru nafas memburu.

Sesekali terdengar jerit kecil dan desisan perempuan, mirip dengan suara yang keluar dari mulut orang yang kepedasan. Suara-suara ini diakhiri dengan sebuah desahan yang berujung teriakan.

Kemudian hening melanda.

Setelah itu, beberapa saat kemudian, pintu bungalow terbuka. Dua sosok anak manusia berbeda jenis kelamin keluar sambil berangkulan, menuruni tangga kayu menuju jalan setapak dari beton dan berjalan ke arah restoran di mana jalan tersebut berakhir.

Rambut kedua orang ini berantakan, tapi wajah mereka terlihat sumringah, meskipun tanda-tanda keletihan di wajah mereka, tak bisa disembunyikan. Sebagaimana layaknya orang habis berolahraga berat, tetes keringat yang keluar dari tubuh mereka yang menyebarkan aroma khas, masih belum sepenuhnya lenyap.
Mereka berdua tiba di Hamdan Restaurant.

Bangunan restoran ini, terletak di bagian paling utara kampung Teupin Layeu sekaligus wilayah terjauh di bagian Barat teritori negara Republik Indonesia yang ada penduduknya.

Di dalam restoran, keduanya mengambil tempat di bagian pojok selatan yang menghadirkan pemandangan terbuka yang menghadap ke arah selat Rubiah. Mereka duduk dengan posisi santai lalu bercengkerama mesra layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Perbedaan ras dan usia di antara mereka terlihat begitu kontras.

Si perempuan bernama Gianna, dia berasal dari Italia. Berbeda dengan orang Italia kebanyakan yang berambut hitam, perempuan berusia paruh baya sekitar pertengahan 50-an ini berambut pirang. Penampilannya stereotip kaum hippies, dengan kostum paduan celana khas nelayan Thailand berwarna putih lusuh dan atasan kaos kumal berpotongan dada rendah tanpa lengan, warna biru muda.

Di kedua pergelangan tangan dan lehernya yang mulai dihiasi keriput, tergantung berbagai aksesoris dari benang, logam dan batu alam.

Pasangannya, Marzuki, pemuda pribumi yang mengaku bernama Jack pada semua orang, bertubuh kekar, berkulit coklat gelap dan berambut keriting panjang sampai punggung, ujung-ujung rambutnya berwarna coklat pirang akibat sering terpapar sinar matahari. Usia Jack sekitar pertengahan 20-an. Kulit wajahnya berminyak dan penuh bolongan dengan ukuran tak seragam. Pada beberapa bagian wajahnya itu terdapat tonjolan-tonjolan yang terbentuk akibat jerawat yang membatu.

Saat berbicara dalam bahasa Inggris, sekilas dilihat, penguasaan perempuan Italia ini atas bahasa internasional ini masuk dalam kategori lumayan. Sementara itu, kemampuan berbahasa Inggris Jack tergolong sangat parah.

Kosa katanya begitu terbatas. Kalimat yang paling sering dia ucapkan hanya yes, no, I love you, darling dan ditambah beberapa kalimat sederhana. Benar-benar pas-pasan. Tapi, ajaibnya, meski mereka tak sepenuhnya saling mengerti ketika berbicara, sama sekali tak terlihat adanya hambatan komunikasi antara mereka berdua. Gianna tampak bahagia ketika memeluk Jack dan begitu pula sebaliknya.

Mereka benar-benar saling memahami dengan sempurna. Perbedaan usia, ras, peradaban bahkan bahasa sama sekali bukan halangan bagi dua anak manusia ini untuk membangun kesepahaman, apalagi ketika berkaitan dengan naluri dasar mamalia.

Baru sebentar di restoran, Jack mulai merasakan dampak dari kegiatan membakar kalori bersama perempuan Italia pasangannya di dalam bungalow tadi. Aksi yang menguras energinya itu membuatnya merasa haus, sesuatu yang sangat bisa dimaklumi.

Menurut sebuah penelitian ilmiah, besarnya energi yang dikeluarkan untuk kegiatan tadi bahkan cukup untuk menyalakan lampu 5 watt. Jadi wajar saja kalau sekarang tenggorokan Jack mulai terasa kering.

