[Bag. 2] Romansa Gayo dan Bordeaux : Ufuk Barat Indonesia

oleh

Novel Karya Win Wan Nur

-Maret 1998-

“Ya mantap…Persiraja menang lagi! Kalo kek gini caranya, asli can lolos lagi ke 12 besar kita!” pekik lelaki berkopiah dan berkain sarung yang digulung tinggi hampir mencapai lutut sembari mengeplak koran Serambi Indonesia yang baru dia baca. Nada suaranya mengagetkan semua pengunjung warung kopi, tempatnya nongkrong sejak sehabis shalat subuh tadi.

Tempat ini adalah warung kopi khas Aceh yang terletak tepat di tepi pantai, berada di dusun Teupin Layeu, tempat paling ramai di kawasan Kampung Iboih yang berada ujung paling utara semenanjung barat pulau Weh.

Secara administratif, kampung ini berada di dalam wilayah kecamatan Sukakarya, satu dari hanya dua kecamatan yang ada di Kotamadya Sabang.

Iboih sendiri adalah kampung terluas di kecamatan tersebut, tapi meskipun luas, penduduk Iboih terkonsentrasi hanya di dusun kecil bernama Teupin Layeu yang dihuni sekitar 40-an keluarga ini.

Setiap hari selalu saja ada lelaki yang duduk-duduk di satu-satunya warung kopi di Kampung ini. Dengan modal segelas ‘kopi pancung’ di atas meja, para lelaki ini tahan berlama-lama ngobrol, kadang sampai seharian tak pulang-pulang.

Dalam obrolan ini, mereka membahas apa saja. Mulai dari urusan pekerjaan, cuaca, ekonomi, politik dan tentu saja sepakbola. Serambi Indonesia, surat kabar terbitan Banda Aceh adalah sumber referensi utama kalau tidak bisa dikatakan satu-satunya.

Laki-laki yang berteriak mengagetkan pengunjung warung kopi ini bernama Ismail. Tapi, seperti semua orang Aceh yang bernama Ismail, sehari-hari dia dipanggil Ma’ë oleh orang sekampungnya.

Wajah dan perawakannya khas, tipe wajah dan perawakan yang tidak banyak bisa ditemukan pada etnis-etnis asli Indonesia di daerah lain.

Rambutnya lurus berwarna hitam, hidung mancung dan kulit coklat gelap cenderung hitam. Rangka tubuhnya lebih tinggi dari orang Indonesia kebanyakan. Paduan keseluruhan penampilan fisiknya mengingatkan orang pada pemain figuran dalam film-film keluaran Bollywood.

“Asli, ke-12 besar lagi kita tahun ini,” lanjut Ma’ë setelah meneruskan membaca koran yang dipegangnya.

“Tapi masih ada Arema hai. Orang tu masih punya tabungan satu pertandingan,” seorang pengunjung berkumis tebal, menyanggah pernyataan Ma’e sembari menyeruput kopi dari gelas yang ada di depannya.

“Ndak, lah. Biarpun Arema menang di pertandingan sisanya, orangtu masih kalah lima poin sama kita ee!” bantah Ma’ë yang tidak menyetujui pendapat orang di depannya.

“Tapi kita masih ketemu Persija sama Arema hai,” sela pengunjung lain, pemuda kurus berusia akhir 20-an seumuran Ma’ë.

“Betul, masih ada lawan Persija sama Arema, tapi pasti putos lah mainnya di Lampineung. Kalok Semen Padang ndak usah dikira, orang mau degradasi. Apa yang ditakuti?” sergah Ma’ë, dia terang-terangan meremehkan Semen Padang, salah satu kekuatan tradisional sepakbola Sumatera.

“Kek mana nggak takut?! Persija peringkat dua, Arema mati-matian kejar posisi empat besar.” Celetuk seorang pengunjung warung kopi lainnya yang bertubuh kurus dan berwajah tirus.

“Kalok maen di Lampineung, jangan kee bilang Persija sama Arema, AC Milan pun putos lawan Persiraja,” koar Ma’ë dengan sikap jumawa.

