Prahara Unsyiah, Tuduhan Pada Fakultas Teknik Salah Alamat (Tanggapan Balasan Untuk Asrul Sidiq)

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Tiga hari yang lalu, saya mendapat telepon dari redaksi Lintas Gayo yang mengirimkan saya sebuah dokumen di WhatsApp.

“Bagaimana ini bang?” tanya orang redaksi itu pada saya sambil melampirkan sebuah foto tangkapan layar yang berisi e-mail dari Asrul Sidiq berisi opini tanggapan dari dirinya untuk dua seri tulisan saya terkait Milad Unsyiah dan kaitannya polemik yang diciptakan oleh seorang dosen MIPA Unsyiah yang kemudian mengharu-biru karena diamplikasi dengan frame negatif terhadap kampus Jantong Hatee Rakyat Aceh ini oleh para pendukungnya.

Di sini, alasan redaksi LintasGAYO.co kenapa merasa perlu bertanya kepada saya terkait hal ini, adalah karena sayalah yang biasanya mengedit dan memperbaiki pilihan diksi (kalau dirasa perlu) dari setiap opini yang masuk ke Lintas Gayo.

Biasanya, setelah saya edit, tulisan tersebut akan saya kirimkan kembali pada penulis asli, untuk memastikan bahwa ide yang dia maksud dalam tulisannya tidak rusak dalam proses pengeditan yang saya lakukan.

Tapi karena tulisan Asrul Sidiq ini adalah merupakan bantahan atas tulisan saya, jadi terasa aneh, tidak fair dan tidak elok kalau saya yang mengeditnya.

Karena itulah, tanpa pikir panjang bahkan sebelum saya sempat membaca tulisan yang dikirimkan oleh Asrul Sidiq, saya katakan pada redaksi LintasGAYO.co, naikkan saja apa adanya. Dan terbitlah tulisan itu tanpa proses pengeditan sama sekali.

Ketika tulisan itu terbit :

dan saya baca. Saya menemukan bahwa tulisan Asrul yang sangat emosional ini tidak hanya berisi pandangan pribadinya, tapi juga menyelipkan beberapa gugatan dan pertanyaan kepada saya, yang mana harus saya jawab tentunya.

Tapi karena dalam tulisan tersebut, Asrul menyatakan ini adalah bagian pertama, supaya adil saya sebenarnya berencana membalas tulisan ini setelah Asrul menulis bagian kedua.

Hanya saja kemudian, dalam sebuah dialog di FB, Asrul menyatakan bahwa dia sangat sibuk sampai beberapa hari ke depan, sehingga dia belum bisa menulis bagian kedua tulisannya, jadi dia mempersilahkan saya langsung menanggapi tulisannya.

Tanggapan ini saya mulai dari gugatan Asrul karena menurut saya, ini adalah bagian yang paling menarik dari keseluruhan tulisan ini. Dalam gugatannya, Asrul menyerang pandangan saya tentang serangan kawannya kepada jajaran pimpinan FT Unsyiah sebagai ad hominem.

Dalam gugatannya tersebut Asrul mencoba mempengaruhi pembaca dengan mengatakan :

“Jadi sejak awal pembaca bisa mempertanyakan bagaimana WWN bisa meyakinkan kita jika ia tidak bisa meyakinkan dirinya sendiri tentang apa yang ingin dikhotbahinya dalam tulisan tersebut: agar kita menghindari ad hominem!”

Di sini yang sedang digugat Asrul adalah bagian dari tulisan saya ini yang termuat di artikel  :

Yang berbunyi:

“Secara umum, kita bisa melihat kalau banyak sekali serangan yang dilancarkan kaum terpelajar ini masuk kategori “sesat pikir” alias “logical fallacies” mulai dari “Argumentum of Authority” yang memaksakan kebenaran argument karena sesuai pendapat orang penting(dalam hal ini kaum terpelajar) sampai “Argumentum ad Hominem” yang menyerang pribadi akibat kehabisan kata-kata.”

Asrul mengaitkan pernyataan saya tersebut di atas dengan pernyataan saya di artikel yang sama pada alinea ke- 40.

Di sana saya katakan : “Gaya playing victim tapi ngehek ala aktivis nasional berbadan tambun yang menampilkan diri sebagai pembela kebebasan tapi langsung memblokir siapapun yang berbeda pendapatnya, ditampilkan dengan telanjang oleh kaum terpelajar yang sama, anggota tim hore dosen MIPA yang sama.”

Bagi pembaca yang membata artikel saya secara utuh, tentu langsung mengetahui bahwa kalimat-kalimat dalam alinea ke-40 di atas, saya munculkan sebagai pendukung pernyataan saya berikutnya. Dimana saya memaparkan kelakuan para tim hore dan minion si dosen MIPA yang tidak bisa menerima pendapat dan pandangan yang berbeda dari yang mereka yakini dalam kasus ini.