Jack menoleh ke sisi selatan bangunan, satu-satunya bagian restoran yang dipasangi dinding papan sampai ke batas rangka penyangga atap. Dia mencoba membuat sinyal melalui gerakan tangan, untuk menarik perhatian Rahma sang pemilik, sekaligus resepsionis dan kasir restoran ini.

Saat itu, Rahma dilihatnya sedang duduk dengan kepala sesekali jatuh dan kemudian terangkat kembali, pertanda kalau dia sedang menahan kantuk di balik meja kayu murah berbahan tripleks.

Ekspresi wajah Rahma saat ini begitu kontras dengan ekspresi wajah seorang laki-laki pada foto ukuran 10 inchi dalam bingkai kayu dengan kaca transparan yang dia gantungkan di dinding papan di belakangnya, tepat di atas pintu menuju dapur. Dalam foto itu tampak seorang lelaki berkumis tebal berseragam loreng dengan warna dasar hijau sedang berpose gagah memegang senjata.

Di lengannya terdapat tanda pangkat berbentuk huruf “V” berwarna merah tumpuk tiga. Di atas foto lelaki tersebut terpampang foto Presiden Soeharto yang tahun lalu, untuk kesekian kalinya, kembali diberi mandat oleh MPR menjadi orang nomor satu di Indonesia. Kali ini sang Bapak Pembangunan berdampingan dengan Prof. BJ Habibie yang konon merupakan manusia terpintar di negara yang memiliki jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia.

Mendapati usahanya menarik perhatian dengan gerakan tangan tak berhasil, Jack memutuskan berteriak, “HEI…!!!” teriaknya.
Suara kencang Jack membuat Rahma dan beberapa pengunjung menoleh.

Jack memberi kode dengan telapak tangan menghadap ke atas. Hanya jari tengahnya saja yang dia gerakkan. Sebuah isyarat jari yang biasa ditampilkan dalam film-film Indonesia dengan setting masa kolonial dalam adegan tuan besar memanggil jongosnya.

“Iya, kamu!” panggilnya dalam bahasa Indonesia.
Rahma melongo.

“Aku pesan Bir ya, darling,” katanya pada Gianna dengan nada dan sikap mesra.

“Ya, pesan saja,” sahut Gianna manja menggunakan bahasa Inggris berlogat Italianya yang menggoda. Jack merespon dengan cara mencium bibir perempuan yang kulitnya mulai mengeriput ini.

Dia kembali menoleh ke arah Rahma dan kali ini perempuan itu bereaksi sesuai harapannya.
“Sebentar,” ujar Rahma memberi isyarat tangan untuk menunggu, lalu melongokkan kepala ke arah tangga menuju ke arah bawah restoran yang berbentuk rumah panggung ini.

“Neeh!” serunya setengah berteriak.

“Tuaan,” sahut suara perempuan dari bawah tangga menyahuti panggilan Rahma.

‘Tuan’ adalah singkatan kata ‘Lon tuan’ yang dalam bahasa Aceh berarti ‘saya’. Di Aceh, orang-orang menggunakan kata itu untuk menyahuti panggilan dengan cara sopan yang biasanya digunakan untuk menjawab panggilan orang yang lebih dihormati atau lebih tua.

Sesosok perempuan muda, muncul dari tangga lalu melintasi kamar tidur Rahma yang bagian pintunya hanya ditutup dengan kain batik dan didalamnya hanya berisi sebuah kasur busa tipis berlapis sprei dan sebuah bantal.

Fasilitas dalam kamar ini, sama sederhananya dengan yang tersedia di dalam bungalow-bungalow yang dia sewakan pada para pelanggan.

“Ada apa, Kak?” tanyanya ketika sudah berada tepat di hadapan Rahma. Rahma melihat ke arah Jack. Setelah memastikan Jack tidak sedang melihatnya, dia berbisik pada Maneh, “Tuan Sukok.”

Perempuan ini menyebutkan nama tokoh schout Belanda dalam film “Si Pitung” yang sering diputar di TVRI beberapa waktu yang lalu. Tokoh antagonis menyebalkan yang terkenal dengan ucapannya “Godverdomme” itu diperankan oleh aktor kawakan Abdul Hamid Arief.