Si kurus memonyongkan bibirnya, mencibir gaya hiperbola Ma’ë. Ya siapapun yang masih waras tentu tahu, sehebat apapun Persiraja main di kandang, tapi tetap saja klub kebanggaan masyarakat Aceh ini bukanlah tandingan AC Milan, klub yang meski penampilannya agak menurun akhir-akhir ini, tapi selama dua dekade belakangan bisa dikatakan merupakan klub terkuat di dunia.

“Apa kalian nggak ingat Bandung Raya? Orang tu juara LIGINA, tapi main di Lampineung sama Persiraja, putos!” koar Ma’ë lagi.

Si kurus diam, dia tahu ini adalah jurus andalan Ma’ë yang merupakan satu-satunya warga Iboih yang pernah menyaksikan pertandingan Persiraja secara langsung. Dan hampir setiap kali membahas Persiraja, Ma’ë selalu menceritakan pengalamannya itu. Tak ada yang ingat, sudah berapa kali Ma’ë menceritakan pengalamannya tersebut.

Dan meski sudah diceritakan berulang-ulang, mereka sendiri tak pernah keberatan untuk mendengarkannya lagi.

Pertandingan yang diceritakan Ma’ë adalah pertandingan yang dimenangkan dengan skor 1 – 0 oleh Persiraja melalui gol pinalti setelah Irwansyah dengan cerdik mengarahkan bola ke tangan bek Timnas Indonesia, Nuralim, saat berada di dalam kotak dua belas pas. Ma’ë mengingat setiap detail pertandingan tersebut yang selalu dia sebut berulang kali setiap membahas Persiraja.

Ma’ë menoleh ke luar warung kopi, di bawah terik matahari anak-anak kecil bertelanjang kaki berlari-larian di jalan tanah pasir pantai. Mereka bermain mobil-mobilan yang dibuat sendiri dari bahan kaleng susu kental manis.

Rodanya terbuat dari sandal jepit merk swallow yang dipotong dengan pisau dapur, menghasilkan bentuk bundar yang tidak simetris. Oleh anak-anak ini, kaleng-kaleng susu yang disulap menjadi mobil mini dipaku ke galah bambu panjang dan disampirkan ke bahu.

Di pertengahan galah, mereka memasang papan tipis seukuran dua jari dengan panjang sejengkal yang juga dipaku. Papan kecil ini berfungsi sebagai setir.

Pada bagian as roda mereka membuat roda gigi dari bambu yang dihubungkan dengan bilah bambu kecil yang berfungsi sebagai pemukul. Ketika mereka berlari dan roda berputar, bilah bambu itu akan memukul kaleng sehingga terdengar berbunyi “klentang-klentong,” sebagaimana suara mesin mobil yang ada dalam bayangan mereka.

Di tempat lain, di pojokan jalan terdapat satu-satunya warung kelontong, tempat warga Iboih membeli sayur, gula, terasi, minyak, garam dan asam sunti. Dilihatnya seorang ibu muda berdaster kembang-kembang sedang bercengkerama dengan seorang perempuan setengah baya yang menggendong bayi dengan kain batik.

Ibu itu memakai kaos kuning bergambar pohon beringin dalam bingkai sudut segilima yang di atasnya tertera angka 2, tulisan dan gambar ini disablon dengan tinta berwarna hitam. Kaos yang kesempitan sehingga memperlihatkan lipatan-lipatan gelambir di kulitnya ini, dia dapatkan dari salah seorang calon anggota DPRD yang mewakili Golkar pada masa kampanye Pemilu yang baru lalu.

Pemilu yang seperti biasa dimenangkan dengan telak oleh partai pendukung utama Orde Baru yang sudah tiga dekade berkuasa di negara ini.

Bau amis, aroma khas perkampungan nelayan yang berasal dari ikan yang dijemur dan diasinkan karena tidak laku dan tidak habis dimakan, sangat keras menusuk hidung pendatang yang baru berkunjung ke kampung ini. Tapi bagi Ma’ë dan semua orang yang ada di kampung ini, aroma tajam tersebut tak lagi terdeteksi oleh indera penciuman mereka.

Sebagaimana indra penciuman yang sudah kebal terhadap aroma ikan asin yang dijemur, indra pendengaran mereka juga sudah bebal mendengar irama musik dangdut yang mendayu-dayu, bercampur aduk saling bersahutan dimana-mana.