Nah, di sini kita melihat bagaimana Asrul yang dengan bangga mengakui bahwa dirinya adalah bagian dari “tim hore”, “tim sorak” atau “minion” sang dosen MIPA memamerkan ketidakmampuannya untuk berdebat menggunakan argumen yang kuat, sehingga alih-alih memberikan argumen yang kuat untuk membantah pernyataan saya, bahwa dia dan anggota tim hore lain punya kebiasaan merisak siapapun yang berbeda pendapat dengan mereka terkait kasus ini. Asrul, seperti halnya junjungannya malah menjatuhkan diri ke dalam “Logical Fallacies.”

Bedanya, kalau junjungannya jatuh ke dalam “ad hominem,” di sini kita lihat Asrul jatuh dalam “Strawman Fallacy”

Strawman Fallacy, dinamai demikian karena orang yang tahu dirinya tidak mampu mendebat argumen lawan yang tak terbantahkan, dengan menciptakan “strawman” alias orang-orangan sawah untuk dipukuli.

Apa “orang-orangan sawah” yang diciptakan Asrul di sini? Itu adalah pernyataannya yang menyebutkan bahwa saya seolah-olah sedang berkhotbah dan menganjurkan pembaca untuk menghindari ad hominem. Dan dia sebut sebagai ad hominem di sinipun, juga orang-orangan sawah. Karena pengkategorian penyebutan kalimat “aktivis nasional bertubuh tambun” sebagai ad hominem pun masih sangat bisa diperdebatkan.

Kenyataannya, silahkan pembaca menyisir semua isi tulisan saya tersebut. Saya berani jamin, bahwa tak satu kalimatpun di tulisan itu saya berkhotbah menganjurkan sidang pembaca menghindari ad hominem. Saya berani jamin, anjuran seperti itu tidak akan sidang pembaca temukan.

Ketidak mampuan Asrul untuk membantah pernyataan saya bahwa dia bersama segenap tim hore dan minion si dosen MIPA punya kebiasaan merisak dan membully siapapun yang berbeda pandangan dalam kasus ini dengan mereka, membuatnya memilih membuat “orang-orang sawah” untuk diserang.

Oleh Asrul, “strawman” yang dia ciptakan sendiri inilah yang babak belur dia hajar. Seolah-olah yang dia hajar adalah argumen saya. Padahal sangat jelas kalau yang dia hantam itu adalah “orang-orangan sawah” yang dia ciptakan sendiri.

Kemudian, kembali ke paragraf sebelumnya, mengapa saya mengatakan bahwa pengkategorian penyebutan kalimat “aktivis nasional bertubuh tambun” sebagai ad hominem pun masih sangat bisa diperdebatkan?

Itu karena penyimpulan ini sebagai ad hominem memerlukan sudut pandang yang tepat.

Pernyataan saya tentang aktivis nasional bertubuh tambun itu, dikategorikan ad hominem, pertama sekali jika argumen itu saya gunakan untuk berdebat atau mendebat ide dari orang yang bersangkutan.

Kedua, itu menjadi ad hominem kalau kata-kata “bertubuh tambun” itu dipandang dan disepakati secara umum sebagai serangan terhadap pribadi, sebagaimana halnya kata-kata “bertubuh semampai,” “bertubuh atletis,” “bertubuh langsing” dan seterusnya.

Sebutan “bertubuh tambun” dikategorikan sebagai serangan terhadap pribadi kalau semua penjelasan atas bentuk tubuh yang saya uraikan di atas juga dikategorikan sebagai serangan terhadap pribadi. Beda ceritanya kalau saya katakan “bertubuh gendut” “obesitas,” “gemuk,” dan yang lain. Kalau pilihan kata tersebut saya gunakan, itu fix ad hominem.

Untuk bisa dikategorikan sebagai ad hominem, sebutan “bertubuh tambun” itu memerlukan keterangan ahli bahasa untuk menganalisanya dengan linguistic forensic untuk mengambil kesimpulan atas makna linguistik di balik ungkapan saya itu.

Setelah itu, baru bisa dipastikan itu ad hominem atau bukan.

Apakah dengan begitu berarti dalam artikel tersebut saya mengklaim bahwa saya sama sekali tidak melakukan ad hominem? Ya tidak juga.

Dalam artikel yang dibalas Asrul itu. Sebaliknya, dengan jujur saya mengakui kalau saya juga melakukan ad hominem. Tapi itu bukan pada bagian “aktivis nasional bertubuh tambun”

Ad hominem dalam tulisan saya pada artikel itu adalah penyebutan kata “tim hore” dan “Minion. ”

Dua sebutan yang saya pakai itu adalah 100% ad hominem.