Perempuan muda bernama Maneh ini langsung paham siapa yang dimaksud Rahma. Dengan ekspresi wajah merengut dan gestur tubuh malas-malasan, dia mendekati Jack dan Gianna.

“Mau pesan apa, Bang?” tanyanya dengan sikap ramah yang sangat kentara dibuat-buatnya dan senyum yang dipaksakan semanis mungkin, tapi tidak berhasil.

“Bir!” kata Jack dengan nada setengah memerintah.

“Berapa, Bang?” Tanya Maneh lagi dengan nada sopan dibuat-buat.

“Kamu mau, darling?” tanya Jack pada Gianna dengan nada lembut dalam bahasa Inggris. Gayanya seperti seorang remaja kasmaran yang akan mentraktir pacarnya.

“Mau dong, tapi pesan satu botol besar. Kita minum berdua dari satu botol saja, ya, darling,” jawab Gianna lembut.

“Satu aja. Botol besar. Kasi yang dingin!” perintah si Gondrong kekar dengan nada suara yang sama sekali berbeda ketika dia berbicara pada Gianna.

Maneh mengangguk.

“Ada lagi?” tanyanya.

“Enggak!” jawab Jack ketus tanpa menoleh.
Maneh berbalik berjalan ke meja Rahma. Ketika Rahma melihatnya, Maneh memencong-mencongkan mulut mengolok-olok Jack. Rahma tersenyum menahan tawa.

Beberapa menit kemudian Maneh keluar membawa dua gelas besar kosong bersama satu botol Bir Bintang. Bagian atas botol yang sudah dibuka tutupnya mengeluarkan uap seperti asap dan bagian luar botol berembun. Tampilan yang menandakan kesegaran isinya.

“Berapa?” tanya Jack pada Maneh.
“Biasa, Bang, 10 ribu.” jawabnya.
“Ten thousand, darling.” Jack menerjemahkan apa yang dikatakan Maneh pada Gianna.

Seperti biasa, nada suara dan gaya bicaranya kembali berubah lembut. Gianna mengeluarkan money belt yang tersimpan di pinggang di balik celananya. Selembar rupiah bergambar Sri Sultan Hamengkubuwono IX pun berpindah tangan.

Maneh berbalik. Dia memberikan uang yang diterimanya pada Rahma, lalu turun menuju tangga bawah dan melanjutkan pekerjaannya. Jack mengambil botol bir di meja. Dia meneguk bir langsung dari botolnya sambil merangkul bahu Gianna, lalu memberikan botol yang sama kepada si perempuan Italia.

Keduanya lalu berjalan ke sisi timur restoran yang seluruh sisinya dibiarkan terbuka tanpa dinding dan hanya dipagari papan setinggi pinggang.

Jack, terutama Gianna suka duduk di tempat ini karena dari sini dia bisa memandang ke arah air laut yang tenang yang memisahkan tempat ini dengand ua pulau kecil ditumbuhi pohon kelapa yang letaknya bersisian, satu di utara dan yang lain di selatan.

Pulau sebelah utara bernama Pulau Seulako. Konturnya terjal dan luas pulaunya tak sampai 5 hektar. Bentuknya seperti punuk unta jika dilihat dari bibir pantai. Sementara 500 meter di sebelah selatannya terdapat Pulau Rubiah. Konturnya landai dan membentang sepanjang 1,5 kilometer. Luasnya sekitar 30 hektar.

Dasar laut di selat sempit dan dangkal yang memisahkan pantai dengan dua pulau itu, ditumbuhi terumbu karang dan dihuni banyak sekali ikan dan makhluk laut lain, menciptakan pemandangan bawah laut yang menakjubkan.
Keindahan tersebut mengundang banyak orang ke sana, untuk menyelam.

Entah itu sekedar snorkeling untuk menikmati keindahan bawah ini dari permukaan atau bahkan scuba diving, yang memungkinkan orang untuk menyelam ke perairan dalam dengan tabung oksigen.

***

Baca Juga ;

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.