Lagu “Terlena” yang didendangkan oleh suara merdu Ikke Nurjanah terdengar dari salah satu rumah, sementara di rumah lain terdengar suara Meggy Z mendendangkan lagu “Benang Biru.” Telinga mereka tidak tampak terganggu dengan musik dangdut yang tumpang tindih dan saling bersahutan seperti itu.

Saat ini dangdut memang sedang naik daun menggeser popularitas lagu-lagu karangan Rinto Harahap, Pance F. Pondaag atau Obbie Messakh dengan musik dan liriknya yang cengeng.

Menteri Penerangan RI, Harmoko, menyatakan bahwa lagu-lagu cengeng dianggap tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang patriotik dan penuh semangat. Karena itu atas petunjuk Bapak Presiden, sejak tahun 1985 lagu-lagu tersebut secara resmi dilarang ditampilkan di TVRI.

“Macam kubilang, Untong na Irwansyah…dia dapat umpan dari Dahlan Jalil dalam kotak pinalti. Tau kan, Dahlan Jalil? Badan boleh kecil, tapi bola-bola umpannya macam punya mata.”

Cerita Ma’ë menggebu-gebu dengan penyampaian hiperbola, menghipnotis pendengarnya. Mereka menahan nafas seolah mereka sedang berada di stadion menyaksikan pertandingan tersebut dengan mata kepala sendiri.

“Irwansyah teutap lagee biatsa dijaga ketat Nuralim, hana ceulah untôk menembak ke gawang,” lanjut Ma’ë bersemangat. Kaki dan tangannya ikut bergerak menggambarkan suasana. Saking asyiknya bercerita, dia sampai tidak sadar telah mencampuradukkan bahasa Aceh dengan bahasa Indonesia.

“Tapi bukan tsi Wan namanya kalok hana cara. Tau han mungken bisa tembus Nuralim…sama si Wan bola di kaki bukan ditendang ke gawang, tapi dia cari tangan. Bola disontek siket aja, terangkat…Bam!!! keunak tangan Nuralim!” seru Ma’ë yang seperti kebanyakan orang Aceh yang sehari-hari bicara dengan bahasa ibunya, vocal “s” diucapkannya seperti bunyi huruf hijaiyah “tsa.”

Laki-laki hitam manis ini memang sangat memuja Irwansyah, penyerang muda andalan Persiraja yang sudah dipanggil ke timnas senior dan menjalani debut sebagai pengganti dalam pertandingan tandang kualifikasi piala dunia melawan Kazakhstan yang berakhir dengan skor 3 – 0 untuk kemenangan tuan rumah.

Wajah para pendengar semakin tegang dan…
“Priiip…! —watsit tiup peluit— hen bol…tsah pinalti, hana pat cap lhee.”
Ma’ë diam.

Si penjaga warung yang menyaring kopi pesanan dengan saringan yang terbuat dari kain putih yang panjangnya melebihi siku, menghentikan aktivitasnya dan ikut memusatkan perhatian kepada cerita Ma’ë.

Salah seorang pendengar yang tidak sadar ada lalat masuk ke dalam gelas kopinya, hendak mengangkat gelas untuk minum,
Baru saja Ma’ë hendak melanjutkan ceritanya, tiba-tiba dari ambang pintu warung terdengar seseorang memanggil namanya, “Bang Ma’ë?”

Ma’ë yang sedang dalam semangat tinggi menoleh ke arah sumber suara yang sangat dikenalnya. “O mak… na tsi Wen lagoe, pajan trouk adoe lon?” Serunya kaget bercampur girang.

Ma’ë menanyakan kapan dia datang. Dia memanggil pemuda itu bernama Win itu dengan nama Wen, karena memang dalam keseharian orang Aceh, vokal “I” yang diapit dua konsonan, biasa diucapkan seperti bunyi “e” dalam kata “tempe.” Mae menyebutnya sebagai adoe yang berarti adik dalam bahasa Aceh.

Win tidak lain adalah pemuda berkulit coklat berambut ikal sebahu yang tadi mandi di sumur yang menarik perhatian perempuan pirang berbikini biru.