Kenapa? karena ketika saya menyebutkan dua istilah itu, keduanya sama sekali tidak berisi argumen apapun, dua istilah itu hanya dimaksudkan untuk merendahkan pribadi pendukung si dosen MIPA yang menjadi sasaran serangan saya dalam artikel itu.

Kemudian mungkin muncul pertanyaan di benak sidang pembaca yang budiman, kalau saya sudah tahu itu ad hominem, kenapa masih tetap saya gunakan?

Di sini bedanya saya dengan mereka, di sini saya melakukan ad hominem bukan karena saya kehabisan argumen, tapi saya melakukan itu karena, ungkapan “TIM HORE” itu adalah ungkapan yang pertama sekali dipakai oleh dosen MIPA itu di dalam chat WA-nya yang bermasalah itu, yang katanya level kesahihannya selevel dengan Scorpus Q1 itu, dengan maksud merendahkan orang-orang yang membela jajaran pimpinan fakultas teknik.

Sebagaimana kita ketahui bersama, ungkapan seperti itu dia keluarkan dalam apa yang dia klaim sebagai, bagian dari kebebasan akademik, yang disampaikan dalam mimbar akademik.

Itulah yang menjadi alasan, mengapa kata-kata ofensif semacam itu sengaja saya gunakan dalam tulisan yang ditanggapi oleh Asrul Sidiq ini.

Lalu mungkin sidang pembaca bertanya, kan dia cuma mengatakan “tim hore,” kenapa saya menambahi kata “minion? “

Jawabannya, itu saya lakukan demi menghormati asas keadilan, supaya keadaan berimbang. Dia sudah membuat satu istilah ad hominem “tim hore.” Agar berimbang, saya juga membuat satu istilah yang nilainya setara secara makna “minion”

Dua istilah ofensif itu saya gunakan dalam artikel tersebut supaya pembaca melihat, bagaimana konyol dan rancunya klaim si dosen MIPA yang menyatakan bahwa serangannya ke jajaran pimpinan fakultas teknik itu adalah kebebasan akademik.

Melalui pemilihan kata yang saya ambil, kata yang sebelumnya dipakai dosen MIPA itu dalam serangannya, saya mau menunjukkan kepada sidang pembaca, kalau, level, kualitas keilmiahan tulisannya di WA, yang dia klaim sebagai kebebasan akademik itu, tidak ada bedanya dengan kualitas kata-kata yang saya pakai. Sama-sama sekelas debat serius di warung kopi. Sama-sama tidak layak dimunculkan dalam sebuah mimbar akademik.

Di sini kita selesai dengan gugatan, selanjutnya kita masuk ke bab pertanyaan.

Pertanyaan pertama Asrul kepada saya dalam tulisan itu adalah : “ Pertanyaannya, kalau sudah ada kesalahan, kenapa ‘adik kawannya dosen MIPA’ yang tertimpa sial itu tidak mendapatkan kabar hasil investigasi di sidang senat tersebut?”

Jawaban atas pertanyaan ini saya dapatkan langsung dari orang dalam Senat Unsyiah, dan jawaban mereka adalah :

Adik dari Asrul, sebagai pihak yang dirugikan dalam kasus tidak lulusnya dia dalam tes CPNS ini, sama sekali TIDAK PERNAH mengajukan gugatan atas dugaan kecurangan dari ketidaklulusannya kepada senat Unsyiah. Adik dari Asrul yang menjadi pihak yang dirugikan, TIDAK PERNAH meminta senat Unsyiah untuk memeriksa dugaan kecurangan yang merugikan dia.

Jadi, ketika pertanyaan dari Asrul ini saya layangkan kepada mereka, mereka malah balik bertanya. “Memangnya si dosen MIPA ini siapanya? Apa legal standingnya mewakili adik Asrul? atau kita balik, adik Asrul ini siapanya? Apa status legalnya dengan dosen MIPA itu sehingga senat harus menyerahkan kabar mengenai hasil investigasi si dosen di sidang senat tersebut kepadanya?”

Begitu jawaban yang saya terima dari mereka, silahkan sidang pembaca yang budiman menilai sendiri.

Kemudian, Asrul dengan nada emosional (sikap emosional yang sangat saya maklumi karena yang dia anggap sebagai korban kecurangan ini adalah adiknya sendiri) berbalut sikap pongah dan gagah perkasanya menuduh saya abai dan ceroboh dalam banyak hal. Seperti kutipan di bawah ini :

“WWN abai dan ceroboh dalam banyak hal. Tidak hanya dalam tulisan di media ini, juga ketika WWN mencoba memindahkan kengawuran tulisannya ke media sosialnya. Tentang proses rekrutmen CPNS di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), yang dianggap Saiful penuh kecurangan dan karena itu sekarang dia di bui, WWN menyimpulkan bahwa kesalahan ada di DIKTI dan kesalahan itu sudah dibuktikan pada sidang senat.

