Antara Shabela, Firdaus dan Kentut

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

“Manusia itu yang dipegang adalah omongannya. Kalau ada orang yang mengingkari omongannya sendiri, tidak beda dengan kambing”, kata Mayjen TNI (Pur) Soenarko, ketika saya berjumpa pada sebuah mall di Jakarta atas inisiasi rekannya.

Pak Soenarko benar! Walau terdengar sedikit sarkasme. Bahkan menurut saya soal memegang ucapan, orang Arab jahiliah zaman Nabi jauh lebih memegang kata-katanya dari pada manusia sekarang.

Orang Arab jahiliah dulu, kalau sudah berucap tidak akan mengingkarinya. Meskipun akan dihukum mati dengan cara dipancung, kalau mereka mohon izin kembali ke rumahnya sebentar, mereka akan kembali lagi kepada algojo yang akan memancungnya. Padahal jalan terbuka lebar baginya untuk melarikan diri. Semua itu karena mereka istiqomah atas ucapannya.

Padahal pada setiap pidato atau ceramah selalu dimulai dengan mengucapkan, “Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mengeluarkan kita dari alam jahiliah kepada alam yang penuh dengan ilmu pengerahuan.” Jauh sekali antara ucapan dan perbuatan atau orang Melayu menyebutnya “cakap tak serupa bikin.”

Betapa acara perdamaian Shabela dan Firdaus yang diinisiasi oleh Kajati Aceh dibatalkan dengan alasan, Bang Bela sakit. Padahal sehari sebelumnya dan malam ini tampak segar bugar.

Saya kira ini bukan sekedar ingkar janji, lebih dari itu, kurang adab, terutama dalam menghormati orang lain. Saya kira Bang Bela perlu tahu kisah Imam Hatim Al Asham dari Khurasan pura-pura tuli demi menjaga kehormatan perempuan yang kentut di hadapannya. Begitulah ilmu praktek adab yang tinggi.

By the way, pada masa konflik Aceh, gara-gara kentut, saya bersama Syech Sapudiarang pernah tersesat. Pasalnya kami pindah markas pada tengah malam. Tengku Sabri alias Pang Pelisi yang berjalan di depan tidak henti-hentinya buang gas. Aromanya sangat menyengat dan mengkhawatirkan organisasi kesehatan dunia.

Sebagai lelaki yang sopan, kami tidak menyela Pang Pelisi untuk berjalan di depannya, tetapi kami memilih jalan lain. Sayangnya, akhirnya kami tersesat. Menjelang subuh kami baru bertemu kembali dengan pasukan gara-gara kentut Pang Sabri. Sikap kami semata-mata untuk menjalankan adab sesama pasukan dalam perang.

Dalam dunia perang pun ada adab. Bagaimana mungkin dalam suasana damai dan kehidupan yang teratur adab ditinggalkan. Masalahnya dikhawatirkan sikap Bang Bela sebagai awal kejatuhannya dan perseteruannya dengan Firdaus telah menjadi preseden buruk bagi generasi Gayo kini dan yang akan datang

(Mendale, Senin, 6 Juli 2020)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.