Setelah selesai mandi, dia bergegas ke bungalow tempatnya menginap. Di sana dia memakai topi haji berwarna putih, baju koko dan kain sarung lalu berjalan kaki kurang dari 5 menit menuju kampung ini untuk mengikuti shalat Jum’at.

Dia adalah seorang mahasiswa fakultas Teknik Unsyiah yang sedang berlibur di tempat ini. Iboih adalah tempat liburan favoritnya. Tempat yang selalu dia kunjungi setiap kali dia memiliki jadwal kosong antara tiga hari sampai seminggu.

Saking seringnya datang ke tempat ini, dia sudah akrab dengan beberapa penduduk kampung. Salah satu yang paling akrab dengannya adalah Ma’ë ini.

“Ka lee uroe, Bang,” sahut Win menjawab pertanyaan Ma’ë, juga dalam bahasa Aceh. Dia katakan kalau dia sudah ada di tempat itu selama tiga hari.

“Man sombong that go, ka lee uroe hana jak meurumpok ngen lon!” protes Ma’ë. Dia menyalahkan Win dan menyebut pemuda itu sombong. Sudah tiga hari di sini, tapi baru sekarang menjumpainya.

“Na ku jak keuno, ku tanyong Bang Ma’ë, tapi ipeugah awak nyoe abang jak u Sabang.” ungkap Win membela diri sambil melirik ke arah pelanggan dan pemilik warung yang mengangguk-angguk membenarkan pernyataan Win, yang mengatakan kalau dia sudah datang ke kampung, tapi orang-orang di warung bilang Ma’ë pergi ke Sabang.

O nyoe, biatsa jak tuka peng,” ujar Ma’ë. Kali ini dengan nada memaklumi. Dia mengaku kalau dirinya pergi ke Sabang untuk menukar uang.

Oh sang na can lawet nyoe,” goda Win dengan senyum menyungging di bibir. Dia bilang Ma’ë sepertinya punya banyak rezeki belakangan ini.

“Na bacut,” jawab Ma’ë dengan senyum sumringah. Dia mengakui kalau rezekinya cukup lumayan belakangan ini.

Han jak seumayang, Bang?” tanya Win lagi.
Karena hari ini adalah hari Jum’at, Win bertanya, apakah Ma’ë tidak pergi shalat?

Ureung Islam, kiban han jak seumayang!” sahut Ma’ë yang sebenarnya memang sudah siap dengan pakaian shalat, tapi sebelumnya dia mampir dulu ke warung kopi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Sebentar lagi adzan zuhur akan berkumandang, pertanda masuk waktu shalat jum’at. Ma’ë dan para pendengarnya sama-sama sudah lupa dengan cerita tentang Persiraja. Dia menenggak kopi terakhir lalu merangkul bahu Win, bersama-sama berangkat menuju mesjid.

Singoh na siaran langsung Serie-A, han jak keuno?” tanya Ma’ë pada Win ketika mereka sudah berada di luar warung. Win dan Ma’ë sebagaimana anak muda Aceh kebanyakan adalah penggemar berat siaran langsung sepakbola Liga Italia.

“Pasti lah bang, kiban han, Inter tengoh seu um that nyo ngon Juventus,” sahut Win.

Pemuda ini adalah penggemar berat Inter Milan, klub asal kota mode dunia yang sedang bersaing ketat berebut capolista melawan Juventus, tim berkostum Zebra yang berasal dari kota Torino. Kepada Ma’ë dia memastikan akan datang. Di tempatnya menginap tak ada televisi. Setiap kali ada siaran langsung Liga Italia, warung ini selalu penuh.

Ka jeut, meunyo lagee nyan, ban lon keubah saboh bangku keu kah,” ujar Ma’ë. Dia mengatakan kalau dia akan menyimpan satu bangku untuk Win dan keduanya langsung melangkah dengan mantap menuju mesjid. Langkah mereka diikuti para pengunjung warung.

Satu persatu pengunjung keluar, warung yang tadi begitu ramai, mendadak sepi. Setelah semua pelanggan keluar, pemilik warung inipun membereskan gelas-gelas kotor dan menumpuk seadanya di tempat cucian piring. Dia bergegas menutup warungnya dan seperti yang lain, dia berangkat untuk menunaikan shalat jum’at.

***

Baca juga Bag. 1

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.