Pertanyaannya, kalau sudah ada kesalahan, kenapa ‘adik kawannya dosen MIPA’ yang tertimpa sial itu tidak mendapatkan kabar hasil investigasi di sidang senat tersebut? Siapa DIKTI yang dimaksud WWN dan telah berbuat salah di sini? Saya sebagai dosen di Fakultas Teknik Unsyiah adalah juga bagian dari DIKTI.”

Menjawab pertanyaan ini, untuk menghindari unsur subjektif, saya sarankan sidang pembaca mengikuti saran Asrul dalam tulisannya yang saya balas ini untuk membaca salinan putusan pengadilan yang dia ikuti sebagai saksi, yang sekarang telah menjadi milik publik.

Salinan ini bisa dilihat di Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, di putusan bernomor 432/Pid.Sus/2019/PN Bna pada halaman 82. Sebagaimana bisa dibaca pada ilustrasi artikel ini.

Di sana, jelas dinyatakan bahwa peran serta Universitas Syiah Kuala khususnya Fakultas Teknik dalam proses penerimaan CPNS adanya hanya mencakup sebatas
memfasilitasi soal, kunci jawaban soal, dan menyiapkan para tim penguji,
sedangkan yang menentukan kelulusan CPNS di lingkungan Universitas
Syiah Kuala adalah Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi dan
Badan Kepegawaian Negara (BKN);

Meski di dalam salinan itu tidak dijelaskan siapa Dikti yang dimaksud, yang pasti itu bukan FT Unsyiah.

Di halaman yang sama, kita juga bisa membaca keterangan yang didapat oleh pengadilan melalui pernyataan di bawah sumpah, bahwa seseorang dari Biro Kepegawaian pusat pada Kementrian Riset dan Teknologi mempunyai tugas untuk memeriksa berkas data fisik dan data online para calon peserta CPNS yang ditempatkan di Unsyiah, hanya melakukan verifikasi berkas calon peserta CPNS selain dari Universitas Syiah Kuala.

Jadi, kalau tim hore dan minion dosen MIPA itu tidak puas dengan penjelasan ini, silahkan gugat Mahkamah Agung RI, karena penjelasan di atas saya dapat dari mereka, bukan penjelasan yang saya karang-karang sendiri.

Berikutnya, Asrul mempertanyakan keabsahan pernyataan saya soal mangkirnya kawannya dari sidang senat atau ada tidaknya sidang etik. Sekali lagi saya sampaikan, bahwa keterangan mengenai pemanggilan dosen MIPA itu oleh komisi F dan jalannya sidang senat Unsyiah, bagaimana prosesnya, saya dapatkan langsung dari orang-orang senat Unsyiah sendiri.

Kalau Asrul bersama tim hore beserta para minion merasa apa yang saya sampaikan tidak tepat, silahkan konfirmasi kepada senat Unsyiah sendiri. Karena sekali lagi, keterangan yang saya dapatkan mengenai segala prosesnya, saya dapatkan dari mereka, bukan berdasarkan imajinasi yang saya khayalkan sendiri.

Jadi salah alamat kalau mereka menggugat saya soal keabsahan sidang etik ini.

Begitulah tanggapan saya terhadap saya, baik dan buruknya, silahkan sidang pembaca sekalian untuk menilai.

Selanjutnya, kalau dinilai berdasarkan fakta-fakta yang saya uraikan di atas. Seandainya kita mau berpikir jernih dan tidak membiarkan emosi mengambil kendali, sudah jelas, segala kisruh dan prahara Unsyiah terkait dengan masalah tidak lulusnya seorang calon dosen ini, terjadi karena tuduhan salah alamat yang ditujukan kepada fakultas teknik Unsyiah dan si penuduh tak bisa membuktikan tuduhannya.

Prahara ini adalah bukti paling nyata dari ungkapan “Kalah jadi abu, menang jadi arang,”

Setidaknya sampai sejauh ini, tak satu pihak pun yang diuntungkan dengan adanya kasus ini. Dosen MIPA itu masuk penjara dan Unsyiah rusak namanya karena dirisak oleh pendukung sang dosen di sini dan jaringannya di tingkat nasional dan internasional.

Jadi sudahlah, para pendukung dosen MIPA yang kini sedang menjalani hukumannya, berbesar hatilah menerima kenyataan. Serangan yang kalian lakukan pada Fakultas Teknik Unsyiah bahkan kampus ini secara umum, adalah serangan salah sasaran.

Akhirul kalam, tulisan ini saya tutup dengan kutipan ucapan filsuf besar Lao Tzu : “Mengaku SALAH saat berbuat SALAH adalah yang paling baik, mengaku TIDAK SALAH saat berbuat SALAH adalah CARI PENYAKIT.”

(Banda Aceh, 9 – 9 – 2021)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.